Selasa, 09 Oktober 2007

Apakah spekulan beras jahat? - AAP

Di media massa kita sering mendengar dan membaca bahwa spekulan-spekulan (atau spekulator) beras (atau barang lain) harus dihukum. Benarkah mereka ini 'jahat'?

Spekulan beras (sekali lagi, atau barang lain) adalah orang yang membeli beras pada saat harganya rendah dan menjualnya pada saat harganya tinggi. Bukankan ini hal biasa, yang memang dilakukan oleh semua pengusaha, pedagang, dan mereka di bursa saham? Tapi mari kita renungkan lebih jauh.

Asumsikan dulu bahwa saat ini tidak ada program stabilisasi harga maupun larangan impor oleh pemerintah. Ekpektasi berperan penting dalam pengambilan keputusan. Ketika spekulator memperkirakan bahwa akan terjadi puso dan kekeringan atau sekedar penurunan produktivitas padi, ia memperkirakan harga beras akan naik di masa yang akan datang (cepat atau lambat). Karena itu, ia akan membeli beras sekarang, karena harganya relatif lebih murah ketimbang ekpektasi harganya di masa mendatang. Ternyata spekulan bukan hanya satu orang, tetapi banyak. Dan mereka semua berpikir sama: beli sekarang untuk dijual nanti. Karena para spekulan turun ke pasar untuk memborong beras, maka harga beras sekarang (atau tepatnya, harga sebelum 'masa akan datang' di atas terealisasi) terdorong naik.

Konsumen tentu saja tidak berpangku tangan. Dengan kenyataan harga yang bergerak naik sekarang, mereka akan lebih berhati-hati dengan pola konsumsi beras mereka. Sebagian kecil membeli dalam jumlah yang lebih besar (untuk 'stok'), namun tidak akan terlalu besar: mereka toh tidak bermaksud menjualnya seperti spekulan. Sebagian yang lain melakukan diversifikasi: memperbanyak kentang, indomie atau bahan makanan lain. Sebagian yang lain mengimpor. Efeknya adalah bahwa ketika 'saat itu' datang (saat di horison ekpektasi spekulan, di mana mereka memperkirakan akan terjadi kenaikan harga yang signifikan), harga tidak akan naik sebanyak yang dikuatirkan. Karena, para pelaku ekonomi (termasuk konsumen) telah melakukan antisipasi -- dan itu karena 'informasi' yang disampaikan secara tidak langsung oleh spekulan.

Dengan kata lain, spekulan memuluskan gejolak harga sehingga tidak terlalu fluktuatif (ya, "menstabilkan harga", jika Anda lebih suka istilah ini). Mereka membeli barang ketika mereka melihat bahwa harganya lebih rendah daripada harga ekspektasi (atau dengan kata lain: harga jangka panjang). Hal ini meningkatkan harga menuju keseimbangan. Dan mereka menjualnya ketika mereka melihat bahwa harganya lebih tinggi. Hal ini menurunkan harga menuju keseimbangan (D. Friedman, 1996).

Sesungguhnya apa yang dilakukan spekulan persis seperti apa yang diinginkan pemerintah lewat program 'stabilisasi harga' mereka. Bedanya, pada yang pertama hampir tidak ada insentif untuk melakukan korupsi.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►