Jumat, 12 Maret 2010

Sistem Demokrasi Berbiaya Mahal

Jika tahun 2008 adalah ajang pencarian sosok gubernur ‘favorit’, tahun 2009 menjadi ajang demokrasi nasional di mana seluruh rakyat Indonesia (yang telah memenuhi syarat) menentukan pemimpinnya di balik bilik suara, maka tahun 2010 ini juga tak kalah panas oleh hawa politik. Hanya saja lingkupnya lebih kecil, yaitu tingkat Dati II ( Daerah Tingkat II ) atau tingkat kabupaten/ kota. Setidaknya ada 244 daerah di seluruh pelosok negeri yang merayakan proses demokrasi secara langsung ini.
Pemilihan Kepala Daerah ( selanjutnya disebut Pilkada ) secara langsung merupakan ekses dari dibukanya keran demokrasi selebar-lebarnya sejak era Reformasi. Masyarakat masing-masing daerah kini dapat menentukan pilihannya sendiri dengan menggunakan hak suara yang mereka miliki. Tentunya mereka harus mengenal visi-misi dan bagaimana sosok calon-calon pemimpin daerah mereka, sebelum benar-benar mencontreng. Inilah salah satu kelebihan dari pilkada secara langsung. Rakyat dapat benar-benar menilai dan memahami calon pemimpinnya. Selain itu, rakyat juga dapat mengetahui program-program yang menyokong kemajuan daerahnya yang dijanjikan oleh calon-calon kepala daerah, dengan begitu masyarakat dapat dengan mudah mongontrol perkembangan raihan-raihan yang telah dikerjakan pemimpinnya. Masyarakat juga dapat mengambil pelajaran dari proses politik yang ada di daerah mereka masing-masing. Hal seperti ini yang sulit ditemui dalam pilkada tertutup yang ditentukan dalam forum DPRD.
Banyak masalah yang terjadi pada penerapan pilkada langsung ini. Dari sisi pemilih misalnya, banyak masyarakat yang tidak masuk DPT, pemutakhiran data pemilih amat buruk, banyak pemilih ganda, pemilih fiktif, dll. Dari sisi lainnya juga terlihat banyak masalah, di antaranya curi start kampanye, money politic, black campaigne, aksi-aksi kekerasan, transparansi keuangan bermasalah, dan terutama yang diindikasikan terjadi di Kota Depok oleh ICW adalah praktik korupsi yang dilakukan KPU. Hal ini membuat kita perlu mempertanyakan proses demokratisasi yang tercipta dari pemilu langsung seperti ini. Perlu dianalisis kembali apakah benefit yang dihasilkan sistem ini sudah lebih besar dari cost yang dikeluarkannya. Karena jika tidak, yang didapat negeri ini hanyalah kerugian, sehingga perlu penataan dan perbaikan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas dari sistem ini agar menghasilkan output yang optimal.
Pilkada langsung tentu memakan jauh lebih besar biaya dibandingkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kota Depok pada tahun 2005 menghabiskan anggaran sebesar Rp 14 milyar untuk pemilihan langsung, sedangkan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, hanya menghabiskan anggaran kurang lebih sebesar Rp. 1 milyar (Pemkot Depok, 2005). Untuk pilkada langsung tahun ini KPU kota Depok mendapat dana Rp 33 milyar dari pemerintah kota depok. Sungguh angka fantastis. Penulis setuju dengan pelaksanaan pemilu secara langsung, tapi menurut penulis angka sebesar itu terlalu besar untuk skala pemilu. Masih banyak sektor-sektor penting lain yang lebih membutuhkan dana itu. Sehingga dibutuhkan suatu metode yang lebih efisien namun tidak mengebiri proses demokratisasi untuk sistem pilkada langsung.
Salah satu solusi yang baik untuk efisiensi anggaran pilkada –seperti yang telah dilakukan beberapa daerah- adalah dengan penggabungan pilkada yang dapat menghemat anggaran hingga 65% pada salah satu daerah di Indonesia.contonya di Sumatra Barat, dengan penggabungan pemilihan gubernur dengan 13 pemilihan bupati/wali kota bisa menghemat 65% dari 196 miliar yang dibutuhkan menjadi Rp59 miliar. "Anggaran bisa dihemat hingga 65% untuk biaya honor, distribusi logistik, dan sosialisasi. Sebenarnya pada 2005, kami juga sudah melakukan penggabungan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/wali kota yang waktu itu dari Rp101 miliar dihemat menjadi Rp23 miliar," kata Ketua KPU Sumbar Marzul Veri. (media indonesia 19/12/2009). Hal yang sama juga perna dilakukan di daerah-daerah lain seperti Kalimantan Tengah yang menggabungkan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota sehingga bisa menghemat anggaran sampai 24 miliar rupiah.
Selain itu, sistem e-voting, terbukti telah menjadi metode pemilihan langsung yang sangat efisien. Di Indonesia, metode ini digunakan pada pemilihan kepala dusun di kabupaten Jembrana beberapa waktu yang lalu. Terbukti e-voting dapat menekan biaya karena tidak memerlukan kertas dan tinta, waktu yang digunakan saat pemilihan hingga penghitungan juga relatif lebih singkat. Anggaran dapat dihemat lebih dari 60 persen. Pemakaian kartu penduduk berbasis chip pun tidak memungkinkan seseorang menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali.
Hal ini membuat penulis merekomendasikan e-voting menjadi metode pemilihan kepala daerah secara langsung. Meskipun secara teknis bukan mencontreng atau mencoblos, tapi yang paling penting secara substansi masyarakat tetap melakukan pemilihan wakilnya secara langsung. Memang belum semua daerah di Indonesia bisa menerapkan sistem ini, tapi kota-kota yang sistem jaringan informasinya sudah baik tentu bisa menerapkannya, termasuk kota Depok. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mensosialisasikan dan mengajarkan metode ini pada masyarakat. Selebihnya penulis yakin metode ini akan memberikan dampak yang sangat positif bagi penerapan pilkada dan pemilu langsung di Indonesia, terutama dari sisi efisiensinya.
Namun dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana nantinya solusi ini bisa diaplikasikan ke semua daerah yang melaksanakan pilkada. Dengan kata lain akan ada efisiensi biaya yang merata di setiap daerah di Indonesia. Hal itu akan menguntungkan daerah tersebut, dan anggaran yang dihemat bisa di salurkan untuk kepentingan yang lain. Karena yang terpenting dalam pemilihan kepala daerah adalah terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan kemeriahan yang berlebihan dalam pelaksanaan pemilihan yang nantinya hanya akan selesai dalam satu kali contrengan.

Departemen Kajian Strategis
BEM FE UI 2010

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►