Selasa, 28 Juli 2009

Optimalisasi Pengelolaan SDA Kelautan Untuk Membangun Kemandirian Bangsa

Indonesia, merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia dan memiliki berbagai macam sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 adalah sebuah ironi jika pemerintah tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap sektor ini. Selain itu, 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya.

Selama ini sektor kelautan belum memberikan kontribusi yang optimal terhadap kegiatan pembangunan. Pada tahun 1997, kontribusi sumber daya sektor kelautan (kontribusi kegiatan pembangunan kelautan seperti perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi, dan lainnya) terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 12,4 persen (Rp 56 triliun). Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi pembangunan kelautan yang dimiliki. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand, Korea Selatan, RRC, Jepang dan Denmark yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia kontribusi sekor kelautan mereka terhadap PDB-nya sudah di atas 30 persen.

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia masih melimpah dan belum dieksploitasi secara optimal. Potensi lestari sumber daya perikanan laut mencapai 6,6 juta ton dan baru termanfaatkan sekitar 60 persen. Lebih rinci, potensi sumber daya perikanan ini terdiri dari ikan pelagis 3,5 juta ton/tahun, ikan demersal 2,5 juta ton/tahun, tuna 166,0 ribu ton/tahun, udang 69,0 ribu ton/tahun, cakalang 275,0 ribu ton/tahun, dan ikan karang 48,0 ribu ton/tahun. Sumbangan sektor perikanan terhadap sektor pertanian adalah sekitar 10,3 persen per tahun dengan tingkat pertumbuhan yang positif.

Data menunjukkan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi sebesar 2 persen terhadap PDB tahun 1992 dan sampai pada kuartal III tahun 1998, sektor ini telah menyumbang sekitar 1,87 persen. Sektor ini juga memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 4,3 juta nelayan dan petani nelayan serta menyediakan pendapatan tambahan bagi penduduk di wilayah pesisir Indonesia.

Berdasarkan jenisnya, sumberdaya kelautan dapat dibagi menjadi 4 macam, yakni:

1. sumberdaya dapat pulih

2. sumberdaya tidak dapat pulih

3. sumber energi

4. jasa – jasa lingkungan kelautan

(1) Sumberdaya pulih

Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya ikan tangkap, perikanan budidaya dan bioteknologi kelautan. Dengan luas laut 5,8 juta km2, perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,4 juta ton per tahun.

Selain potensi perikanan tangkap, Indonesia memiliki potensi perikan budidaya yang cukup besar. Berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai kea rah laut, potensi lahan kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Komoditas – komoditas yabf dapat dibudidayakan antara lain: ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah,kerang mutiara dan rumput laut. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya laut mencapai produksi sebesar 994,962 ton dengan nilai sebesar 1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen (Statistik Budidaya Perikanan,2001)

Indonesia juga memiliki potensi pengembangan budidaya tambak di daerah hutan bakau. Menurut Ditjen Perikanan pemanfaatan pengembangan tambak baru mencapai 40 persen dari potensinya atau 344,759 ha. Komoditas – komoditas potensial yang dapat dibudidayakan adalah: udang windu, udang putih, udang api – api, udang cendana, ikan bandeng dan ikan nila.

Biotekhnologi kelautan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang besar untuk pembangun bangsa Indonesia. Berbagai bahan bioaktif yang terkandung pada biota perairan laut seperti omega – 3, hormon, protein dan vitamin memiliki potensi yang sangat besar bagi penyedian bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Diperkirakan lebih dari 35.000 spesies biota laut memiliki potensi, sementara yang dimanfaarkan baru 5.000.

(2) Sumberdaya tidak dapat pulih

Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Berdasarkan data geologi, diketahui bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang menganding minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 milyar barel minyak, namun 9,8 milyar barel yang diketahui pasti, sedangkan 74,68 milyar merupakan kekayaan yang belum dimanfaatkan.

Meskipun cadangan minyak dan gas bumi Indonesia cukup besar, namun cadangan ini tersebar pada lokasi yang cukup jauh dari pusat konsumen dan jaringan pipa gas. Oleh karena itu intensifikasi kegiatan – kegiatan eksplorasi dan eksploitasi ladang – ladang minyak, penambangan sumber mintak, serta penguasaan energi penambangan di lepas pantai perlu segera ditingkatkan.

(3) Energi Kelautan

Energi kelautan merupakan energi non-konvensional. Keberadaan sumberdaya ini dimasa yang akan dating semakin signifikan manakala energi sumber dari BBM semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas.

Perairan Indonesia adalah suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena OTEC didasari pada perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada kedalaman minimal 200C. Saat ini pilot plant OTEC sedang dikembangkan di pantai utara Pulau Bali.

Sumber energi kelautan lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut dan energi yang berasal dari gelombang. Hal ini sedang dikembangkan oleh BPPT bekerja sama dengan Norwegia di Pantai Baron, D.I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang bergunadalam upaya mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non-konvensional.

(4) Jasa – jasa Kelautan

Pemanfaatan sumberdaya kelautan yang marak terjadi dewasa ini adalah pengembangan pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) bahkan hingga menjadi produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Indonesia dengan Negara kepulauan memiliki banyak sekali titik – titik penyelaman (dive spot) yang dapat dijadikan referensi untuk wisata bahari, mulai dari kepulauan Raja Ampat di Irian Jaya, Kepulauan Wa-Ka-To-Bi di Sulawesi, Kepulauan Karimunjawa di Jawa Tengah dan masih banyak lainnya. Dengan keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan yang diperkirakan sekitar 263 jenis, Indonesia pada tahun 2001 mampu menyumbang US$ 5.428 milyar dengan pariwisata baharinya untuk GDP.

Untuk membangkitkan dunia pariwisata, perlu upaya serius dari setiap elemen masyarakat Indonesia untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga memberikan kenyamanan dan ketenangan di seluruh kawasan Indonesia. Selain itu pelu memperhatikan kekhasan, nilai jual dan peningkatan mutu komoditi pariwisata, sehingga dapat menari masyakarat internasional untuk berkunjung ke Indonesia. Tak hanya itu, jasa lingkungan kelautan masih memerlukan sentuhan jasa transportasi laut (perhubungan laut) agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal.

Sangat banyak potensi sumberdaya kelautan Indonesia yang dapat dimanfaatkan demi kemajuan bangsa Indonesia, berbagai studi ilmu dapat memanfaatkannya, termasuk Ekonomi. Tetapi itu semua belum optimal di manfaatkan, padahal saat ini tercatat ada 59 perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggaraan pendidikan di bidang perikanan dan ilmu kelautan, khususnya. Sebelas diantaranya berada di bawah Departmen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI dan 48 lainnya ada di bawah Departmen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Salah satu hal yang dapat dikembangkan untuk optimalisasi potensi kelautan dapat dengan cara pengelolaan berbasis komunitas local. Cara ini dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, juga membawa efek positif secara ekologi dan social.

Kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan terdapatnya akuntabilitas otoritas local merupakan prasyarat utama demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi (Ribbot,2002). Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan terdapat dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004.

Pembangunan sektor perikanan dan kelautan di masa mendatang akan menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya terdapat pada cara desentralisasi yang disebutkan diatas karena dapat terjadi over eksplorasi juga kerusakan tanpa ada pendekatan yang baik, tangkap lebih (over-fishing), penangkapan secara illegal, penurunan kualitas sumber daya dan habitat, dan polusi mengancam sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia yang pada gilirannya dapat mempercepat penurunan ketersediaan ikan pesisir dan penurunan hasil tangkapan ikan oleh masyarakat nelayan kecil yang bermukim di wilayah pesisir. Dan yang terberat adalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, karena menganggu kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan serta menimbulkan stress terhadap ekosistem bawah laut.

Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pengeksploitasian sumber daya wilayah pesisir dan lautan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat diperlukan suatu strategi dan pendekatan pengelolaan yang terpadu dan menyeluruh (integrated and comprehensive management) yaitu dengan melibatkan semua pihak terkait (stakeholders) dalam seluruh proses pengelolaan mulai dari persiapan, perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Kita harus bekerja keras, berdedikasi semakin optimal, mengerahkan potensi potensi manusia untuk meningkatkan potensi kelautan Indonesia, termasuk didalamnya dari kalangan akademisi yang memiliki peran penting dalam memberikan ide – ide segar dalam pembangunan kelautan dan perikanan di nusantara ini. Para sarjana dari ilmu kelautan dan bidang perikanan juga sangat diharapkan mengembangkan bidang pekerjaan sesuai prodinya agar sumberdaya manusia dapat tepat sasaran dan mampu mengembangkan potensi kelautan Indonesia. Pembentukan Department Eksplorasi Laut dan Perikanan patut didudukung dan tetap diawasi.

Departmen Kajian Strategis

Badan Eksekutif Mahasiswa

Universitas Gadjah Mada

Minggu, 26 Juli 2009

Optimalisasi Pengelolaan SDA Kelautan Untuk Membangun Kemandirian Bangsa*

Indonesia adalah salah satu Negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia. Sebuah Negara kepulauan dengan jumlah 17.508 pulau yang terdapat di dalamnya menyimpan kekayaan yang maha banyak jumlahnya.

Ikan, tumbuhan laut, koral, potensi objek wisata, potensi jalur transportasi, minyak, gas alam, merupakan sedikit contoh betapa kayanya laut dari sebuah negara yang memiliki gugusan pantai sepanjang 81.000 kilometer atau setarai 81 kali jarak Jakarta-Surabaya.

Sungguh ironis ketika yang terjadi adalah Indonesia selama 64 tahun kemerdekaannya masih termasuk sebagai salah satu Negara miskin. Masih sangat banyak penduduknya yang memiliki penghasilan kurang dari $ 1 per hari sedangkan alam kita menyimpan begitu banyak potensi yang menunggu untuk dimanfaatkan.

Sungguh sebuah tamparan yang sangat dalam bagi Negara yang menyatakan bahwa nenek moyangnya adalah pelaut-pelaut yang handal dan gagah berani namun pemasukan dari sector laut masih sangat minim bila dibandingkan sector lainnya. Sebuah hal yang sangat memalukan ketika harga diri kita bisa diinjak-injak oleh bangsa lain yang mencuri ikan-ikan segar yang terkandung di laut Indonesia atau Negara lain yang mengklaim daerah nusantara sebagai bagian dari Negara mereka.

Kalo kita cermati, potensi kelautan kita adalah sebuah basis yang sangat kuat untuk memajukan bangsa ini. Sebuah penelitian menyatakan bahwa apabila kita bisa memaksimalkan potensi kelautan kita, maka kita dapat menghasilkan pendapatan 80 kali lebih besar dari APBN kita yaitu sekitar US$ 820 Milyar. Apabila bisa kita maksimalkan, maka dalam jangka beberapa tahun kita bisa melunasi seluruh hutang-hutang kita dan mensejahterakan bangsa kita ini.

Sayangnya, yang menyadari potensi kelautan Indonesia adalah bangsa lain. Hal ini bisa diukur dengan betapa tingginya tingkat pencurian ikan oleh kapal-kapal besar dari luar negeri yang tidak jarang menggunakan bahan kimia berbahaya dan mencemari laut Indonesia dan meninggalkan cost eksternalitas negatif yang sangat besar. Departemen Perikanan dan Kelautan mencatat kerugian mencapai sekitar 100 Triliun Rupiah setiap tahun akibat pencurian ikan, hal ini belum ditambah kerugian lingkungan dan kerugian dari nelayan lokal yang sudah terlebih dahulu tercekik masalah kelangkaan bahan bakar dan tidak adanya modal kerja.

Ada beberapa cara yang bisa Pemerintah Indonesia lakukan sambil bekerja sama dengan masyarakat Indonesia untuk membangun sebuah konsep pengelolaan sumber daya kelautan yang kuat sehingga bangsa Indonesia bisa menaikkan harga dirinya di mata internasional, dapat menopang kebutuhan masyarakat Indonesia dan pada akhirnya kemandirian bangsa akan segara tercipta.

Langkah ini akan dibagi dalam skala mikro dan makro, dengan memadukan kemampuan masyarakat dan pengaruh kekuatan pemerintah serta kontribusi dari pihak luar yang dapat mencitrakan eksternalitas positif bangsa Indonesia.

Ada 3 cara yang dapat dilakukan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan demi mencapai kemandirian bangsa:

1. Memberdayakan nelayan dan masyarakat pesisir pantai.

Maksud dari pernyataan di atas adalah masyarakat pantai merupakan salah satu unsure terpenting dan dapat menjadi indicator keberhasilan pembangunan sector kelautan. Bila kita lihat kondisi sekarang, masyarakat pesisir mayoritas adalah masyarakat yang miskin dengan mata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Nelayan tradisional adalah salah satu mata pencaharian yang masih sangat kurang mendapat kepedulian dari pemerintah pusat.

Dalam ilmu ekonomi, produksi dapat berjalan secara sustain dan kontinyu apabila input tidak terdapat masalah. Produksi hasil laut dari nelayan kecil masih masuk dalam kategori yang tidak signifikan. Mengapa? Bisa kita lihat dari bagaimana cara mereka melaut.

Mereka masih menggunakan kapal dan peralatan yang sederhana. Otomatis dengan input yang sangat sederhana ini, kita tidak bisa mengharapkan hasil yang besar, jangankan untuk berkontribusi dalam pembangunan, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia saja, kebanyakan nelayan sudah susah.

Hal ini belum ditambah dengan sering menghilangnya si solar. Hilangnya kebutuhan primer dari kapal yang memakain mesin itu ditengarai akibat pola distribusi yang buruk dari pertamina atau memang ada oknum yang memainkan harga di Nelayan. Apabila ada, harga solar yang seharusnya hanya Rp. 5000/liter bisa melambung menjadi Rp. 8000/liter sebuah harga yang fantastis karena meningkat 60%!

Ketika selesai melaut, nelayan juga tidak memiliki pilihan karena harus menjualnya kepada tengkulak dengan harga yang jauh dibawah harga pasar. Hingga akhirnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, nelayan harus meminjam kepada rentenir dan konsep sederhana gali lobang tutup lobang pun tercipta dan lingkaran setan ini akan terus hinggap dan menggerogoti setiap sendi kehidupan nelayan.

Dari sedikit ilustrasi di atas, sebenarnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa nelayan tidak memiliki kekuatan sama sekali. Sehingga yang harus diberikan oleh pemerintah di sini adalah akses untuk memiliki kekuatan tersebut.

Caranya ada banyak, seperti saat ini pemerintah telah menggulirkan program PNPM Mandiri, program ini bisa dijadikan salah satu cara menolong nelayan. Cara lain adalah dengan memadukan Cash Transfer dan In-Kind Transfer kepada nelayan. Memberikan pelatihan kepada nelayan selain memberikan bantuan kapal dapat menjadi alternatif. Tapi ingat, harus ada sebuah pengawasan dan sistem reward dan punishment yang jelas terlebih dahulu.

Nelayan juga dapat bergabung dan membuat sentra perikanan seperti koperasi perikanan yang melayani kebutuhan nelayan serta menjadi induk penjualan ikan dan bargaining power dari nelayan akan menjadi lebih baik.

Pemberdayaan nelayan seperti ini sangat penting karena nelayan kita selama ini merasa minder apabila melaut dan tentu saja akibat perlakuan yang buruk dari pemerintah.

Selain hal di atas, juga diperlukan sistem advokasi yang jelas kepada nelayan. Hal ini untuk mencegah kasus-kasus tertangkapnya nelayan Indonesia oleh polisi perairan Australia. Lemahnya advokasi dapat menjadi stimulus negatif bagi nelayang untuk melanjutkan mata pencahariannya tersebut.

Yang perlu dicamkan di sini adalah hasil laut merupakan salah satu sumber gizi terbaik bagi anak bangsa. Jepang dapat menjadi seperti ini akibat pemudanya mengkonsumsi banyak hasil laut.

Apabila social welfare masyarakat pesisir meningkat, maka ini akan menghidupkan perekonomian dan akan menjalar ke daerah-daerah non pesisir juga.

2. Pemanfaatan laut dan pantai sebagai tools wisata bahari

Alam Indonesia sangatlah eksotis dan masih sangat orisinil belum tersentuh oleh siapapun. Sungguh disayangkan pemerintah indonesia sepertinya lupa untuk melakukan pembangunan sektor kepariwisataan.

Pariwisata bahari sebenarnya telah dikenal di Indonesia walaupun belum terlalu sukses dan masih sebatas jargon belaka. Hanya ada beberapa tempat di Indonesia yang wisata baharinya telah cukup terkenal di mana-mana, seperti di Bali, Lombok ataupun Taman Laut Bunaken di Manado.

Di sisi lain, Indonesia memiliki hamparan terumbu karang sepanjang 75.000 kilometer dengan lebih dari 950 spesies terumbu karang, salah satu yang terbesar di dunia. Indonesia juga sudah memperkenalkan Visit Indonesia Year walaupun dampaknya belum terlalu dirasakan.

Sungguh sangat disayangkan ketika Bappenas dalam kerangka pembangunan melalui Direktorat Kelautan dan Perikanan tidak menyertakan satupun kata ”pariwisata” di dalam rancangannya pembangunan Indonesia.

Indonesia seharusnya belajar dari negara tetangga Malaysia, yang berhasil menyulap pulau kecil Sipadan dan Ligitan menjadi salah satu objek wisata kelas dunia hanya dalam tempo waktu beberapa tahun. Sedangkan bangsa ini yang memiliki begitu banyak potensi pariwisata laut malah menolak dan terkesan masa bodoh dengan hal tersebut.

Apabila wisata bahari bisa dikembangkan, maka bisa dipastikan ini akan membuat ”boost” di dalam devisa kita. Saat ini sektor pariwisata hanya menyumbang sekitar US$ 5 Milyar per tahun bagi APBN kita. Apabila kita melihat trend turis dan arah tujuan bepergian, maka yang dituju adalah tempat-tempat yang masih perawan, asri dan belum terjamah ketamakan manusia. Turis cenderung mengunjungi tempat-tempat yang unik dan memiliki makna sejarah. Indonesia memiliki semua syarat untuk itu apalagi kita ditunjang dengan posisi di daerah Khatulistiwa yang memiliki iklim tropis.

Yang bisa dilakukan pemerintah adalah membangun infrastruktur pembangunan menuju ke lokasi wisata. Kemudian menjamin keberlangsungan keamanan dan stabilitas kawasan. Sumber wisata bahari baru seperti Wakatobi dan Raja Ampat siap menjadi objek wisata yang go internasional.

Potensi kelautan kita yang besar tentu saja dapat dijabarkan juga dalam sektor pariwisata. Sungguh ironis apabila potensi sebesar itu dibiarkan tertidur.

3. Menjamin Interpendensi Bangsa

Mungkin sebuah pernyataan yang aneh, bagaimana bisa? Ya, tentu saja bisa.

Kita lihat sekarang kondisi perairan Indonesia sangatlah bebas. Walaupun katanya ada kedaulatan (sovereignty), tetapi yang terjadi adalah bagitu banyak pelanggaran yang dilakukan bangsa lain baik berupa pelanggaran batas teritorial atau hingga pencurian sumber daya laut.

Kebebasan ini adalah power bagi Indonesia untuk dapat berperan lebih dalam percaturan politik Internasional. Kemandirian bangsa dapat tercapai apabila kita bisa berdaulat di laut. Apabila kita bisa memanfaatkan laut bagi diri kita dan membaginya dengan proporsi keuntungan tertentu bagi negara kita, bukannya memberikan secara gratis dan Cuma-Cuma.

Kita bisa melihat pencurian ikan terus terjadi, hal ini menunjukkan betapa pengawasan yang sangat lemah, namun, di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa adanya ”demand” dan ”need” bangsa lain terhadap bangsa Indonesia. Baik dari sisi sumber daya laut, transportasi ataupun jalur perdagangan. Sisi inilah yang harus dimaksimalkan oleh bangsa ini apabila ingin maju.

Posisi sangat strategis tetapi hanya sedikit sekali kapal barang yang mau merapat ke dermaga dan pelabuhan Indonesia. Memiliki laut yang begitu luas tetapi kapal patroli masih sangat sedikit dan pencurian dilakukan dengan begitu bebas dan liar tidak terkendali. Apakah kita mununggu laut kita terkuras? Atau batas laut negara seperti Singapura semakin menjorok ke Indonesia akibat pencurian pasir di daerah Kepulauan Riau lalu kita baru bertindak?

Kita menyadari bahwa bangsa lain tidak bisa hidup tanpa adanya laut kita. Inilah yang harus kita manfaatkan. Bayangkan bila kapal-kapal harus memutar dan tidak boleh melewati perairan Indonesia, berapa cost tambahan yang harus ditanggung? Bayangkan bila kita berhasil menurunkan tingkat pencurian ikan maka keran ekspor ikan dan hasil laut lainnya ke luar negeri akan meningkat dan mampu memperbaiki neraca perdagangan Indonesia.

Dependensi negara lain terhadap laut Indonesia sebenarnya harus tetap dijaga, karena hal ini dapat mendukung investasi kita dalam pemanfaaatan laut untuk mencapai kemandirian bangsa.

Selain itu, bangsa ini harus segera mengubah konsep pembangunannya secara makro. Dengan memiliki luas lautan yang di atas luas daratan, seharusnya konsep pembangunan bangsa ini memasukkan variabel sumber daya kelautan dan perikanan, tetapi sejauh ini sepertinya belum.

Memasukkan kategori ini dalam kebijakan pembangunan, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang akan memudahkan alokasi pendanaan pemberdayaan potensi kelautan yang kita punya. Sejauh ini hanya Rp. 3 Triliun yang dialokasikan pemerintah untuk sektor kelautan untuk APBN 2009 atau hanya 0.3 % APBN 2009! Reformasi anggaran adalah sebuah hal yang mutlak untuk mengubah paradigma sebelumnya.

Reformasi anggaran juga harus didukung oleh reformasi birokrasi, karena ini adalah salah satu inti permasalahan sektor kelautan di Indonesia. Memberikan advokasi dan perlindungan terhadap nelayan lokal, subsidi, bantuan dan pengembangan pariwisata serta menggenjot ekspor hasil laut atau traffic transportasi laut dan memperketat pengawasan kedaulatan bangsa terutama di pulau-pulai terluar menjadi faktor penting apabila kita ingin berjaya di laut.

GDP Indonesia dapat meningkat dengan sangat tajam hanya dari laut. Indonesia juga dapat melepas ketergantungan hutang apabila bisa memaksimalkan potensi ini. Oleh karena itu, kita harus bisa bersama-sama bekerjasama mewujudkan hal ini. Dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai bangsa yang menghargai laut sesuai dengan apa yang telah dilakukan nenek moyang kita berabad-abad yang lalu.

Nenek moyangku seorang pelaut...


Departemen Kajian Strategis

BEM FE Unpad 2009/2010


Kamis, 02 Juli 2009

Kendala Permodalan UMKM


Manusia tidak terlepas dari kebutuhannya akan pekerjaan walaupun mereka tahu bahwa jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tak kunjung memenuhi kebutuhannya tersebut. Usaha mikro, kecil,dan menengah atau yang biasa disebut UMKM setidaknya menjadi salah satu solusi. UMKM ini bahkan menjadi sektor yang memberikan sumbangan cukup signifikan pada pendapatan nasional negara kita ini. Pada tahun 2001, UKM berkontribusi sebanyak 14,20 persen di sektor ekspor non migas dan bersumbangsih 63,11 persen dalam Produk Nasional Bruto (PDB) Non Migas. Namun, apakah setiap masyarakat dapat merasakan kesempatan baik ini?

Banyak kendala yang dihadapi oleh masyarakat sebagai pelaku UMKM, dan satu yang paling utama adalah masalah permodalan. Sumber pembiayaan UMKM biasanya berasal dari sektor formal seperti perbankan, namun pembiayaan lainnya bisa dilakukan melalui sektor informal yakni modal dari pemberi utang individual (individual moneylenders), tabungan bersama (mutual savings), asosiasi pemberi pinjaman, dan pinjaman dari perusahaan mitra (partnership firm). Kendala permodalan yang dimaksud disini adalah sektor formal, yaitu perbankan sebagai sumber pembiayaan yang utama, terutama usaha menengah.

Layaknya seseorang yang menitipkan barang pada temannya, ia pasti memikirkan apakah temannya dapat mengembalikan barang titipannya atau tidak. Begitu pula jika barang tersebut adalah uang, yang dipinjamkan oleh perbankan sebagai modal, apakah si peminjam ini dapat mengembalikan pinjamannya atau malah kabur tanpa melunasinya. Banyak hal-hal yang dijadikan pertimbangan oleh pihak perbankan dalam pembiayaan UMKM ini. Seberapa potensialkah usaha yang akan dikembangkan, bagaimana risiko usaha tersebut, profit yang dihasilkan, dan pertimbangan lainnya. Tentunya permasalahan ini tidak berangkat dari satu pihak saja, melainkan dari sisi perbankan dan juga sisi pelaku UMKM.

Pertama, jika kita menilik dari sisi perbankan, banyak hambatan yang mereka alami terkait pembiayaan UMKM. Sumber daya yang terbatas, yakni jumlah pegawai yang menangani masalah pembiayaan UMKM di setiap cabang bank daerah hanya berkisar tiga orang. Jumlah yang cukup ironis melihat banyaknya masyarakat yang ingin dan telah menjadi pelaku UMKM dan membutuhkan perhatian yang intensif secara psikologis. Hal ini menjadikan sektor UMKM di-nomorsekian-kan dalam urusan perbankan. Padahal, apabila perbankan serius menangani permasalahan ini, setidaknya akan mempermudah para pelaku UMKM unjuk gigi dalam persaingan dan keluar dari krisis lapangan pekerjaan. Mereka juga perlu pengawasan dalam menjalankan usahanya dan itulah fungsi perbankan.

Selain itu, perangkat analisa yang belum memadai, hal yang sangat krusial bagi pertimbangan pembiayaan UMKM. Selama ini, pihak perbankan hanya menyediakan perangkat teknis analisa bagi usaha menengah dan besar, sedangkan bagi usaha mikro dan kecil belum ada. Padahal data membuktikan bahwa jumlah usaha mikro dan kecil hampir sebanding dengan usaha besar, yakni pada kisaran 40 persen. Sulit sekali apabila dalam menganalisa usaha mikro dan kecil memakai teknis analisa bagi usaha menengah dan besar, begitu pula bagi si pelaku UMKM yang akan dianalisa. Entah apa yang menyebabkan hal ini, namun sebaiknya segera dikoreksi oleh berbagai pihak, baik perbankan maupun pemerintah, supaya tidak lagi mempersulit kemajuan pembangunan melalui UMKM.

Kedua, dilihat dari sisi pelaku UMKM sendiri. Kondisi UMKM menjadi sebuah faktor penentu bagi pihak perbankan dalam pembiayaan. Bagaimana bentuk usahanya, produk yang dihasilkan, pangsa pasar, dan persaingan. Mungkin hal ini juga yang termasuk di dalam perangakat analisa UMKM. Pada intinya adalah bagaimana masyarakat mengerahkan segenap kemampuan kreativitas dan manajerial usaha yang baik agar tetap dapat bertahan dan bersaing dalam pasar. Banyak produk baru dan inovatif yang mampu mendobrak pasar, atau bahkan produk yang sederhana dan biasa tapi dengan packaging yang berbeda serta keunggulan-keunggulannya pun mampu bersaing di pasar.

Namun, permasalahan permodalan UMKM ternyata tidak hanya terhenti pada dua pihak terkait itu saja. Faktor eksternal dunia perekonomian ternyata berperan penting dalam penentuan permodalan ini. Tingkat suku bunga yang meningkat membuat para pelaku UMKM khawatir terhambatnya aliran kredit sebagai pembiayaan bagi UMKM mereka.

Tentunya kita tidak bisa tinggal diam melihat permasalahan-permasalahan yang kian melanda sektor yang cukup signifikan dalam usaha mengurangi pengangguran ini. Terlalu normatif memang, bila hanya mengatakan pemerintah seharusnya begini dan begitu. Walaupun ada 18 kementerian dan 60 lembaga pemerintah yang turut mengurusi perkembangan UMKM, nyatanya UMKM masih saja berhadapan dengan masalah yang prinsipal dan krusial, yaitu permodalan. Tak ayal bila dikatakan pemerintah belum maksimal dalam mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Padahal dana pinjaman yang diterima pemerintah dalam anggaran negara bisa saja disalurkan untuk aliran kredit UMKM yang sirkulasinya cukup menjanjikan bagi pemasukan negara, menimbang sumbangsih yang telah diberikan UMKM selama ini bagi negara kita.

Selain itu, sistem yang menyulitkan memang hanya akan menghambat penyaluran kredit, apalagi sistem yang tidak layak seperti perangkat analisa yang tidak memadai tersebut. Harus ada perbaikan di sana sini , baik dari pihak perbankan maupun pelaku UMKm itu sendiri sehingga ada sinergisitas yang saling memudahkan bagi semua pihak. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dengan pekerjaannya, perbankan dapat menyalurkan dana masyarakat dengan lebih baik, negara mendapat tambahan pemasukan dari sektor non migas, pengangguran sedikit demi sedikit teratasi, dan kesejahteraan pun meningkat.



Departemen Kastrat BEM FEUI

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Juli 2009 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates