Kamis, 28 Februari 2013

Ciptakan Budaya Tandingan: Berantas Korupsi !

Sudah jelas korupsi adalah salah satu penyakit paling parah yang diderita bangsa ini. Global Corruption Report 2009 menuliskan sebuah angka fantastis untuk negeri ini: urutan 126 dari 180 negara dengan no.1 (Denmark) adalah negara yang paling bersih di dunia dan no.180 (Somalia) adalah yang paling korup. Indonesia bahkan sama korupnya dengan negara miskin seperti Eritrea dan Ethiopia. Negeri ini tertinggal jauh dari Singapura (4), Malaysia (47), Thailand (80) dan Srilangka (92).
Secara sederhana, fakta itu dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari, salah satunya di dalam birokrasi Indonesia. Uang sebesar miliyaran harus lenyap begitu saja lantaran “digondol” segelincir orang saja, seperti belum lama ini kasus “Gayus Tambunan” yang berada di Depkeu. Kemudian disusul kasus “Nazaruddin” di dalam APBN Indonesia. Belum lagi dengan praktik-praktik korupsi yang terjadi di birokrat-birokrat setiap daerah. Banyak praktik korupsi yang tanpa kita sadari telah menggerogoti integritas bangsa ini.

Sebuah penyakit harus dilenyapkan demi kesehatan tubuh, bagaimanapun caranya. Akan tetapi, untuk melenyapkan penyakit, harus dilakukan diagnosis dahulu. Oleh karena itu, secara singkat dan sederhana, penulis akan menuliskan sebab terjadinya korupsi.
Pertama, penegakan hukum tidak konsisten, hanya bersifat politis. Kedua, takut dianggap bodoh. Ketiga, langkanya lingkungan anti korupsi, pedoman antikorupsi hanya wacana. Keempat, rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Gaji yang kecil tentu saja membuat penyelenggara negara untuk korupsi. Kelima, kemiskinan dan keserakahan. Karena keadaan tersebut (miskin) seseorang/lembaga terpaksa melakukan korupsi. Keenam, budaya memberi upeti di masyarakat. Tampaknya, budaya ini sudah ada dari zaman feodalisme. Ketujuh, konsekuensi bila ditangkap lebih kecil dibanding keuntungan korupsi. Kedelapan, budaya permisif atau serba membolehkan, menganggap biasa korupsi, tidak peduli keadaan, yang penting tidak terlibat. Kesembilan, gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat ini adalah pendapat Franz Magnis Suseno (seorang tokoh agama). Padahal, jika pendidikan agama tidak hanya di mulut saja, dia dapat memainkan peranan lebih besar dalam penghancuran korupsi.
Kita Dapat Melenyapkan Korupsi: Sebuah Dasar Pemikiran.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam diri bangsa ini. Sesuatu yang sudah menjadi darah daging memang sulit dilenyapkan, tetapi “DAPAT”. Penulis akan mencoba menjabarkan caranya dengan sesederhana mungkin supaya dapat dimengerti. Dalam artikel ini, penulis hanya memfokuskan upaya pemberantasan korupsi dari segi budaya atau “moral”. Kita harus menolak korupsi karena secara moral salah (Klitgaard, 2001) dan memberantasnya dengan cara memberdayakan kembali moral bangsa.

Perlu diketahui kebudayaan terdiri dari 3 bentuk. Pertama, kebudayaan sebagai ide/gagasan. Kedua, kebudayaan sebagai perilaku manusia yang berpola. Dan ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jika korupsi adalah bentuk kebudayaan kedua, yakni “perilaku manusia yang berpola”, maka pantaslah kita bertanya-tanya: Dapatkah kita mengubah “pola” itu? Penulis jawab dengan yakin: “DAPAT!”

Kebudayaan bersifat dinamis dan komunikasi dapat memengaruhi perubahan kebudayaan, baik secara internal maupun eksternal. Kebudayaan baru dapat muncul karena kita belajar. Sedangkan secara teoritis, menurut Koentjaraningrat, proses perubahan kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara mikro dan makro. Dalam ruang lingkup mikro, perubahan kebudayaan terjadi dalam tiga proses, yaitu internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat terjadi secara difusi.

Internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Sederhananya adalah “penanaman nilai”. Jadi, di tahap ini kita harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi sedini mungkin dengan berbagai cara seperti seminar, diskusi, lomba-lomba, dan lain-lain. Kita harus menciptakan suatu keadaan dimana penanaman nilai anti korupsi menjadi sangat kokoh dalam diri seseorang sehingga tak terpengaruh apapun.
Yang kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya untuk belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, kebudayaan berubah karena pengaruh lingkungan. Seperti contoh diri kita sendiri, boleh jadi kita sekarang “gila” online bukan karena kita memang menggunakan media internet untuk bekerja, akan tetapi lebih kepada teman-teman dekat kita banyak yang senang bermain sosial media seperti Facebook. Di sini, ada perubahan budaya kita yang tadinya tidak gemar dunia maya menjadi pecandu sosial media dan itu terjadi karena pengaruh teman-teman (baca: proses sosialisasi).

Tahapan ketiga adalah proses enkulturasi. Enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Setelah proses internalisasi dan sosialisasi yang terus menerus dihidangkan di depan kita, akhirnya, muncul proses yang ketiga, yaitu proses menyesuaikan diri. Kita jadi rajin online, dan kita senang dengan persepsi dari masyarakat bahwa kita adalah anak gaul. Perubahan pola pikir kita (kebudayaan bentuk pertama adalah gagasan/ide) dipengaruhi oleh proses internalisasi dan sosialisasi yang selanjutnya membuat kita melakukan enkulturasi.

Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat dilakukan dengan difusi, yakni penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan ke lingkup kebudayaan yang lain. Ini dapat dilakukan dengan cara damai dan ekstrem. Memberantas korupsi dengan difusi damai seperti “memanfaatkan” kekuasaan untuk membentuk KPK, membuat UU, dan lain-lain. Jadi ada unsur “pemaksaan” yang baik.

Hubungan dengan Upaya Pemberantasan Korupsi
Dengan memahami paradigma bahwa sebuah kebudayaan dapat kita ubah dengan cara internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan cara difusi, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa korupsi dapat dilenyapkan. Yakni dengan memunculkan budaya tandingan korupsi seperti budaya jujur, budaya takut berbuat dosa, dan budaya-budaya “tandingan” lainnya. Namun, muncul satu pertanyaan lagi: langkah konkret apa yang dapat mahasiswa lakukan?

Think Globally, Act Locally
Untuk melenyapkan korupsi, mari kita mulai dari kampus, mari kita mulai dari fakultas masing-masing, mari kita mulai dari jurusan masing-masing dan mari kita mulai dari diri sendiri. Coba berhenti sesaat membicarakan korupsi dalam level “Indonesia” cobalah mulai membicarakan korupsi dalam level “diri sendiri”. Kita harus melakukan proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan difusi di lingkungan kampus.

Bangsa Indonesia adalah bangsa komunal yang butuh contoh dan panutan, karena itu mulai sekarang ciptakanlah lingkungan yang bersih korupsi dan angkatlah pemimpin yang bersih. Maka, pemberantasan korupsi semestinya dimulai dari diri kita. Setelah terlaksana, kita dapat memulai bicara lebih dalam tentang penanggulangan korupsi di sekitar kita. Lalu, meningkat di jurusan kita, di fakultas, kampus dan terakhir adalah di negeri kita yang tercinta; Indonesia.

Anggel D. Satria
Kepala Jaringan dan Lembaga
BEM FE UNS

Rabu, 27 Februari 2013

SINKRONISASI KEBIJAKAN ENERGI

Masih banyak pro kontra mengenai bbm bersubsidi. Isu terakhir yang terdengar adalah pemerintah iingin menghentikan subsidi terhadap bbm karena pemakaian dan penggunaan dilapangan tidak tepat sasaran. Bahwa dimana bbm bersubsidi lebih ditujukan pada mereka yang tidak mampu. Namun hingga saat ini, isu tersebut nyatanya masih belum ada titik jelas penyelesainnya. Kalau ingin berbicara mengenai efisiensi penggunaan bbm sesuai harapan, yaitu penggunaanya diharapkan memang hanya untuk kalangan tak mampu, dalam kenyataan dilapangan, hal tersebut jauh dari kata tepat sasaran.bahkan bisa dikatakan mustahil. Banyak masyarakat dari kalangan menengah ke atas masih menggunaan bbm bersubsidi. Menurut analisis saya, hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah sendiri tidak memberikan cukup sosialisasi yg baik pada masyarakat, lalu kurang adanya pengawasan dalam prakteknya, dan solusi untuk hal tersebut juga efisien, yaitu harga bbm non subsidi masih bisa dikatakan mahal. Padahal kalau ingin tepat sasaran, bbm nonsubsidi harganya jangan sampai mahal seperti itu. Hal itu pula yang mendorong masyarakat luas lebih memilih bbm bersubsidi yang murah karena memang dijangkau. Misalnya, harga terakhir pertamax yang digolongkan bbm non subsidi perliternya adalah Rp 8.300, harga ini jauh lebih mahal (hampir 2x lipat harga bbm bersubsidi, premium), bukan hal aneh bila masyarakat lebih memilih premium yang harganya lebih murah.kalua sudah begini, apa bisa kebijakan tersebut berjalan dengan efisien? Dalam kenyataanya penggunaan kendaraan bermotor yang dalam kalangan bukan tidak mampu namun juga bukan kalangan atas (kalangan menengah) jumlahnya tidak sedikit.terutama pengguna sepeda motor. Seharusnya bbm non subsidi harus bisa dijangkau oleh para penggunanya yang bukan kalangan tak mampu. Mungkin bagi orang berada, harga per liter senominal tsb bukan hal yang besar dan jadi perkara yang harus diributkan, namun bagaimana pengguna yang berada dikalangan menengah?apa semuanya mampu untuk menjangkau harga tersebut? Seharusnya pemerintah menyesuaikan harga sesuai dengan sasaran konsumen yang ingin mereka tuju, sehingga kebijakan yang ingin diambil bisa berjalan baik dan keputusan yang satu bisa mendukung keputusan yang lain. Akan lebih efisien lagi bila kalangan tak mampu memiliki tanda pengenal khusus ketika mereka harus membeli bbm di spbu, sehingga pengelola spbu pun bisa ikut mengawasi bahwa pembelian dan pemakaian bbm tersebut bisa tepat sasaran. Saya rasa, kedua komponen ini, efisiensi, bbm bersubsidi dan penjangkaun harga untuk bbm nonsubsidi harus lebih dipikirkan lagi. Tidak akan bisa berjalan kebijakan yang menginginkan bbm bersubsidi hanya untuk kalangan menengah kebawah bila kebijakan lain untuk harga bbm nonsubsidi tidak disesuaikan juga.

Jogja, 8 July 2011
Tiwi Nuzlia Damayanti
Staff Departement Kastrat
BEM FEB UGM

Selasa, 26 Februari 2013

Korupsi, Penghambat Target Indonesia di Tahun 2014

Indonesia perlu bekerja keras untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 7 persen pada 2014. Direktur Economist Corporate Network Ross O'Brien menyatakan, target ini bisa dicapai apabila Pemerintah Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi di bidang perbaikan institusi dan lingkungan hukum guna menggalakkan investasi di sektor infrastruktur publik.
Korupsi berkaitan erat dengan investasi publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat-pejabat strategis di Indonesia sering korupsi dengan jalan penggelembungan dana proyek-proyek yang menyangkut masyarakat luas. Bisa saja, sekilas kelihatannya alokasi dana untuk pendidikan meningkat tajam, tetapi kualitas dari dana itu justru menurun tajam. Anggaran pendidikan keseluruhan dalam anggaran pendapatan belanja negara 2010 mengalami lonjakan signifikan sebesar Rp11,9 triliun menjadi Rp221,4 triliun, dari sebelumnya Rp209,5 triliun di tahun 2009. Hal yang menarik adalah justru pada tahun ini anggaran pendidikan di RAPBN 2011 mengalami penurunan secara nominal rupiah dibandingkan APBN 2010 lalu. Alasannya adalah ada perubahan mekanisme penyaluran dana yang asalnya menggunakan sistem sentralisasi di kemendiknas menjadi langsung ke daerah-daerah. Menurut saya informasi ini secara tidak langsung mengatakan bahwa sistem yang dulu dipakai tidak efisien atau mungkin sarat akan korupsi. Ini menunjukkan bahwa besarnya kenaikan dana investasi dari pemerintah tidak berbanding lurus dengan kenaikan dampak positif dari dana tersebut, dikarenakan korupsi.
Kasus lainnya, selama 2008 lalu, persekongkolan pemenangan tender pemerintah menjadi satu-satunya kasus terbesar yang masuk dalam laporan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Perwakilan Surabaya. Dari 17 kasus yang masuk dalam laporan, 80% diantaranya adalah persekongkolan tender pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa serta pembangunan proyek infrastruktur. Sisanya, 10% tentang monopali pasar dan 10% lainnya tentang diskriminasi konsumen. Hal ini kembali menegaskan jika korupsi sudah sangat mengakar di birokrasi pemerintahan kita.
Hal berikutnya yang akan muncul setelah “macetnya investasi pemerintah” adalah rendahnya penerimaan negara. Karena macetnya investasi-investasi tersebut mengakibatnya hal-hal yang memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terhambat. Seperti dalam kasus pendidikan tadi, sumber daya manusia yang harusnya menjadi berkualitas tinggi akan tidak sesuai ekspetasi awal. Bisa saja kualitasnya lambat naiknya atau bahkan turun. Dalam kasus tender infrastruktur jalan, distribusi bahan baku ke pabrik lalu selanjutnya ke konsumen pun akan terhambat karena hal yang terkesan sepele, jalanan rusak. Permasalahan-permasalahan kecil (mikro) ini akhirnya akan menjadi permasalah negara juga (makro).

Efek ketiga yang akan muncul adalah rendahnya daya beli pemerintah dalam membeli barang-barang produksi. Tidak ada uang, tidak ada barang. Akhirnya BUMN-BUMN akan kesulitan dalam memproduksi barang-barang. Belum lagi memikirkan bagaimana bersaing dengan kompetitor-kompetitor swasta di bidang yang sama. Dampak kedua adalah untuk menutupi itu, pemerintah pun pasti berpikir untuk mengajukan utang, dengan harapan kondisi darurat ini teratasi dan selanjutnya keuntungan dari BUMN akan dipakai membayar utang kelak. Tetapi kenyataannya, korupsi kembali berbicara, sehingga bukannya untung tetapi BUMN akhirnya mengemis subsidi pemerintah.

Bagaimana dengan penerimaan pajak? Bukankah jumlahnya sangat fantastis sebesar Rp 649,042 triliun pada tahun 2010? Justru di pajak inilah ladang empuk bagi mafia pajak. Belum lepas dari ingatan kita bagaimana kasus Gayus Tambunan sempat berlarut-larut. Sulit sekali melacak siapa saja mafia pajak ini dan berapa dana yang telah dicuri. Hal ini dikarenakan mafia berbeda dengan koruptor biasa. Koruptor biasa mungkin bekerja sendiri-sendiri tanpa melibatkan pihak lain dalam sebuah permainan korupsi. Sehingga jika dilacak pun orang-orang yang berhubungan dengan kasus korupsi tersebut akan mudah diketahui. Informan pun cukup mudah didapat. Hal ini dikarenakan idealisme orang tersebut atau orang itu tidak mendapat bagian sama sekali dari hasil korupsi tersebut. Sehingga tidak ada rugi bagi dia untuk kooperatif dengan pihak berwenang. Beda kasusnya dengan mafia. Mafia adalah sekelompok koruptor yang punya posisi-posisi strategis di dalam sebuah kasus korupsi. Mereka sama-sama dapat bagian dalam menjalankan aksinya. Saat akan dilacak pihak berwenang pun, mereka akan saling melindungi satu sama lain. Kasus seperti ini yang sangat sulit didobrak pihak berwenang.

Dampak yang tak kalah mengerikan dari penggelapan pajak secara keseluruhan adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengalokasian pajak. Bahkan dua tahun belakangan (2009 dan 2010) penerimaan pajak Indonesia belum pernah mencapai target yang ditetapkan. Pajak memang diwajibkan, tetapi saat masyarakat membayar pajak rutin dengan pikiran pajak itu pasti akan dikorupsi juga, hal itu akan mempengaruhi psikologis masyarat secara luas. Masyarakat akan merasa justru pajak itu cara oknum-oknum pejabat mencuri uang mereka secara legal dan sah menurut hukum.

Sekencang apapun kita berlari dalam menggenjot roda perekonomian agar target pertumbuhan ekonomi 2014 terpenuhi, jika korupsi masih merajalela, maka pada akhirnya kita akan terlihat seperti merangkak saja, bukan berlari. Harus ada reformasi hukum yang diterapkan di Indonesia, sehingga ada hukum yang sangat mengintimidasi para koruptor dan calon koruptor dalam aksinya. Agar mereka berpikir ulang jika ingin korupsi. Penerapan hirarki pemerintah yang ramping, efisien, dan efektif juga wajib diperhatikan. Dalam teori di dalam ilmu manajemen, jika suatu korporasi terlalu panjang rantai komandonya, maka instruksi pimpinan tertinggi akan semakin sulit disampaikan sampai jenjang hirarki paling bawah. Ini masih berbicara korporasi dengan rantai komando, yang kita hadapi lebih kompleks lagi, negara dengan pengawasan korupsi di tiap-tiap rantai komando. Ketiga, selain memperbaiki dari atas, harus ada perbaikan dari bawah. Contoh, penerimaan PNS harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang sangat ketat, meskipun hanya menyeleksi pekerja-pekerja di tingkat hirarki yang rendah. Kemudian saat para PNS melakukan kesalahan, kurang produktif, atau bahkan korupsi, beri hukuman yang sangat berat. Sehingga sumber daya pekerja yang dihasilkan oleh “seleksi alam” ini adalah pribadi-pribadi jujur dan berkualitas. Jika sudah demikian, maka para PNS ini akan lebih peka dan sensitif jika atasan mereka ada yang korupsi. Mereka tidak akan segan-segan melaporkan kepada pihak berwajib. Cara ini akan memperbaiki secara perlahan tetapi pasti dan memberikan fondasi yang kuat. Masalah PNS yang sering dikeluhkan sebagai pengangguran terselubung pun teratasi. Cara-cara korporasi memang tidak semua bisa diterapkan dalam pemerintahan, tetapi bukan berarti seluruh metode berkualitas yang ada di korporasi kita tolak bukan?

Jika setiap elemen masyarakat dan pemerintah mau berbenah diri, mau berpikir terbuka dengan inovasi-inovasi yang ada, tidaklah mustahil kita akan terbebas dari korupsi. Memang korupsi adalah penyakit bervirus yang ditularkan Belanda sejak kita dijajah dulu. Hirarki pemerintahan kita pun warisan Belanda. Hukum pun warisan Belanda. Kita serasa dikepung oleh penyakit bervirus dari setiap lini yang dibawa Belanda sejak dulu. Tetapi bukanlah hal mustahil memperbaiki itu semua. Belum terlambat. Bahkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2014 yang sebesar 7 persen bukan hal yang mustahil untuk diraih.

Kementerian Kajian Ekonomi
BEM FE Unpad

Daftar pustaka:
www.kabarbisnis.com
www.okezone.com
www.kompas.com

Minggu, 24 Februari 2013

Korupsi : Penyumbang Angka Kemiskinan

Semakin hari rasanya telinga kita semakin akrab dengan kata korupsi. Semua media massa ramai dihiasi berita mengenai korupsi. Dari perbincangan yang membubuhkan teori dan analisa tajam sampai obrolan warung kopi yang meluncur alami dari hati, semua sama antusiasnya membahas perbuatan keji bernama korupsi.
Mengapa korupsi begitu sering menjadi topik pembicaraan saat ini? Ada teori yang menyebutkan bahwa suatu peristiwa bisa menjadi topik suatu berita karena peristiwa tersebut baru terjadi. Karena ke-baru-an suatu peristiwa tersebut akan membuat berita menjadi aktual. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk kasus korupsi di Indonesia. Kasus korupsi di Indonesia bukan merupakan peristiwa yang baru. Korupsi di Indonesia sudah marak muncul sejak rezim orde baru, bedanya, rezim orde baru tidak mengenal kebebasan pers dan kontrol sosial dari masyarakat sengaja ditebas. Akhirnya yang terjadi adalah semua orang bungkam mengungkap kebenaran, kemudian berita mengenai korupsi di zaman orde baru- baru terdengar setelah rezim tersebut berakhir dan barulah muncul orang-orang yang memberanikan diri mengungkap fakta.
Runtuhnya orde baru dan munculnya era reformasi sesungguhnya adalah harapan besar bagi rakyat, sebuah harapan besar untuk berkurangnya praktik korupsi. Sayangnya harapan itu terpaksa pupus karena fakta menunjukkan bahwa praktik korupsi bukan semakin surut, malah terang-terangan terekspos. Itulah “Sial” nya pemerintahan era reformasi, mereka berkuasa dalam suasana yang begitu demokratis dan terbuka. Sedikit saja membuat kesalahan, bersiaplah menjadi headline di berbagai media massa.
Sayangnya, terbongkarnya praktik korupsi ini tidak membuat para pelaku merasa malu atau bersalah. Jika sudah terbukti bersalah, kebanyakan dari mereka menyanggah atau menyeret nama lain untuk dijadikan kawan menginap di hotel prodeo. Tak kalah mencengangkan, dalam proses penyanggahan tersebut, beberapa orang malah sempat plesir bersama keluarga.
Miris? Memang, tapi itulah kenyataannya. Sikap para koruptor yang seperti ini tentu menyebabkan dampak besar, sebab objek korupsi adalah harta negara, maka yang paling terkena imbasnya adalah sektor ekonomi. Pada tahun 2011, KPK mengklaim telah berhasil menyelamatkan uang negara sebilai 7,9 triliun. Dari data tersebut kita bisa menyimpulkan betapa dahsyatnya nyali pemimpin-pemimpin kita untuk merampas hak rakyatnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa ada rakyatnya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh, hanya mendapat upah Rp10.000,00 per hari, maka dalam sebulan hanya mendapat upah Rp300.000,00 ini berarti dalam setahun hanya mendapat upah sebesar Rp3.600.000,00 yang artinya butuh waktu 277,77 tahun untuk menggenggam uang sebanyak 1 miliar saja. Jelas kontra dengan transaksi miliaran bahkan triliunan rupiah yang lihai diperagakan pejabat-pejabat jahat hanya dalam beberapa menit.
Dampak yang ditimbulkan korupsi bukanlah dampak yang kecil. Menurut Mauro (Corruption and Growth, 1995), korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Bisa kita lihat dari alokasi dana APBN, misalkan saja APBN Indonesia tahun 2010 sebesar Rp 1.047,7 triliun, didalamnya terdapat anggaran untuk pendidikan, menyokong kegiatan UKM, anggaran kesehatan dan kepentingan publik lainnya. Maka di tahun yang itu ternyata kerugian negara akibat korupsi adalah Rp 3,6 triliun.

UKM merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebab UKM banyak menyerap tenaga kerja. Karena dana yang dialokasikan untuk UKM tersebut dicuri, maka yang terjadi adalah banyaknya para tenaga kerja yang dirumahkan, PHK menambah jumlah pengangguran, dan akhirnya pengangguran menyebabkan kemiskinan. Masih ada beberapa anggaran yang tujuannya mengentaskan kemiskinan, tetapi karena terambil alihkan para koruptor, kemiskinan tidak terentaskan, malah semakin parah. Jelaslah sudah bahwa korupsi merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang merupakan buntut dari macetnya UKM
Akhirnya semua permasalahan mengenai korupsi tidak bisa diberantas oleh sebagian kalangan saja. Semua kalangan wajib memiliki kesadaran bahwa dampak yang ditimbulkan korupsi sangat merugikan kepentingan bangsa dan berjuang untuk memberantas korupsi adalah harga mati. Ketegasan pemerintah dalam menindak para koruptor serta memegang teguh janji membangun bangsa dikombinasikan dukungan, kritik membangun, kontrol sosial dan kepercayaan penuh dari masyarakat akan membuat cita-cita mewujudkan bangsa yang sejahtera menjadi suatu keniscayaan.

Kementerian Kajian Ekonomi
BEM FE Unpad

Sabtu, 23 Februari 2013

Korupsi, Ancam Ketahanan Ekonomi Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Dunia

Ditengah suasana krisis ekonomi dunia yang saat ini meliputi Amerika dan sebagian besar eropa, Indonesia menjadi negara yang dianggap cukup beruntung karena tidak terkena imbas langsung dari krisis ekonomi yang terjadi. Keberuntungan ini hadir bagi Indonesia sebab jumlah perdagangan luar negeri negara kita sebagian besar tidak bergantung kepada amerika serikat dan eropa dengan prosentasenya yang hanya 5 % dari total perdagangan luar negeri Indonesia. Selain itu faktor pendukung lainnya yang menyebabkan perekonomian Indonesia tidak terkena imbas besar krisis itu ialah kuatnya permintaan pasar domestik Indonesia yang menjadi fundamental yang cukup kokoh menahan dampak krisis global dan stabilitas sistem keuangan Indonesia yang saat ini cukup likuid dengan rate yang cukup rendah.
Ketahanan ekonomi Indonesia saat ini bagi sebagian pengamat ekonomi dan juga lembaga international dianggap sudah cukup kompeten dalam menghadapi hantaman badai krisis global yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga 5-7 tahun ke depan. Tetapi bekal yang dirasa cukup ini masih mungkin terancam untuk tergerus dan hilang karena tindak korupsi yang masih tetap marak terjadi di Indonesia. Korupsi ini memberikan dampak yang sangat berbahaya karena efek negatifnya akan menimbulkan sebuah multiplier efek bagi perekonomian secara luas. Untuk menjelaskan beberapa dampak itu maka implikasi-implikasi ini idealnya akan lebih mudah dicerna jika dijabarkan dalam beberapa bagian.
Tingkat Investasi
Mencoba untuk menganalisa dampak korupsi mulai dari permukaan, maka hal dasar yang bisa terlihat ialah turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Turunnya kepercayaan publik akan berimplikasi pada turunnya kepercayaan pelaku ekonomi terhadap kebijakan ekonomi yang dikeluarkan untuk memberikan regulasi pada pasar. Kemudian turunnya tingkat kepercayaan ini memunculkan stigma negatif dan kekhawatiran bahwa Indonesia tidak lagi memiliki iklim ekonomi yang cukup kondusif bagi pelaku ekonomi untuk bisa menginvestasikan dan mengaktivitaskan modalnya di Indonesia. Berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan pelaku ekonomi terhadap perekonomian Indonesia sangat rawan menyebabkan terjadinya capital flight, yakni larinya modal-modal baik luar negeri dan dalam negeri yang selama ini menyokong aktivitas pembangunan ekonomi Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi
Efek berikutnya yang muncul sebagai akibat korupsi ialah menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang sedang berada dalam trend yang cukup positif. Penurunan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dasarnya akan alami terjadi sebab adanya siklus dalam perekonomian, akan tetapi korupsi pada dasarnya mempercepat siklus itu dari waktu yang seharusnya. Hal ini terjadi sebab aktivitas korupsi menyebabkan dana-dana yang selama ini berada di Indonesia yang selama ini digunakan dalam pembangunan ekonomi menjadi miss-allocation sebab dana-dana ini yang pada awalnya alih-alih ditujukan untuk memutar roda kegiatan ekonomi dengan kemampuannya dalam menciptakan produktifitas negara justru masuk ke kantong-kantong para koruptor sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang sudah diputuskan menjadi tidak berjalan dengan baik dan efektif atau bahkan tidak berjalan sama sekali akibat korupsi yang terjadi.
Kesejahteraan Masyarakat
Dengan terhambatnya pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari korupsi yang terjadi maka imbas yang sangat terlihat di permukaan ialah menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Maka benar saja jika selama ini kita sering mendengar bahwa korupsi memiskinkan bangsa, korupsi memfakirkan masyarakat, sebab terhambatnya pertumbuhan ekonomi akibat korupsi membuat sistem ekonomi Indonesia tidak lagi beraktifitas dalam kondisi normal. Ketidak normalan kondisi ini terjadi akibat resources yang dibutuhkan oleh perekonomian Indonesia menjadi tidak terpenuhi lagi karena korupsi telah mengambil resources yang seharusnya digunakan untuk kepentingan produksi tersebut menjadi untuk penggunaan bagi kepentingan pribadi-pribadi yang tamak dan egois dengan korupsi bagi uang rakyat. Berkurangnya resources dalam sistem produksi perekonomian Indonesia pada akhirnya akan membuat jumlah kapasitas produksi yang dihasilkan menjadi menurun, dan apabila supply barang lebih rendah dari demand maka yang terjadi ialah kelangkaan dan pemerintah pada akhirnya akan melakukan impor sebagai jalan keluar. Tetapi langkah yang dilakukan ini pada dasarnya tetap mengakibatkan harga dari barang-barang mengalami kenaikan. Sehingga wajar saja jika rakyat Indonesia saat ini sudah tak lagi bisa hidup dengan layak bahkan bisa sepenuhnya hidup dengan pendapatan yang tak lebih dari Rp 500.000 perbulan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh World Bank.

Utang Negara
Maraknya korupsi yang terjadi yang membuat situasi hidup masyarakat Indonesia mengalami kesulitan hidup, mau tidak mau membuat negara dalam hal ini yang memang bertugas untuk menjadi pengayom dan pelindung bagi seluruh warganya untuk bisa hidup layak dan berkecukupan memiliki tanggung jawab yang amat besar. tanggung jawab yang amat besar ini mengharuskan negara melakukan hampir segala cara untuk bisa tetap menjalan seluruh kehidupan bernegara baik dari hal besar hingga hal kecil, semuanya perlu dilakukan. Korupsi sesungguhnya telah membuat negara harus berpikir keras untuk menemukan cara agar masyarakatnya bisa tetap sejahtera dan mampu bertahan hidup, hingga banyak cara dilakukan yang antara lain salah satunya dengan berhutang. Negara Indonesia berhutang selama ini sesungguhnya hampir mayoritas keseluruhan hutang itu digunakan untuk bisa menjalankan kehidupan bernegara ini agar bisa terus eksis. Hutang ini dialokasikan untuk menutupi deficit anggaran dari anggaran belanja negara, sebab negara tidak memiliki banyak pilihan untuk bisa tetap menjalankan pembangunannya walaupun modal yang dimiliki negara ini jauh dari batas yang dianggap cukup. Kurang berdayanya kemampuan financial ini pada akhirnya membuat negara terus menambah hutang sehingga hutang Indonesia tidak lagi dalam batas kemampuan membayar negara ini, ditambah lagi tindak korupsi bukannya semakin berkurang justru makin bertambah saja. Mungkin sudah saatnya agar bangsa ini untuk kembali bercermin tentang apa saja pencapaian yang selama ini telah dicapai terutama dalam hal pemberantasan korupsi yang sudah sangat akut dan berbahaya.

Kementerian Kajian Ekonomi
BEM Kema FE Unpad

Kamis, 21 Februari 2013

Birokrasi di Indonesia yang Makin Rumit

Patologi Birokrasi : Penyakit Pemerintah Daerah
Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan di tahun 2011, jumlah PNS di pusat maupun di daerah kurang-lebih mencapai 4,7 juta. Dengan adanya kenaikan jumlah PNS tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, pada kenyataannya kenaikan jumlah PNS lebih berdampak pada proses penggemukan birokrasi pemerintah daerah tanpa adanya efektifitas kerja pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dari hasil survei integritas yang dilakukan oleh KPK bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia baru mencapai skor 6,31 dari skala 10 untuk instansi daerah. Indikator penilaian dalam survei integritas ini antara lain pengalaman korupsi, cara pandang terhadap korupsi, lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu dan pencegahan korupsi.
Berdasarkan Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia berada pada peringkat 121 dari 183 dalam kemudahan berusaha. Jauh tertinggal dengan Malaysia yang ada diperingkat 21 dan Thailand pada peringkat 19, atau bahkan Singapura yang menduduki peringkat 1. Padahal dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia, investor global dapat menjadi Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi.
Survey Doing Business mempunyai indikator survei yang mencakup kemudahan memulai usaha, menutup usaha, mendaftarkan properti, membayar pajak, melindungi investor, perdagangan lintas batas, perijinan konstruksi, mendapatkan pinjaman, dan pelaksanaan kontrak. Diperoleh data bahwa di DKI Jakarta sebagai representasi Indonesia, untuk memulai usaha harus melalui 9 prosedur dengan 60 hari kerja. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia terlalu berbelit dan membutuhkan waktu lama sehingga menjadi salah satu hambatan penanaman investasi di Indonesia.
Dalam pemerintahan daerah pun muncul beberapa macam patologi birokrasi. Terdapat 5 klasifikasi patologi birokrasi menurut Siagian yaitu persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi, tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan, manifestasi perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional, dan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Bentuk dari Patologi persepsi dan gaya manajerial pejabat antara lain adalah penyalahgunaan wewenang dan jabatan, praktek KKN, serta rendahnya kredibilitas. Patologi kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi berbentuk rendahnya produktifitas, kurang cekatan, dan ketidaktelitian. Patologi tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan sangat jelas berbentuk praktek korupsi, dan mark up anggaran. Konspirasi serta tidak disiplin adalah bentuk dari patologi manifestasi perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Sedangkan patologi akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan antara lain eksploitasi bawahan dan kondisi kerja yang kurang kondusif.
Patologi birokrasi yang muncul tersebut kemudian menunjukkan bahwa PNS memiliki kualitas SDM yang kurang. Dalam hal akademis mungkin PNS memang mempunyai kualitas yang baik, dapat dilihat dari kriteria CPNS yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam hal kualitas pribadi, bisa dibilang bahwa PNS masih perlu meningkatkan lagi kualitasnya. Dapat dilihat dari lima macam patologi birokrasi yang muncul, kesemuanya berkaitan dengan kualitas pribadi CPNS.
Dengan kualitas akuntabilitas yang kurang memuaskan serta patologi yang timbul, PNS tetap memperoleh alokasi dana yang cukup besar dalam APBD. Dana tersebut diperoleh melalui remunerasi, kenaikan gaji pegawai serta tunjangan pegawai daerah yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kenaikan jumlah PNS daerah tiap tahunnya terus meningkat, maka dana APBD juga akan meningkat.
Padahal menurut data Indonesian Corruption Watch pada tahun 2011, pegawai negeri menduduki peringkat pertama pelaku korupsi dengan 239 kasus. Pemerintah daerah juga ada di peringkat pertama 264 kasus. Demikian pula dengan jumlah kerugian paling banyak yang diderita oleh pemerintah daerah dengan jumlah kerugian mencapai 657,7 M. Ironi, bagaimana pemerintah daerah dapat menjadi tempat maraknya korupsi sedangkan alokasi dana APBD cukup besar untuk penghasilan serta berbagai tunjangan yang diperoleh PNS daerah yang terus meningkat tiap tahunnya.
Sesungguhnya solusi dari inefektifitas pemerintah daerah telah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Didalamnya terdapat metode pelaksanaannya, sasaran lima tahunan serta ukuran keberhasilan. Tujuan dari reformasi birokrasi tersebut adalah untuk mewujudkan Good Govermence di Indonesia, sehingga birokrasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan efektifitas kerja serta tidak lagi menjadi hambatan perkembangan daerah.
Maka dari itu, perlu adanya kesuksesan dari reformasi birokrasi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Dengan suksesnya reformasi birokrasi tersebut, maka tujuan memberikan kontribusi nyata pada capaian kinerja pemerintahan dan pembangunan nasional dan daerah akan tercapai serta tercipta pemerintah daerah yang efektif.


Reformasi Birokrasi demi Terciptanya Good Local Governance

Birokrasi. Suatu kata yang sederhana namun mencerminkan berbagai macam kerumitan, tidak terkecuali di Indonesia dan provinsi-provinsi di dalamnya. Birokrasi merupakan salah satu inti permasalahan yang menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun di daerah tidak berjalan dengan semestinya.
Pada pemerintahan daerah misalnya, demokrasi yang menuntut pemda untuk bisa menjalankan pemerintahannya secara mandiri dan lebih dekat dengan masyarakat itu terkendala masalah birokrasi yang menyebabkan pelaksanaanya tidak efektif dan efisien. Bagaimana tidak? Konsep desentralisasi yang digadang-gadang akan mampu melahirkan masyarakat yang aspiratif dan apresiatif tersebut justru memberikan peluang bagi para aparatur daerah untuk menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan cara korupsi dan suap-menyuap. Masalah lain yang kita hadapi adalah kinerja pelayanan publik yang buruk akibat berkurangnya kredibilitas birokrat terkait etos kerja yang rendah dan tindakan indisipliner mereka. Belum lagi masalah birokrasi yang berbelit-belit dan prosesnya yang lama, hal itu sudah tidak relevan lagi dengan masyarakat yang menginginkan proses yang mudah dan cepat.
Birokrasi yang buruk itu tadi akan mempengaruhi berbagai macam kegiatan fundamental yang bisa berdampak pada kerugian daerah itu sendiri. Misalnya, birokrasi yang koruptif, rumit, dan lama akan mengurangi daya tarik investor untuk menginvestasikan modalnya ke daerah tersebut, mereka tidak mau menghabiskan sebagian besar dananya hanya untuk ‘mempermulus’ jalan mereka dalam berinvestasi. Akibatnya, daerah itupun tidak bisa berharap banyak pada investor luar daerah untuk membantu pembangunan ekonomi daerah tersebut. Selain itu, dari internal daerah pun, masyarakat akan sulit berkembang karena setiap kegiatan mereka terhambat oleh masalah birokrasi, entah itu dalam dunia usaha maupun keperluan lainnya. Masyarakat akhirnya mengalami kesan negatif dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat pelayanan publiknya yang tidak memuaskan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama terkait dengan aspek-aspek kelembagaan, tata laksana, dan sumber daya manusia aparaturnya atau dengan kata lain: reformasi birokrasi. Dalam mewujudkan reformasi birokrasi ini, ada banyak langkah yang harus ditempuh, antara lain: menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola good governance agar birokrasinya pun lebih tepat dan tidak berbelit-belit; optimalisasi penggunaan IT untuk menciptakan sistem yang lebih terintegrasi, cepat, dan mudah; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menjalankan mekanisme kontrol yang efektif guna melahirkan aparatur yang kompeten dan disiplin. Apabila pengembangan SDM aparatur mampu berjalan dengan baik, akan terbentuk perilaku aparat yang bertanggung jawab, berintegritas tinggi, dan mampu memberikan pelayanan yang terbaik.
Memang, reformasi birokrasi ini harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, tidak bisa secara instant menginginkan untuk mengubah sistem yang sudah mengakar kuat. Tetapi, secara keseluruhan, apabila reformasi birokrasi ini benar-benar sukses merombak birokrasi lama yang buruk itu, maka bukan mustahil apabila di pemerintahan akan bisa tercipta birokrasi yang bersih, efisien, efektif, responsible, transparan, dan benar-benar melayani masyarakat. Dengan begitu, pemerintah daerah pun bisa menjalankan fungsinya sebagai fasilitator masyarakat sesuai amanah otonomi daerah dengan semestinya.


Government as Entrepreneur: Solusi Mengatasi Inefisiensi Birokrasi

Ketika saya membaca salah satu surat kabar yang saat itu menyajikan data mengenai komponen anggaran suatu pemerintah daerah, saya mencoba melihat komponen pengeluaran pemerintah daerah tersebut. Saat itu saya melihat bahwa porsi pengeluaran pemerintah daerah untuk anggaran belanja pegawai mencapai 75%. Saat itu saya belum begitu mengetahui apa itu anggaran belanja pegawai, saya berpikir bahwa itu positif, berarti pemerintah memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Setelah itu saya mencoba googling, mengidentifikasi apa yang telah saya baca di surat kabar tadi. Betapa mengejutkannya setelah hasil indentifikasi saya menunjukkan ada suatu masalah dan ketimpangan yang bisa kita simpulkan dari sajian data pemerintah daerah tersebut. Terlalu besarnya porsi pengeluaran pemerintah untuk keperluan menggaji pegawainya, yang merupakan salah satu bagian dari permasalahan negara ini yaitu inefisiensi birokrasi.
Ada tiga masalah yang menjadi faktor penghambat keleluasaan berkembangnya usaha di suatu daerah yaitu 1) Korupsi, 2) Inefisiensi Birokrasi, 3) Infrastruktur yang kurang memadai. Tiga hal ini harus bisa dijadikan warning bagi pemerintah daerah, karena selama tiga masalah ini belum diselesaikan, pengembangan usaha di daerah tersebut akan terhambat dan tentu ini bukan indikator yang baik untuk kemajuan daerah tersebut.
Inefisiensi birokrasi, sulit mencerna istilah ini secara definisi karena arti dari inefisiensi birokrasi adalah penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintahan daerah yang kurang efisien. Cukup abstrak apabila kita menelaah secara istilah saja, banyak peristiwa yang terjadi di sekitar kita cukup menerangkan apa itu inefisiensi birokrasi, seperti pengurusan KTP di kantor kecamatan yang membutuhkan waktu lama, kemudian pengurusan izin bangunan/tanah yang kita beli dengan istilah ‘lebih tinggi bayarnya, lebih cepat selesainya’, dll. Secara makro, kita dapat lihat bagaimana susunan anggaran pemerintah daerah, yang tidak ‘pro rakyat’, cenderung menjadikan kepentingan pejabat birokrasi dan stafnya sebagai porsi pembelanjaan utama. Hal ini yang menyebabkan bagaimana otonomi daerah yang diharapkan mengantarkan kesejahteraan lebih dekat dan terasa oleh rakyat justru menjadi keleluasaan pemerintah daerah mengatur kepentingan mereka sendiri, tanpa memberikan pelayanan terpadu kepada masyarakat. Lihat juga bagaimana prosedural masih menjadi masalah bagi pengembangan usaha dan iklim bisnis di daerah sehingga terlihat sekali bagaimana ketidakefisienan terjadi, pejabat birokrasi dibayar tinggi, kesejahteraan selalu ditingkatkan tanpa ada feedback berupa peningkatan kinerja yang signifikan.
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana kita bisa mengatasi masalah inefisiensi birokrasi? Satu hal, tumbuhkanlah semangat ”Government as enterpreneur” di Indonesia. Artinya adalah tanamkan sikap bahwa birokrasi bersifat melayani, bukan dilayani. Ada dua efek yang bisa ditumbulkan dari prinsip baru ini, yang pertama adalah bagaimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan pengaturan anggaran belanja pegawai secara taktis, dalam arti buat sistem insentif bagi pegawai pemerintah yang produktif dan mampu menunjukkan kinerja baik dalam kegiatannya melayani masyarakat. Sistem penilaian ini bisa dilakukan pemerintah maupun digulirkan kepada masyarakat itu sendiri, sehingga hanya pegawai, atau instansi yang menunjukkan kinerja pelayanan baik kepada masyarakat yang mendapatkan tambahan tunjangan. Sesuai dengan prinsip ekonomi “people respond to incentives”, kebijakan ini dapat mewujudkan iklim kompetisi sehat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kedua adalah bagaimana sistem pemberian insentif tadi ini juga mewujudkan efisiensi anggaran, selektivitas pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai lebih tinggi sehingga tidak semua pegawai diberikan pendapatan sama tingginya, tetapi hanya dengan indikator kinerja yang baik saja yang diberikan insentif berupa tunjangan tambahan. Hasil efisiensi anggaran tadi itulah yang bisa diarahkan untuk pembangunan fasilitas atau infrastruktur untuk masyarakat, serta menggerakkkan roda perekonomian riil demi kemajuan daerah. Selain itu, terdapat banyak multiplier effect lain yang dapat dihasilkan dari prinsip tadi, yaitu iklim usaha yang kondusif karena pelayanan terpadu, kesejahteraan masyarakat meningkat, dll. Prinsip like an enterpreneur yang selalu ingin berkompetisi, memberikan yang terbaik, serta taktis dalam melahirkan inovasi handal ini yang diharapkan dari penyelenggaraan birokrasi, tidak hanya di daerah, tetapi juga di pusat. Apabila ini terwujud, maka kesejahteraan masyarakat pun bukan sekedar embel-embel janji seorang birokrat ketika terpilih, tetapi sebuah hasil nyata berkat peran pemerintah yang prima untuk melayani masyarakat.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM


Senin, 18 Februari 2013

Bagaimana Wajah Birokrasi Kita?

“The only thing that saves us from the bureaucracy is inefficiency. An efficient bureaucracy is the greatest threat to liberty.”
Eugene McCarthy

“Bureaucracy is the art of making the possible impossible.”
Javier Pascual Salcedo

Manusia di dunia ini hidup dalam sebuah sistem. Terbentuknya sistem yang seharusnya memudahkan itu biasanya dijalankan oleh pegawai pemerintah di suatu negara dan amat bergantung pada hirarki atau jenjang jabatan. Itulah yang disebut dengan birokrasi. Salah satu definisi harafiahnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Dari pengertiannya saja birokrasi dapat dikategorikan cukup rumit. Coba perhatikan ungkapan di atas, birokrasi adalah seni membuat sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin, dengan kata lain penuh permainan, kotor, dan tidak beradab. Benarkah seperti itu?

Di Indonesia sendiri, permasalahan birokrasi masih menjadi kendala utama bagi masyarakat dalam mendapatkan kemudahan berusaha, pembuatan identitas, hingga pengurusan perizinan. Semua hal tersebut memerlukan sebuah proses panjang yang bisa dikatakan kurang efisien. Buruknya citra birokrasi Indonesia tercermin dalam rendahnya pelayanan publik dewasa ini. Berbagai program dan langkah telah dilakukan pemerintah, perlahan memang ada kemajuan namun belum signifikan. Bahkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara ditambahkan fungsinya menjadi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi semata untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Sebenarnya, secara kebermanfaatan, birokrasi adalah upaya terbaik dalam mensistematiskan, mempermudah, mempercepat, mendukung, mengefektifkan, dan mengefisienkan pencapaian tujuan-tujuan pemerintahan. Salah satunya dengan memudahkan masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk memperoleh layanan dan perlindungan. Indikator inilah yang nantinya dapat menjelaskan apakah birokrasi menjadi penyebab inefisiensi pemerintah, utamanya pemerintah daerah. Banyak variabel yang diperlukan untuk menjabarkannya. Menurut Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia menempati peringkat ke-155 dari 183 negara untuk memulai sebuah usaha dan peringkat ke-131 dari 183 negara dalam kemudahan pembayaran pajak. Peringkat ini jauh dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Malaysia yang telah bertengger di peringkat dua puluh besar. Selain itu, baru-baru ini World Economic Forum (WEF) mempublikasikan laporan tahunan mengenai daya saing global, yaitu The Global Competitiveness Report 2011-2012, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 4 dari 6 negara di Asia Tenggara yang masuk dalam perhitungan survey. Salah satu kelompok indikatornya adalah kelompok penopang efisiensi, dengan elemen institusi sebagai salah satu di dalamnya.

Jika kita ingin memberikan contoh dimana letak buruknya birokrasi Indonesia, coba tengok proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) di daerah masing-masing. Biaya pembuatan yang seharusnya terjangkau menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dari seharusnya akibat ulah oknum maupun keinginan pengaju untuk menjalani proses yang lebih cepat. Sebenarnya, ada beberapa faktor yang membuat hal ini terjadi, diantaranya: “paksaan” dari petugas untuk mempersingkat proses melalui uang “pelicin” sehingga terjadilah suap. Inilah lemahnya birokrasi, membutuhkan proses yang panjang dan menjadi celah timbulnya KKN; masyarakat sendiri tak ingin bertele-tele dalam proses sehingga rela mengeluarkan biaya lebih untuk menempuh jalur pintas. Kesempatan ini digunakan dengan memposisikan diri sebagai penyuap yang otomatis turut menyuburkan korupsi; dan terakhir lemahnya pengawasan meskipun regulasi yang ada mungkin telah cukup jelas dan rinci. Disitulah letak “kecolongan” kembali birokrasi melalui SDM nya yang masih berkualitas bawah.

Marilah kita kembalikan lagi apa sebetulnya fungsi dari birokrasi. Mengefisienkan sebuah sistem pemerintahan. Terlihat dari indeks persepsi korupsi oleh Transparency International tahun 2011, Indonesia menempati peringkat ke-100 bersama sebelas negara lain dengan nilai 3,0 (skala 0 paling korupsi – 10 paling bersih) yang tergolong masih cukup parah. Dari penilaian ini, korupsi tercipta salah satunya dari proses birokrasi yang sulit dan disengajakan panjang untuk menambah pundi-pundi mereka yang tidak bertanggung jawab. Efisiensi pemerintah daerah perlu ditelaah lebih lanjut, melalui bagaimana penyaluran APBD nya, bagaimana pengelolaan keuangannya, dan lain sebagainya. Birokrasi hanya merupakan salah satu penentu yang diibaratkan kunci dari segala pintu.

Masalah ini tentunya dapat diselesaikan dengan berbagai langkah konkret dan konsisten. Misalnya, pembentukan layanan pengaduan yang lebih efektif, pengefektifan “meja” dalam sebuah alur pengajuan suatu permohonan, hingga tindakan sangat tegas kepada petugas yang berani melakukan tindakan melawan hukum atau di luar undang-undang. Transparansi publik dan akuntabilitas juga merupakan syarat mutlak yang dapat meningkatkan peranan kontrol sosial masyarakat demi menuju terciptanya sistem birokrasi ideal. Negeri ini memang membutuhkan sebuah gebrakan kuat yang tidak bisa lagi memaklumi sana-sini. Perlu dukungan riil dari berbagai pihak terutama masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dunia birokrasi. Dengan tekad, usaha, dan keyakinan yang bulat niscaya perwujudan sebuah negara yang lebih baik dan bersih akan tercipta. Birokrasi bukan masalah waktu ataupun materi tapi perihal kemauan untuk melayani dengan hati.


Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

Minggu, 17 Februari 2013

Inefisiensi Perekonomian Akibat Mahalnya Ongkos Birokrasi

Salah satu masalah terbesar perekonomian Indonesia adalah inefisiensi. Penyebabnya adalah mahalnya ongkos birokrasi tingkat nasional maupun daerah. Misalnya untuk membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), kita harus meminta surat keterangan ke RT dan RW serta mengeluarkan uang, lalu meminta perizinan dari kelurahan dan bayar, lalu kecamatan dan bayar, terakhir ke kepolisian dan bayar juga. Rumitnya jalur birokrasi juga dirasakan ketika orang miskin ingin meminta jaminan kesehatan pengobatan di RS. Banyak proses yang harus dilalui seorang pasien tapi pasien yang bersangkutan sudah sakit dan butuh pertolongan secepatnya. Contoh diatas merupakan gambaran kecil mahalnya ongkos birokrasi di Indonesia.
Borosnya ongkos birokrasi bisa dilihat dari total RAPBN di tahun 2012 yang sebesar Rp1.418,5 triliun. Selain subsidi, biaya yang paling mahal dikeluarkan pemerintah adalah gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebesar Rp 104,9 triliun atau sebesar 7,4% dari total anggaran. Padahal jumlah PNS di Indonesia hanya 4.732.472 orang atau hanya sekitar 0,25 persen dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang sebanyak 119,39 juta orang. Terlihat bahwa PNS sebetulnya minoritas dengan biaya yang sangat mahal dibanding angkatan kerja non-pemerintah. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh rakyat tak hanya lewat belanja APBN yang besar, tetapi juga biaya birokrasi dan biaya lainnya yang menyebabkan tidak efisiennya perekonomian Indonesia.
Bisa kita lihat, Pegawai Departemen Pendidikan Nasional selain guru berjumlah lebih dari 200 ribu orang dan Pegawai Departemen Agama berjumlah sekitar 180 ribu orang. Pada tingkat daerah, Pemda DKI Jakarta yang memperkerjakan lebih dari 90.000 orang pegawai hanya untuk mengurusi wilayah yang luasnya 65.000 hektar. Data-data tersebut menunjukkan betapa birokrasi di Indonesia sangat mahal dan sangat jauh dari efisiensi. Apakah Indonesia membutuhkan birokrat sebanyak itu untuk mengurusi masalah-masalah yang tidak kunjung selesai?
Oleh karena itu, mengurangi jumlah PNS adalah langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dengan cara membatasi input pegawai baru dengan sangat ketat. Memakai sistem kontrak bisa membuat PNS menjadi terpacu mengejar target dan meningkatkan kinerja. Jika gagal, PNS bisa diberhentikan. Sistem aman kepegawaian PNS yang ada selama ini cenderung melumpuhkan kreativitas dan kinerja PNS. Jadi, dengan sistem ini motivasi PNS tidak lagi disibukkan dengan bagaimana meningkatkan pendapatan tambahan dari sistem birokrasi yang ada tetapi disibukkan dengan peningkatan kinerja dan produktivitas.
Selain itu yang tidak kalah penting, aturan kepegawaian bahwa PNS tidak bisa dipecat harus dihapuskan. Hal ini harus disertai dengan memperkuat jabatan fungsional dan memotong jabatan struktural. Dengan ini, pegawai yang punya kinerja bagus bisa dipromosikan sementara yang kinerjanya buruk bisa dipecat. Dengan ini pemerintah bisa menghemat puluhan triliun APBN. Efek lainnya, berkurangnya PNS berarti memudahkan pengawasan dan pencegahan terhadap KKN. Dengan berkurangnya jumlah PNS, belanja atribut juga bisa dihemat dan aset yang berlebih saat ini bisa disumbangkan pada yang membutuhkan.
Bagaimana dengan penghasilan PNS yang kontraknya selesai? Apakah akan menimbulkan pengangguran baru? Solusinya adalah pelatihan wirausaha secara berkala bagi para PNS sejak awal bekerja. Pelatihan wirausaha ini bisa disesuaikan dengan bisnis-bisnis yang modalnya sesuai dengan besarnya penghasilan yang diberikan pemerintah. Dengan ini, PNS yang setelah habis masa kontraknya bisa langsung memulai bisnisnya. Jadi, dengan mengatasi masalah yang baru pemerintah tidak menimbulkan masalah yang baru lagi, tapi memuncukan alternatif baru yang solutif. Anggaran gaji PNS yang dikurangi bisa digunakan untuk infrastruktur, pendidikan, dan sektor lainnya yang lebih produktif. Selain itu, jumlah wirausaha di Indonesia bisa meningkat dan lapangan kerja yang baru bisa tersedia.
Referensi:
BEM Kema FE Unpad

Sabtu, 16 Februari 2013

KESEJAHTERAAN BURUH DAN ORANG KAYA BARU DI INDONESIA


Negara kepulauan Indonesia memiliki beraneka ragam aktivitas, dan kesibukan penduduk masing-masing didalamnya memberikan sebuah pesona yang menggambarkan keunikan dari setiap daerah. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 237 juta jiwa dengan berbagai ragam struktur sosial yang ada baik dari golongan atas, menengah, maupun ke bawah telah memberikan dinamika kehidupan sosial bagi Indonesia. Banyak kebutuhan yang diinginkan membuat permintaan akan konsumsi sangat tinggi, baik dari sektor riil maupun moneter. Sudah pasti masyarakat harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tersebut baik dengan cara meminta atau dengan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Lantas dengan minimnya pekerjaan layak yang ada di Indonesia mengakibatkan banyaknya masyarakat yang merasa tidak sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan bahkan untung-untungan bisa menjadi buruh di suatu perusahaan. Sarjana yang saat ini menjadi standar akademik suatu perusahaan membuat masyarakat miskin semakin berteriak karena biaya yang mahal. Buruh yang definisinya adalah mereka yang bekerja pada majikan dan menerima upah menjadi alternatif paling bontot yang diinginkan oleh tenaga pencari kerja supaya mendapatkan rejeki.
Isu tentang perburuhan saat ini merupakan salah satu isu yang sering cepat dilupakan. Buruh yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional hanya dipandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan kaum buruh yang tak kunjung membaik. Desakan dari serikat pekerja maupun perundingan antara pengusaha, pemerintah dan buruh selalu berujung kegagalan. Kontribusi buruh yang sangat besar ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dari tahun ke tahun muncul permasalahan buruh terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang juga tidak memihak pada buruh.
Upah seharusnya mencakup semuanya tetapi kenyataannya upah hanya merupakan gaji pokok tanpa memperhitungkan tunjangan, itupun masih jauh dari kebutuhan riil pekerja. Di Indonesia sendiri, kesejahteraan buruh sendiri hanya sebatas upah minimum yang diberikan saja. Upah minimum menjadi patokan pemilik modal untuk memberikan balas jasa kepada pekerjanya. Penetapan upah minimum merupakan ciri menonjol intervensi negara pada pasar tenaga kerja dibanyak negara sedang berkembang (Squire, 1982).
Berbanding terbalik dengan kelas bawah, bahwa kelas menengah atas pun tidak kalah meriahnya. Faktanya penduduk kelas menengah di Indonesia terus mengalami pertumbuhan pesat. Bahkan, dalam satu dekade dari 1999 hingga 2009, kelompok ini telah melonjak dua kali lipat dari 45 juta jiwa menjadi 93 juta jiwa. Menurut Drajad (2011) ada tiga faktor penyebab orang kaya baru berkembang pesat di Indonesia. Pertama yaitu tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang semakin membaik. Belakangan ini, semakin banyak penduduk yang mengenyam akses pendidikan sejak diberlakukannya wajib belajar dulu. Kedua adalah reformasi ekonomi dan politik telah menciptakan banyak orang kaya baru terutama dari perkebunan, pertambangan khususnya batu bara dan sebagian kehutanan. Kalau sebelumnya akses terhadap kekayaan sumber alam hanya dikuasai kelompok terbatas, sekarang lebih meluas ke kaum elit-elit politik, daerah, dan organisasi masyarakat. Ketiga, imbas dari booming sektor keuangan, teknologi informasi dan industri kreatif menciptakan orang kaya baru dari kelompok muda.
Namun faktanya, pertumbuhan kelas menengah tersebut masih disertai dengan ketimpangan yang cukup besar, terutama dengan buruh, petani dan nelayan. Jumlah penduduk miskin masih menjadi perhatian yaitu sekitar 31 juta jiwa. Mengacu hasil survey Badan Pusat Statistik pada tahun 1999 dan 2009, kelompok menengah meningkat hampir tiga kali lipat, dari 7,5 juta menjadi 22 juta jiwa. Kelompok menengah atas bahkan naik lima kali lipat dari 0,4 juta menjadi 2,23 juta jiwa. Sedangkan kelompok yang berkecukupan naik 0,1 juta menjadi 0,37 juta jiwa. Pertumbuhan kelas menengah ini seiring dengan pendapatan per kapita Indonesia yang meningkat menjadi US$3000 per tahun pada 2010. Menurut Credit Suisse (2010), di Indonesia jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar diperkirakan mencapai 60 ribu orang dewasa. Sebagian besar, lebih dari 80 persen kekayaan orang Indonesia tersebut diinvestasikan dalam instrumen non finansial, seperti properti baik bangunan dan tanah. Bukan hanya untuk kelompok miliarder, secara keseluruhan, tercatat rata-rata kekayaan orang Indonesia meningkat lima kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah kelompok ini dipastikan bakal terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tergolong cukup tinggi di Asia. Kelompok ini dikenal sebagai kalangan yang gemar konsumsi.
Realita ketimpangan antara buruh dengan orang kaya baru di Indonesia inilah yang kemudian memunculkan marginalitas buruh, karena ada pergeseran kepentingan yang menempatkan buruh pada posisi yang serba sulit dan selalu harus dikorbankan. Perjuangan dan negosiasi untuk memperjuangkan kesejahteraan justru dilawan oleh pengusaha dan negara dengan kebijakan dan aturan yang semakin menenggelamkan harapan buruh. Pemecahan masalah kesejahteraan buruh bisa dilakukan dengan salah satunya adalah dengan memupuk kesadaran kelas dalam serikat-serikat buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh. Peran negara menjadi penting untuk menjembatani dan melindungi kepentingan kaum buruh. Pengusaha maupun perusahaan harus menempatkan buruh bukan sebagai faktor produksi melainkan partner.
www.bps.go.id
www.detik.com
www.scribd.com
Menteri Luar Negeri
BEM Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret

Kamis, 14 Februari 2013

Buruh Paruh Waktu = Buruh Setengah Hidup ?


All labour is directed towards producing some effect - Alfred Marshall


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan buruh sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Stigma yang berkembang di masyarakat saat mendengar kata buruh adalah pekerja rendahan dengan latar belakang pendidikan dan upah yang rendah. Padahal, mereka merupakan bagian dari angkatan kerja produktif yang berperan menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Upah yang diterima buruh pun berbanding lurus dengan rendahnya tingkat pendidikan mereka yang rata-rata hanya lulusan SMP. Hal ini memicu para pelaku industri yang mempekerjakan para buruh bertindak sewenang-wenang, seperti memberlakukan sistem buruh kontrak.
Sebenarnya sistem buruh kontrak sendiri mempunyai legalitas hukum, seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Bab IX pasal 58 dan 59, dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mengatur legalitas perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja secara kontrak, tetapi hanya untuk pekerjaan tertentu yang sifatnya sementara bukan pekerjaan rutin. Fakta di lapangan membuktikan banyak penyimpangan legalitas hukum terjadi. Perusahaan-perusahaan memanfaatkan UU Ketenagakerjaan untuk mengontrak buruh secara periodik alih-alih mengangkat mereka sebagai buruh tetap, padahal pekerjaan yang mereka lakukan bersifat tetap. Selain buruh kontrak, perusahaan juga mempekerjakan buruh-buruh sejenis, seperti buruh borongan, outsourcing, magang, harian, paruh waktu, dan buruh rumahan.
Fenomena yang telah disebutkan di atas merupakan akibat dari menjamurnya konsep Labour Market Flexibility (LMF). Menurut Akatiga (2010), di tiap negara, fleksibilisasi mengambil bentuk yang berbeda-beda, namun dimensi utamanya dapat ditelusuri dari beberapa hal, di antaranya; perlindungan kesempatan kerja yang minim; ketentuan upah yang fleksibel; pengaturan proses produksi dan penggunaan tenaga kerja yang disesuaikan dengan tingkat produktivitas dan efisiensi perusahaan; dan pelenturan di sisi permintaan dari pekerja dalam keleluasaan waktu kerja dan mobilitas antarpekerjaan.
Kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan IMF dan Bank Dunia mensyaratkan pengadopsian konsep LMF dalam kebijakan buruh sebagai salah satu syarat pencairan hutang. Ketika krisis ekonomi 1997/1998 terjadi, keadaan menekan tingkat investasi, perusahaan-perusahaan gulung tikar, dan pengangguran melesat. Upaya mendukung iklim investasi adalah dengan menerapkan sistem ketenagakerjaan yang fleksibel. Sistem bekerja tetap dianggap Bank Dunia mempersempit kesempatan kerja dan tidak ramah investor. Konsep LMF juga terintegrasi dalam skema pembangunan nasional, seperti tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 Bab 23 tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Paket ke-4 mengenai Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Menciptakan Iklim Hubungan Industrial yang Mendukung Perluasan Lapangan Kerja, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Prioritas ke-7 Program Sinkronisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Iklim Usaha (Akatiga, 2010).
Menurut Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, di dalam situs resminya, konsep dan kebijakan upah minimum itu merupakan upah terendah yang diperuntukkan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Upah minimum hanyalah sekedar jaring pengaman sosial yang ditetapkan dengan mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas makro, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marginal). Nilai KHL, merupakan salah satu faktor pertimbangan dalam penetapan UMP. Nilai KHL diperoleh melalui survei yang dilakukan unsur tripartit dalam dewan pengupahan sehingga nilai besarannya merupakan hasil bersama antara pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Melihat perumusan konsep di atas, sebenarnya permasalahan buruh nasional, terutama buruh paruh waktu dapat diselesaikan. Solusinya adalah dengan mengedepankan faktor win-win solution, yaitu perusahaan tidak boleh mengontrak buruh paruh waktu untuk melakukan pekerjaan yang bersifat tetap dan standar upah buruh paruh waktu menerapkan standar produktivitas progresif. Buruh akan diberi fasilitas jaminan sosial dan kesehatan, serta diupah sesuai dengan produktifitas mereka. Jadi jika buruh menginginkan upah lebih tinggi, maka output pekerjaan mereka harus ditingkatkan alih-alih memakai standar jam kerja sebagai patokan pemberian upah. Sehingga hal ini bisa menjadi insentif bagi para buruh untuk produktif yang berkorelasi positif dengan keuntungan perusahaan dengan meningkatnya produktivitas mereka.
---salah satu potret realita kesejahteraan buruh di Indonesia---

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

Rabu, 13 Februari 2013

Jaminan Penghidupan yang Layak bagi Buruh

-->
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat (2)
Sudah diamanahkan dalam konstitusi dasar negara kita bahwa pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak setiap warga negara. Namun, fakta menunjukkan masih banyak ketidaksesuaian antara idealita dan realita, terutama terkait dengan kelayakan penghidupan. Hal ini dapat kita soroti dari salah satu indikator pengukur penghidupan yang layak, yaitu kesejahteraan buruh.
Dewasa ini, telah terjadi penyempitan makna kata “buruh” itu sendiri. Setiap mendengar kata buruh, yang terpikirkan oleh kebanyakan orang adalah para pekerja kasar yang tidak berpendidikan dan bertaraf hidup rendah. Tetapi sebenarnya, menurut UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, buruh itu sendiri didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi, istilah buruh di sini tidak hanya mencakup golongan pekerja kasar melainkan juga termasuk buruh professional yang bekerja tidak menggunakan otot melainkan dengan otak.
Sudah menjadi kewajiban pemberi kerja untuk memenuhi hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesem­patan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Namun, yang terjadi akhir-akhir ini dengan semakin maraknya kasus demo buruh dan aksi mogok menunjukkan bahwa masih banyak buruh yang hak-hak nya tidak terpenuhi, entah itu dalam hal jaminan sosial maupun dalam hal pengupahan. Kebijakan pemerintah dalam menentukan upah minimum regional (UMR) belum cukup mampu menjamin kesejahteraan para pekerja. Upah minimum yang ditentukan pemerintah tersebut hanya mampu menutupi biaya hidup sehari-hari saja, belum mampu meningkatkan taraf hidup pekerja. Padahal, mengingat jumlah buruh yang tidak sedikit dan peranan mereka yang crucial, kesejahteraan mereka merupakan suatu indikator penting yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan nasional.
Meskipun sudah banyak Undang-Undang dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) yang mengatur tentang hal itu, namun dalam praktiknya regulasi-regulasi itu belum diterapkan dengan semestinya dan belum mampu memberikan jaminan bahwa taraf hidup pekerja akan meningkat dan mereka akan mendapatkan penghidupan yang layak. Penghidupan layak yang dimaksud di sini tidak hanya diukur dari pengupahan di atas UMR namun juga hal-hal lain, misalnya: jaminan pendidikan, jaminan keselamatan, tidak eksploitatif, dan masih banyak lagi. Pihak pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk memenuhi hal-hal tersebut, namun fakta yang terlihat di lapangan menunjukkan masih adanya tindak penyimpangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur kembali regulasi, melakukan pengawasan, dan memberikan jaminan yang lebih terkait dengan kesejahteraan buruh.
SINERGI = KESEJAHTERAAN BURUH!
Baru-baru ini kita mendengar berita mengenai kasus mogoknya buruh PT Freeport yang menuntut kenaikan gaji dan peningkatakn kesejahteraan bagi mereka. Selain itu, konflik antara buruh dan asosiasi pengusaha juga terjadi di Bekasi ketika pengadilan memenangkan gugatan asosiasi pengusaha mengenai upah buruh. Keprihatinan mungkin berlangsung semakin panjang melihat di dunia internasional, buruh Indonesia seakan menjadi sosok yang terzalimi melihat berulangkali munculnya kasus hukuman mati bagi buruh Indonesia. Berbagai masalah yang menimpa buruh ini patut kita cermati sebagai masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Mereka adalah tulang punggung penggerak perekonomian industrial, potensi sumber daya manusia mereka adalah penopang roda perekonomian riil di Indonesia. Kesejahteraan adalah hak mutlak yang harus mereka dapatkan, sebagai insentif untuk mereka berperan membangun ekonomi bangsa.
Zaman globalisasi yang modern ini, di mana orientasi perekonomian telah bergeser dari sektor ekstraktif(mengambil dari alam) ke sektor industri(mengolah alam menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi), ada komponen pelaku ekonomi tambahan selain petani dan nelayan yang menjadi tanggungjawab negara mengingat status mereka yang selalu direndahkan, yaitu buruh sebagai sektor yang perlu atensi lebih karena kuantitas mereka yang besar namun sering menjadi pihak yang kalah oleh kepentingan pengusaha. Padahal, mereka adalah tenaga vital dalam menggerakkan sektor industri, bukan hanya karena nilai lebih dalam hal jumlah tenaga, tetapi juga bagaimana
Lingkar perekonomian industrial menunjukkan ada tiga pelaku utama penggerak sektor tersebut. Pengusaha, sebagai enterpreneur, pemilik dan pengelola utama perusahaan yang bergerak dalam sektor industri tersebut. Kedua adalah buruh sebagai penggerak, mereka yang bekerja pada perusahaan untuk menggerakkan komponen mesin dan peralatan lainnya sehingga menghasilkan suatu produk yang bernilai jual di pasaran. Pemerintah sebagai stakeholder, berperan dalam mewujudkan iklim usaha kondusif, termasuk pada perekonomian industrial sehingga menghasilkan multiplier effect positif dan maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Sudah sinergikah ketiga pelaku utama penggerak perekonomian industrial? Pertanyaan itu yang menjadi pangkal dari masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh saat ini, yaitu bagaimana selalu ada kepentingan salah satu pihak yang harus dikorbankan demi kepentingan pihak lain, dan buruh selalu menjadi cinderella yang kepentingannya diinjak-injak demi keuntungan dari pengusaha maupun pemerintah. Inilah yang selalu memicu ‘pergerakan’ dari buruh yang meminta pemenuhan haknya sehingga seringkali berujung kerusuhan dan berhentinya aktivitas operasi perusahaan. Situasi yang sebenarnya tidak harus terjadi apabila pemerintah dan pengusaha sadar bahwa bergeraknya ekonomi industri ini tidak lepas dari peran buruh. Sinergitas ini menekankan bagaimana dua pihak yaitu pengusaha dan buruh mendapat posisi yang setara dan seimbang, di mana pemerintah sebagai pihak lain yang aktif memediasi dan mengakomodir pertemuan antara mereka untuk mencapai kesepakatan terbaik. Penekanan di sini adalah bagaimana kesetaraan antara pengusaha dan buruh dalam memperjuangkan kepentingannya, sehingga dihasilkan keputusan yang bukan ‘satu pihak menginjak-injak pihak lain’. Apabila hal tersebut dapat terwujud, seluruh pihak merasa nyaman dengan situasi yang berjalan sehingga roda penggerakkan ekonomi industri dapat berjalan dengan baik, produktivitas meningkat, dan tentu saja tidak ada lagi situasi negatif dan stigma kepentingan pengusaha selalu berada di atas buruh dapat hilang.
Dampak Pemberian Upah Terhadap Kesejahteraan Buruh Nasional
Dalam menjalin hubungan kerja yang baik, mengenai masalah upah pihak buruh hendaknya memikirkan pola keadaan dalam perusahaannya, dalam keadaan perusahaan itu belum berkembang adanya upah yang layak yang diberikan perusahaan itu yang sesuai dengan upah untuk pekerjaan sejenis di perusahaan-perusahaan lainnya, hendaknya disyukuri dengan jalan memberikan imbalan-imbalannya berupa kegiatan kerja yang efektif dan efisien dan turut melakukan penghematan. Kenyataannya, pihak pemerintah juga sering menganjurkan kepada pengusaha-pengusaha yang ada di Tanah Air agar kepada para buruhnya diberikan upah yang wajar dan memberikan gambaran-gambaran tentang upah minimum Pada umumnya, dengan berpadunya peranan pengusaha dan peranan organisasai buruh, keduanya dapat melakukan musyawarah dan mufakatnya sehingga telah berhasil mempertemukan pertimbangan-pertimbangannya hingga terwujudnya upah yang wajar.
Ada satu faktor yang membuat kesejahteraan buruh menjadi semakin menurun, yaitu pungutan liar. Direktur Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, sehingga para pengusaha sulit untuk memberikan upah yang layak bagi kesejahteraan para buruh. Padahal bagi organisasi buruh, upah mencerminkan berhasil tidaknya saran dan tujuan serta merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahankan adanya organsasi tersebut.
Seharusnya pengusaha membeberkan biaya-biaya yang dia keluarkan untuk pungli-pungli itu, sayangnya pengusaha tidak mau secara terbuka menyebutkan itu. Pihak pengusaha atau badan/perusahaan yang mempekerjakan para buruhnya, dalam hal ini bagi pihak pengusaha atau badan usaha/perusahaan upah itu merupakan unsur pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan komponen harga pokok yang sangat menentukan kehidupan perusahaan.
Padahal, upah yang ada dapat mensejahterakan para buruh beserta keluarganya, sehingga berdampak pada peningkatan keterampilan dan kecakapan buruh agar kehidupan buruh dapat lebih meningkat. Oleh karena itu, upah sangat penting melibatkan peran pemerintah karena kewajibannya dalam mengatur tata kehidupan dalam segala bidang, yang dalam hal ini pihak pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum, perundang-undangan dan segala peraturan pelaksanaannya, sehingga pihak yang satu tidak akan dirugikan oleh pihak yang lain.
Terlepas dari hal tersebut, makna yang penting yang harus diperhatikan baik oleh pengusaha maupun oleh para buruhnya adalah bukan keuntungan sebesar-besarnya yang harus dijadikan tujuan utama dalam berusaha, melainkan yang menjadi sasaran utama dalam berusaha maksa kini ialah memperoleh keuntungan yang wajar dengan sedapat mungkin menghindari kerugian Keuntungan-keuntungan yang wajar itu dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan manajemen termasuk biaya-biaya operasiona, seperti upah, perawatan mesin dan lain-lain.
Dengan menggunakan prinsip bahwa dengan pemberian upah yang bertambah, maka akan meningkatkan produktifitas pabrik tersebut. Kemudian harga menjadi turun, sehingga permintaan pasar pun meningkat dan mengakibatkan profit pabrik pun menjadi bertambah. Namun, kenaikan upah yang tidak disertai dengan peningkatan dalam produksi dapat berakibat pada kenaikan harga produk yang dihasilkan dalam perusahaan, yang mungkin pula ada kaitannya dengan peningkatan arga-harga produk lain, sehingga nilai upah yang dinaikkan itu tidak ada artinya baik dipandang dari segi ekonomi, maupun bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan beserta keluarganya.
Jadi peningkatan upah haruslah disertai adanya peningkatan produk, dan hal ini hendaknya diresapkan oleh para buruh, tanpa adanya kesadaran untuk meningkatkan produktifitas atau usaha untuk meiningkatkan produk, selain perusahaan itu akan menjadi lemah karena penghasilan yang kurang selalu tersedot dengan adanya pembengkakan upah, modal untuk operasi makin lama akan makin berkurang dan pada akhirnya perusahaan akan menderita secara terus menerus, perusahaan yang bersangkutan akan menjadi tidak tahan dana perusahaan terpaksa harus ditutup. Dalam keadaan demikian, pihak buruh pula yang pada akhirnya akan menderita, ke mana pula mereka akan mencari kerja, padahal pengangguran sudah sangat tidak diharapkan oleh mereka.
Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: 2013 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates