Kamis, 02 Juli 2009

Kendala Permodalan UMKM


Manusia tidak terlepas dari kebutuhannya akan pekerjaan walaupun mereka tahu bahwa jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tak kunjung memenuhi kebutuhannya tersebut. Usaha mikro, kecil,dan menengah atau yang biasa disebut UMKM setidaknya menjadi salah satu solusi. UMKM ini bahkan menjadi sektor yang memberikan sumbangan cukup signifikan pada pendapatan nasional negara kita ini. Pada tahun 2001, UKM berkontribusi sebanyak 14,20 persen di sektor ekspor non migas dan bersumbangsih 63,11 persen dalam Produk Nasional Bruto (PDB) Non Migas. Namun, apakah setiap masyarakat dapat merasakan kesempatan baik ini?

Banyak kendala yang dihadapi oleh masyarakat sebagai pelaku UMKM, dan satu yang paling utama adalah masalah permodalan. Sumber pembiayaan UMKM biasanya berasal dari sektor formal seperti perbankan, namun pembiayaan lainnya bisa dilakukan melalui sektor informal yakni modal dari pemberi utang individual (individual moneylenders), tabungan bersama (mutual savings), asosiasi pemberi pinjaman, dan pinjaman dari perusahaan mitra (partnership firm). Kendala permodalan yang dimaksud disini adalah sektor formal, yaitu perbankan sebagai sumber pembiayaan yang utama, terutama usaha menengah.

Layaknya seseorang yang menitipkan barang pada temannya, ia pasti memikirkan apakah temannya dapat mengembalikan barang titipannya atau tidak. Begitu pula jika barang tersebut adalah uang, yang dipinjamkan oleh perbankan sebagai modal, apakah si peminjam ini dapat mengembalikan pinjamannya atau malah kabur tanpa melunasinya. Banyak hal-hal yang dijadikan pertimbangan oleh pihak perbankan dalam pembiayaan UMKM ini. Seberapa potensialkah usaha yang akan dikembangkan, bagaimana risiko usaha tersebut, profit yang dihasilkan, dan pertimbangan lainnya. Tentunya permasalahan ini tidak berangkat dari satu pihak saja, melainkan dari sisi perbankan dan juga sisi pelaku UMKM.

Pertama, jika kita menilik dari sisi perbankan, banyak hambatan yang mereka alami terkait pembiayaan UMKM. Sumber daya yang terbatas, yakni jumlah pegawai yang menangani masalah pembiayaan UMKM di setiap cabang bank daerah hanya berkisar tiga orang. Jumlah yang cukup ironis melihat banyaknya masyarakat yang ingin dan telah menjadi pelaku UMKM dan membutuhkan perhatian yang intensif secara psikologis. Hal ini menjadikan sektor UMKM di-nomorsekian-kan dalam urusan perbankan. Padahal, apabila perbankan serius menangani permasalahan ini, setidaknya akan mempermudah para pelaku UMKM unjuk gigi dalam persaingan dan keluar dari krisis lapangan pekerjaan. Mereka juga perlu pengawasan dalam menjalankan usahanya dan itulah fungsi perbankan.

Selain itu, perangkat analisa yang belum memadai, hal yang sangat krusial bagi pertimbangan pembiayaan UMKM. Selama ini, pihak perbankan hanya menyediakan perangkat teknis analisa bagi usaha menengah dan besar, sedangkan bagi usaha mikro dan kecil belum ada. Padahal data membuktikan bahwa jumlah usaha mikro dan kecil hampir sebanding dengan usaha besar, yakni pada kisaran 40 persen. Sulit sekali apabila dalam menganalisa usaha mikro dan kecil memakai teknis analisa bagi usaha menengah dan besar, begitu pula bagi si pelaku UMKM yang akan dianalisa. Entah apa yang menyebabkan hal ini, namun sebaiknya segera dikoreksi oleh berbagai pihak, baik perbankan maupun pemerintah, supaya tidak lagi mempersulit kemajuan pembangunan melalui UMKM.

Kedua, dilihat dari sisi pelaku UMKM sendiri. Kondisi UMKM menjadi sebuah faktor penentu bagi pihak perbankan dalam pembiayaan. Bagaimana bentuk usahanya, produk yang dihasilkan, pangsa pasar, dan persaingan. Mungkin hal ini juga yang termasuk di dalam perangakat analisa UMKM. Pada intinya adalah bagaimana masyarakat mengerahkan segenap kemampuan kreativitas dan manajerial usaha yang baik agar tetap dapat bertahan dan bersaing dalam pasar. Banyak produk baru dan inovatif yang mampu mendobrak pasar, atau bahkan produk yang sederhana dan biasa tapi dengan packaging yang berbeda serta keunggulan-keunggulannya pun mampu bersaing di pasar.

Namun, permasalahan permodalan UMKM ternyata tidak hanya terhenti pada dua pihak terkait itu saja. Faktor eksternal dunia perekonomian ternyata berperan penting dalam penentuan permodalan ini. Tingkat suku bunga yang meningkat membuat para pelaku UMKM khawatir terhambatnya aliran kredit sebagai pembiayaan bagi UMKM mereka.

Tentunya kita tidak bisa tinggal diam melihat permasalahan-permasalahan yang kian melanda sektor yang cukup signifikan dalam usaha mengurangi pengangguran ini. Terlalu normatif memang, bila hanya mengatakan pemerintah seharusnya begini dan begitu. Walaupun ada 18 kementerian dan 60 lembaga pemerintah yang turut mengurusi perkembangan UMKM, nyatanya UMKM masih saja berhadapan dengan masalah yang prinsipal dan krusial, yaitu permodalan. Tak ayal bila dikatakan pemerintah belum maksimal dalam mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Padahal dana pinjaman yang diterima pemerintah dalam anggaran negara bisa saja disalurkan untuk aliran kredit UMKM yang sirkulasinya cukup menjanjikan bagi pemasukan negara, menimbang sumbangsih yang telah diberikan UMKM selama ini bagi negara kita.

Selain itu, sistem yang menyulitkan memang hanya akan menghambat penyaluran kredit, apalagi sistem yang tidak layak seperti perangkat analisa yang tidak memadai tersebut. Harus ada perbaikan di sana sini , baik dari pihak perbankan maupun pelaku UMKm itu sendiri sehingga ada sinergisitas yang saling memudahkan bagi semua pihak. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dengan pekerjaannya, perbankan dapat menyalurkan dana masyarakat dengan lebih baik, negara mendapat tambahan pemasukan dari sektor non migas, pengangguran sedikit demi sedikit teratasi, dan kesejahteraan pun meningkat.



Departemen Kastrat BEM FEUI

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►