Minggu, 30 September 2007

Negara kaya, rakyat sengsara: emang gitu? - MCB



Ingat lagu Koes Plus "Kolam Susu" atau lagu "Rayuan Pulau Kelapa"? Semuanya bercerita betapa kaya, gemah ripah loh jinawi nya tanah air kita. Indonesia adalah negeri kaya, karena itu seharusnya rakyatnya makmur. Sejak kecil kita diajarkan logika "kasat mata" itu . Ironisnya yang terjadi: negeri kaya, tapi rakyat sengsara.

Sedihnya, pola negeri kaya rakyat sengsara, adalah pola yang kerap terjadi. Indonesia bukan kekecualian. Studi yang dilakukan oleh Carneiro (2007) atau Sachs dan Warner (1995) --seperti yang terlihat dalam grafik diatas-- menunjukkan bahwa secara statistik negeri yang kaya sumber daya alam cenderung miskin atau lambat pertumbuhan pendapatan per kapita nya. Semakin tinggi pangsa sumber daya alam dalam total ekspor (axis horizontal) semakin rendah pertumbuhan pendapatan per kapita (axis vertikal). Tentu ada beberapa pengecualian disini, seperti negara Botswana, Canada, Australia dan Norway yang tampaknya selamat dari problema resources curse ini.

Ada beberapa penyebab paradox of plenty atau resources curse ini termasuk diantaranya adalah Dutch Disease (dimana boom dari ekspor sumber daya alam mengakibatkan apresiasi riil dan membuat produk tradable non sumber daya alam menjadi tidak mampu bersaing), penerimaan ekspor yang berfluktuasi dan juga aktifitas buru rente. Sumber daya alam yang besar memberikan rente ekonomi yang besar, sehingga ada insentif kuat untuk aktifitas buru rente (Krueger , 1974). Implikasinya: ketimbang menggunakan sumber daya untuk produksi, lebih baik digunakan untuk aktifitas suap, lobby untuk mendapatkan rente. Akibatnya kapasitas produksi berkurang dan pertumbuhan pendapatan per kapita menjadi relatif lambat.

Jadi bait:
Tanah airku aman dan makmur
Pulau Kelapa nan amat subur
atau

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Sama sekali bukan jaminan bahwa rakyat akan makmur. Di banyak kasus, negeri yang tak punya sumber daya justru bisa lebih makmur.

Sabtu, 29 September 2007

Ideologi kebijakan ekonomi : sebab atau akibat? - MCB



Kita kerap begitu terpukau dengan hal-hal besar, dengan motif-motif besar. Mungkin karena itu banyak hal dicoba dijelaskan dengan motif politik. Kita kerap berpikir: ada permainan politik dibalik setiap sikap. Segala sesuatu harus punya motif. Ia harus bisa diterjemahkan dalam konteks: atau kiri atau kanan.

Satu hal yang kerap dicoba diterjemahkan dalam konteks ideologi adalah kebijakan ekonomi di Indonesia. Penjelasan kebijakan ekonomi kerap dikungkung dalam dikotomi atau "kiri" atau "kanan", atau neo liberal atau sosialis. Salah satu yang menarik dilihat adalah deregulasi ekonomi di Indonesia. Dalam pertengahan tahun 1980 an misalnya kita melihat deregulasi ekonomi dilakukan. Pertanyaannya: apakah ini pertanda kemenangan ideologi liberal yang ditunjukkan dengan menguatnya peran teknokrat? Atau transformasi ideologi kaum teknokrat yang tahun 1970an lebih cenderung sejalan dengan Keynesian menjadi pro pasar?

Saya kira kita harus berhati-hati menyimpulkan. Saya sepakat dengan apa yang ditulis Walter Falcon dari Stanford University tentang Widjojo Nitisastro, yang dianggap sebagai tokoh utama kelompok teknokrat. Ia menulis : Profesor Widjojo jelas bukan penganut aliran Chicago School, terutama dalam pandangannya tentang subsidi. Ia sangat pragmatis dan tidak dogmatis, bahkan kadang-kadang ia mendorong perlunya penggunaan subsidi input seperti pupuk. Jika teknokrat yang kala itu dipimpin Widjojo dianggap bukan penganut Chicago School yang merupakan garda terdepan libertarian, bagaimana kita menjelaskan aspek ideologi liberal dibelakang deregulasi ekonomi di Indonesia kala itu?

Saya punya dugaan bahwa aspek perdebatan ideologis dalam kebijakan ekonomi di Indonesia belumlah sedemikian matangnya. Yang terjadi sebenarnya hanyalah satu proses keputusan ekonomis rasional tentang pilihan kebijakan yang paling menguntungkan bagi target pemerintah. Menguntungkan disini harus diterjemahkan dalam artian memiliki biaya ekonomi dan politik yang paling murah.

Kita dapat menjelaskan argumentasi ini dengan menggunakan teori optimisasi produksi. Bayangkan sebuah pemerintah yang ingin memproduksi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan lapangan kerja dan menjaga inflasi yang rendah (dicerminkan dengan isoquant IC), dengan menggunakan dua input kebijakan: mekanisme pasar (M) dan intervensi pemerintah (G).

Dalam era 70 –an ketika dana minyak tersedia , pilihan kebijakan non-pasar dan proteksionis -- dengan intervensi pemerintah-- adalah input yang relatif murah secara ekonomi dan politik dibading mekanisme pasar. Hal ini disebabkan karena tersedianya dana minyak, sehingga proyek yang tak efisien dan tak kompetitif dalam persaiangan pasar pun dapat diproteksi dan disubsidi. Karena itu pemerintah cenderung lebih bersifat intervensionis. Titik keseimbangan terjadi pada titik A dimana input kebijakan yang bersifat meknaisme pasar adalah sebesar M1 dan Intervensi pemerintah sebesar G1.

Namun dalam pertengahan tahun 1980 an ketika harga minyak jatuh dibawah $ 10 per barrel pemerintah tak lagi punya uang. Akibatnya kebijakan yang bersifat proteksionis tidak bisa sepenuhnya dipertahankan. Implikasinya input dalam bentuk kebijakan intervensionis menjadi relatif lebih mahal ketimbang kebijakan yang pro pasar --yang berkonotasi liberal-- Disini terjadi perubahan harga relatif dari input intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar menjadi relatif lebih murah.

Bagaimana caranya pemerintah dapat mempertahankan targetnya dalam situasi seperti ini? Jawabannya: untuk output yang tetap (isoquant IC yang sama) harus dicari kombinasi input yang lebih murah. Perubahan harga relatif ini tercermin dari bergesernya iscost, sehingga titik keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana peran dari mekanisme pasar menjadi meningkat (dari M1 ke M2) sedang peran intervensi pemerintah menurun (dari G1 ke G2).

Dengan penjelasan ini kita dapat melihat bahwa ‘peran ideologis’ seperti liberalisme dengan segala accessories nya hanyalah sebagai "akibat" pilihan kebijakan dan bukan merupakan "sebab". ‘Peran ideologi’ menjadi kurang relevan disini. Yang ada hanyalah sebuah upaya mempertahankan sasaran pembangunan -- pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja dan inflasi yang rendah -- dengan input mekanisme pasar dan intervensi pemerintah yang paling murah.

Kita ingat: sebelum konprensi APEC, tahun 1994 di Bogor, liberalisasi adalah kata yang tabu dalam ekonomi Indonesia. Tetapi setelah Soeharto sendiri menggunakan kata itu dalam konprensi APEC di Bogor, maka kata itu menjadi resmi di terima. Namun ketika reformasi ekonomi yang terjadi tahun 1998 menuntut liberalisasi lebih jauh, dimana harga yang harus dibayar oleh reformasi menjadi demikian mahalnya karena menyentuh berbagai ekonomi rente dari para crony capitalist dan tersudutnya kepentingan ekonomi kelompok yang mengindentifikasikan dirinya sebagai ‘nasionalis’, maka kita kemudian mendengar berbagai pernyataan yang mengejutkan mengenai tidak cocoknya paket liberalisasi dengan jiwa ekonomi Indonesia.

Disini kita melihat: sulit untuk mendapatkan kesimpulan tunggal tentang apsek ideologis dari kebijakan ekonomi Indonesia. Yang terjadi tidak lebih sekedar tarik menarik kelompok kepentingan dalam pilihan kebijakan. Bingkai ideologi tidak berperan dalam bentuk keyakinan berdasarkan argumen filosofis yang dalam. Yang terjadi hanyalah bagaimana upaya mempertahankan legitimasi regim dengan pelbagai alasan ideologis. Dengan kata lain masalah nya bukanlah soal "liberal" atau "bukan liberal", tetapi lebih kepada seberapa jauh kelompok kepentingan terancam oleh meknaisme pasar atau terproteksi oleh intervensi pemerintah. Jika benar begitu, mungkin ideologi dalam kebijakan Indonesia lebih merupakan akibat ketimbang sebab.

Jumat, 28 September 2007

Penurunan Tingkat Bunga - MCB




Jika sektor riil ingin bergerak, maka turunkanlah SBI! Dan begitu banyak di antara kita percaya argumen itu. Tak heran bila begitu keras tekanan agar Bank Indonesia lebih agresif di dalam menurunkan tingkat bunganya. Sayangnya "logika kasat mata" ini tak sepenuhnya benar.

Perhatikan grafik di sebelah kiri. Bank Indonesia pernah menurunkan tingkat SBI sampai di bawah 7.5% bulan Agustus 2004. Bagaimana bunga pinjaman? Praktis tak turun. Grafik di sebelah juga menunjukkan bahwa penurunan tingkat bunga pinjaman tak secepat penurunan SBI. Mengapa begitu? Yang kita hadapi saat ini adalah kondisi informasi yang asimetrik antara sektor produksi dengan perbankan. Dalam situasi ini perbankan harus memasukkan biaya risiko dalam tingkat bunga pinjamannya (Stiglitz dan Weiss, 1981). Akibat dari kondisi ini tingkat bunga pinjaman tetap tinggi walau BI Rate diturunkan.

Mudahnya, coba bayangkan dua tipe debitur: debitur "baik" yang selalu mengembalikan pinjamannya, dan debitur "nakal" yang hanya mengembalikan pinjamannya jika ia merasa perlu. Jika bank dapat membedakan keduanya, maka bank dapat menetapkan tingkat bunga yang berbeda, dimana untuk debitur nakal -- yang berisiko-- dikenakan tingkat bunga yang tinggi.

Sayangnya, dunia tak sesederhana itu. Dalam kondisi informasi yang tidak simetrik, ex ante (sebelum peristiwa terjadi), bank tidak dapat membedakan keduanya. Akibatnya, bank harus mengenakan tingkat bunga dalam kondisi pool equilibrium (keseimbangan gabungan), dimana tingkat bunga itu mungkin terlalu tinggi bagi debitur baik dan relatif rendah bagi debitur nakal. Ini akan memberi insentif lebih tinggi bagi debitur nakal. Akibatnya, return yang diperoleh bank menurun. Inilah yang dikenal dengan problema adverse selection. Sebenarnya adverse selection hanyalah salah satu contoh informasi yang tak simetrik. Selain itu masih ada soal moral hazard dan juga monitoring cost. Hal ini memiliki dampak kepada pemberian kredit ke perusahaan.

Ketika bank meminjamkan uang kepada debitur, yang terjadi sebenarnya adalah pendelegasian resources dari kreditur kepada debitur, atau pendelegasian resources dari principal (bank) kepada agent (debitur). Adverse selection, moral hazzard and juga monitoring costs merupakan faktor yang penting dalam problema principal agent. Ketidakmampuan untuk memonitor perilaku debitur atau ketidak mampuan memiliki informasi yang lengkap tentang debitur akan membuat agency cost meningkat. Bernanke dan Gertler (1989) dan Gertler (1988) menunjukkan bahwa agency cost yang meningkat akan membuat sumber pembiayaan eksternal menjadi lebih mahal ketimbang sumber pembiayaan internal. Implikasinya: soal neraca (balance sheet) perusahaan menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi cost of finance. Jika neraca baik, maka cost of finance bisa lebih murah karena menggunakan sumber dana internal. Sayangnya, dalam situasi resesi --karena krisis ekonomi-- sumber pembiayaan internal menurun. Akibatnya perusahaan berusaha untuk mendapatkan sumber pembiayaan eksternal. Namun, balance sheet yang memburuk -- akibat krisis-- membuat agency cost meningkat, sehingga biaya untuk sumber pembiayaan menjadi mahal. Hal inilah yang kemudian membuat intermediasi perbankan tak berjalan. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa sejak krisis intermediasi perbankan tak sepenuhnya membaik di Indonesia. Dengan kata lain, dampak dari agency cost problem membuat kredit tetap tak mengalir walau tingkat bunga BI Rate diturunkan.

Implikasinya? Intermediasi perbankan tak bisa diperbaiki hanya dengan menurunkan SBI. Yang harus diselesaikan adalah persoalan informasi yang tak simetrik. Disini pentingnya memfungsikan secara penuh kredit biro untuk menjembatani informasi yang tak simetrik antara bank dan sektor produksi. Perbankan harus memiliki informasi mengenai siapa yang pantas dapat kredit dan bagaimana rekam jejaknya. Tanpa itu, tingkat bunga pinjaman tak akan turun secara signifikan.

Penting juga dicatat: dalam jangka pendek, penurunan SBI akan mendorong tingkat konsumsi untuk sektor-sektor yang pembiayaannya banyak tergantung pada perbankan. Misalnya sektor properti, sepeda motor dan mobil. Namun tidak kapasitas produksi di sisi penawaran. Dalam kondisi kendala sisi penawaran (supply constraint), penurunan tingkat bunga secara agresif hanya akan meningkatkan inflasi. Agaknya argumen yang mengatakan: jika sektor riil ingin bergerak, turunkanlah SBI, tak sepenuhnya benar.

Ekonomi Politik Beras (2) - AAP

(sambungan)

Kalau begitu, seharusnya resistensi terhadap impor kecil, atau bahkan negatif. Kenyataaannya, rencana impor beras selalu mendapatkan perlawanan keras dari kelompok petani (atau yang mengatasnamakan petani), sebagian akademisi, banyak mahasiswa, LSM, media massa, serta anggota DPR. Pendekatan ekonomi klasik/neoklasik keseimbangan umum tidak bisa menjelaskan hal ini dengan baik. Menurut pendekatan ini, tambahan manfaat yang didapat oleh satu individu dari konsteks sosialnya akan sama dengan tambahan kontribusi yang diberikannya pada konteks sosial tersebut (Mas-Colell, 1995). Implikasi politisnya adalah ’satu orang, satu suara’. Akibatnya, keputusan sosial didikte oleh jumlah mayoritas. Jika benar bahwa di Indonesia lebih banyak konsumen (neto) daripada produsen (neto), maka impor beras (yang menekan harga) seharusnya secara sosial menguntungkan dan karenanya diterima oleh masyarakat. Tampaknya, tidak.

Yang mungkin dapat menjelaskan fenomena ini adalah logika aksi kolektif (Olson, 1965, 1971) dan/atau logika buru rente (Krueger, 1974). Menurut logika ini, besar kecilnya kelompok kepentingan bersifat endogen. Semakin besar sebuah kelompok, semakin kecil kemungkinan ia mencapai tujuan bersama. Untuk kasus beras di Indonesia, kelompok yang lebih besar adalah konsumen neto (petani gurem dan masyarakat umum). Sementara kelompok yang lebih kecil adalah mereka yang diuntungkan oleh harga beras yang tinggi (petani produsen, pemilik sawah, pedagang perantara, politisi, dan asosiasi-asosiasi tertentu – sebagian dari mereka ini adalah konsumen, namun secara neto diuntungkan oleh harga tinggi, misalnya dukungan politik dari mereka yang dibuat percaya bahwa harga tinggi adalah menguntungkan). Kedua kelompok peduli dengan ”barang publik” yang dalam konteks ini adalah harga beras (dengan pola berlawanan: kelompok besar menginginkan harga murah, kelompok kecil harga tinggi). Sementara itu, tujuan pemerintah adalah memaksimumkan dukungan politik agregat dari masyakarat. Dengan demikian, pemerintah akan bias kepada siapa di antara keduanya yang ’lebih kuat’, dalam arti lobi yang lebih terorganisir, fokus, jelas, dan lantang. Menurut model ini (Van Bastelaer, 1998), kemungkinan kontribusi individu di dalam kelompok berhubungan terbalik dengan ukuran kelompok. Akibatnya, insentif bagi aksi individual menurun. Kedua, aksi kolektif bisa berhasil jika didukung oleh kemampuan organisasi, komunikasi, dan koordinasi yang baik. Artinya, biaya transaksinya semakin tinggi jika kelompok semakin besar. Ketiga, biaya dari distorsi harga ditanggung oleh semua kelompok, di mana kelompok yang lebih kecil akan menanggung lebih sedikit. Keempat, mekanisme insentif akan lebih sulit berjalan di dalam kelompok yang besar ketimbang yang kecil. Singkatnya, lebih mudah bagi kelompok kecil (secara ukuran) untuk mempengaruhi kebijakan.

Tapi bagaimana dengan sebagian media massa, mahasiswa, serta akademisi yang juga anti impor? Bukankah mereka tidak punya kepentingan politis sebagai insentif memperjuangkan larangan impor? Dan bukankah, mereka adalah konsumen? Ada beberapa hipotesis yang tentu saja masih harus diuji. Pertama, kelompok kepentingan yang lebih kecil (secara ukuran) namun lebih efektif (dalam lobi) berhasil mengamplifikasi suaranya, sehingga dapat mempengaruhi mereka yang di marjin. Kedua, pihak-pihak terakhir ini memang sekedar percaya bahwa harga beras yang tinggi secara sosial lebih menguntungkan bagi Indonesia. Dan kepercayaan ini bisa datang dari dua hal: ideologi atau sekedar ketidaktahuan. ***

Ekonomi Politik Beras (1) - AAP

Beberapa waktu yang lalu pemerintah memberikan keleluasaan kembali kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk melakukan stabilisasi harga beras di Indonesia (Jakarta Post, 28/9/2007). Kebijakan ini juga mencakup pemberian kembali hak monopoli impor kepada Bulog, seperti yang telah dinikmatinya selama 20 tahun sebelum krisis ekonomi tahun 1998. Tahun 1999 hak monopoli impor Bulog dicabut dan swasta diperbolehkan melakukan impor beras. Namun pada tahun 2004 impor beras dilarang: ia hanya boleh dilakukan dalam keadaan mendesak (McCulloch, 2007) dan dengan persetujuan DPR. Sejak itu, praktis isu impor menjadi sangat politis dan ”ribut” (Basri dan Patunru, 2006). Impor seolah tabu, terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia telah selalu menjadi pengimpor beras selama lebih dari seabad, kecuali beberapa tahun di era 1980-an (Timmer, 2006).

Tetapi, mengapa impor beras selalu kontroversial? Jamak terdengar alasan bahwa beras adalah komoditi politik yang menyangkut hajat hidup petani yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Argumen ini melihat semua petani sebagai produsen beras. Bagi mereka, harga beras yang tinggi tentunya berarti pendapatan yang tinggi. Impor berarti bertambahnya stok domestik dan karenanya berpotensi menurunkan harga domestik. Karena itu, resistensi terhadap impor besar sekali – paling tidak, seperti yang dikesankan oleh pemberitaan di media massa.

Namun, apakah betul petani beras Indonesia diuntungkan oleh harga yang tinggi? Data dan studi menunjukkan bahwa hanya setengah dari kelurga Indonesia yang merupakan keluarga pertanian, dan hanya setengah dari mereka yang merupakan petani padi. Selanjutnya, sebagian besar petani tersebut adalah petani gurem yang menanam padi tetapi harus membeli beras untuk makanannya sehari-hari (World Bank, 2004, 2007). Dengan kata lain, sebagian terbesar petani Indonesia adalah konsumen neto atas beras. Karena masyarakat urban adalah konsumen beras, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah konsumen neto beras, bukan produsen neto. Logikanya, dengan demikian, harga rendah seharusnya lebih menguntungkan secara sosial, ketimbang harga tinggi. Konsekuensinya, impor seharusnya populer. Tentu saja harga beras domestik yang tinggi dapat memberikan insentif bagi pemilik tanah untuk mempekerjakan lebih banyak petani, sehingga efeknya positif. Namun sebuah studi menunjukkan bahwa efek positif dari harga yang tinggi pada penciptaan tenaga kerja lebih kecil daripada efek negatif pada peningkatan kemiskinan (Warr, 2005). Bahkan, peningkatan harga beras menjadi penggerak utama kenaikan inflasi (Mallarangeng, Basri, Alatas, Sumarto, dan Ikhsan, 2006), dan kenaikan jumlah orang miskin (Basri, Panennungi, dan Nurridzki, 2004).

(bersambung)
◄ New Post
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: September 2007 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates