Minggu, 28 Maret 2010

PILKADA: Mencari Pemimpin dengan Biaya Mahal

Tahun 2009 kemarin Indonesia “punya gawe” dengan menggelar pemilihan legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden yang masing-masing dilaksanakan bulan April dan Juli tahun 2009. Pemilihan Presiden oleh rakyat (yang mempunyai hak pilih) secara langsung ini sudah digelar dua kali di Indonesia. Seolah-olah belum habis euphoria rakyat Indonesia terhadap pesta demokrasi nasional ini, tahun 2010 demokrasi kembali dipestakan oleh setidaknya oleh 246 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Dari tingkat propinsi ada 7 pemilihan, 204 pemilihan di tingkat kabupaten, dan 35 pemilihan di tingkat kotamadya. Jumlah ini merupakan jumlaj terbanyak dalam sejarah demokrasi di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri, pilkada adalah wujud demokrasi yang bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Rakyat bisa memilih pemimpinnya secara langsung di balik bilik-bilik suara yang menentukan masa depan negara dan daerah. “Demokrasi” merupakan alasan terbesar penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Adanya kredo “suara rakyat suara Tuhan” menjadi motivasi dalam penyelenggaraan pilkada. Demokrasi, ya satu kata ini menjadikan pilkada seperti kebutuhan mutlak bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Berangkat dari sini, berbagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi seputar pilkada terjadi.
Kata “demokrasi” merupakan judul yang bisa mengcover besarnya anggaran daerah untuk menggelar pemilihan kepala daerah baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Demokrasi menjadi jawaban atas kelayakan jumlah dana yang dihabiskan untuk pilkada. Namun haruskah wujud demokrasi membengkakkan anggaran belanja daerah? Dan haruskah demokrasi ini menghambat pembangunan ekonomi daerah yang kini ditanggung daerah itu sendiri lewat otonomi daerah?

Jika kita tinjau, Pilkada memang benar-benar akan memakan banyak biaya. Mulai dari pemutakhiran data, pencetakan surat suara, kebutuhan logistik, honor penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal dana yang dikeluarkan oleh pemda/pemprov di mayoritas daerah lebih kecil dari yang dianggarkan KPU setempat. Sebagai contoh misalnya Pilkada di kabupaten Indramayu, KPU meminta Rp 27 Miliar untuk penyelenggaraan putaran pertama dan Rp 11 Miliar untuk putaran kedua namun yang dianggarkan oleh pemkab hanya Rp 22,28 Miliar untuk putaran pertama dengan alasan keterbatasan dana. Kasus penolakan pengajuan dana juga terjadi di kota Surabaya, dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada sebesar Rp 66 Miliar ditolak oleh pemkot setempat dan belum ditetapkan jumlah besarannya. Di Kepulauan Riau, dana pilkada pada pos bantuan sebesar Rp27,8 M. Terdiri atas Rp 27 M dana KPU dan dana untuk panwas pilkada sebesar Rp1,7 M. Besaran biaya yang lebih dahsyat lagi terlihat di Pilkada Jatim tahun 2008 silam dimana biaya yang ditelan mendekati angka 1 Triliun Rupiah.

Masalah dana memang merupakan masalah klise yang terjadi di Indonesia. Mungkin solusi terbaik adalah perlu dilakukan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada baik teknis maupun pendanaan. Misalnya dengan mengadakan pilkada secara serentak. Jika pilkada tingkat I dan tingkat II diadakan bersamaan maka akan menekan biaya. Tidak perlu dua kali membayar honor penyelenggara dan tidak perlu dua kali membeli keperluan logistik dan pemutakhiran data. Apalagi tentang pembayaran honor penyelenggara kini menjadi isu nasional di Indonesia disertai dengan sulitnya pencairan dana untuk pilkada. Kesulitan pencairan dana untuk pilkada ini memberikan kesan bahwa penyelenggaraan pilkada terlalu memaksakan. Sulitnya pencairan dana menggambarkan adanya kesulitan keuangan di daerah itu sendiri untuk menyelenggarakan pilkada yang tidak seharusnya terjadi. Belum lagi jika pilkada harus digelar dua putaran, maka dana yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari yang hanya satu putaran. Efisiensi pilkada dengan mengadakan pilkada tingkat I dan II secara serentak bisa dialihkan untuk kepentingan pembangunan yang lain. Memang kendala akan tercipta ketika adanya perbedaan masa jabatan di masing-masing daerah. Dari sinilah kit abutuh adanya perombakan sistem birokrasi. Terdengar cukup memakan biaya memang jika sekilas kita dengar. Namun lebih baik biaya keluar satu kali namun bisa dijadikan penghematan seterusnya daripada kita harus memboroskan anggaran belanja daerah berkali-kali.

Masalah lain jika kita tinjau dari sisi politik dan masyarakat salah satunya adalah ketidaktahuan pemilih pada calon yang dipilih. Tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih golput karena alasan ini. Bahkan ada juga yang asal pilih dalam menyuarakan aspirasinya. Hal ini hanya menyia-nyiakan besaran anggaran yang telah dihabiskan untuk pilkada.

Unsur lain yang menjadi permasalahan dalam pilkada adalah efektivitas kinerja KPUD. Pelaksanaan pilkada akan berhasil jika penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPUD, memiliki kualitas yang baik. KPUD memiliki tugas besar dalam pelaksanaan pilkada. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah mengatur tata cara pelaksanaan pilkada, membentuk organisasi pelaksana dan pengawasan pilkada, merencanakan hingga menganggarkan kegiatan-kegiatan Pilkada, mengadakan dan mendistribusikan logistik, hingga mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan pilkada. Namun dalam prakteknya banyak terjadi penyelewengan yang disebabkan karena KPUD telah menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh dalam artian keputusan KPUD bersifat final dan mengikat. Padahal penghitungan suara kerap kali terjadi penyelewengan. Sedangkan di sisi lain UU no 12/2003 memberikan peluang bagi KPUD untuk melakukan kesewenangan dengan adanya rumusan ketentuan bahwa “Keputusan KPU/KPUD bersifat final dan mengikat”. Maka dari itu seharusnya ada rumusan dan undang-undang lain yang membatasi keputusan KPU dan KPUD agar lembaga tambahan ini tidak menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh.

Masalah lain dalam Pilkada adalah mengenai pelebaran ladang korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti. Pertama, politik uang dengan pola pembagian uang secara langsung yang terjadi pada masa kampanye. Kedua, potensi manipulasi dana kampanye yang disebabkan karena lemahnya aturan yang memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber yang sebenarnya tidak diperbolehkan ke rekening tim sukses pasangan pemenang pilkada. Perlu diketahui bahwa regulasi yang berkaitan dengan pilkada yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemeribtah daerah tidak memberi batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan diperkirakan akan marak pada pilkada nanti seperti yang telah terjadi di pemilu 2009.
Efisiensi kerja yang lainnya adalah seleksi anggota panwaslu dan calon kepala daerah. Selama ini kualifikasi mereka masih longgar. Seharusnya ada kualifikasi mengenai ijazah yang mereka peroleh. Hal ini untuk memotivasi rakyat Indonesia sendiri dalam bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas dari pilkada itu sendiri. Kita perlu mengingat bahwa anggapan kepemimpinan merupakan bawaan sejak lahir sudah hilang oleh jaman. Dengan adanya pengetatan kualifikasi anggota panwaslu dan calon kepala daerah diharapkan kualitas pilkada hingga kualitas kepemimpinan nantinya akan naik.


Maret, 2010.
Kastrat-BEM FE UB.

Jumat, 12 Maret 2010

Sistem Demokrasi Berbiaya Mahal

Jika tahun 2008 adalah ajang pencarian sosok gubernur ‘favorit’, tahun 2009 menjadi ajang demokrasi nasional di mana seluruh rakyat Indonesia (yang telah memenuhi syarat) menentukan pemimpinnya di balik bilik suara, maka tahun 2010 ini juga tak kalah panas oleh hawa politik. Hanya saja lingkupnya lebih kecil, yaitu tingkat Dati II ( Daerah Tingkat II ) atau tingkat kabupaten/ kota. Setidaknya ada 244 daerah di seluruh pelosok negeri yang merayakan proses demokrasi secara langsung ini.
Pemilihan Kepala Daerah ( selanjutnya disebut Pilkada ) secara langsung merupakan ekses dari dibukanya keran demokrasi selebar-lebarnya sejak era Reformasi. Masyarakat masing-masing daerah kini dapat menentukan pilihannya sendiri dengan menggunakan hak suara yang mereka miliki. Tentunya mereka harus mengenal visi-misi dan bagaimana sosok calon-calon pemimpin daerah mereka, sebelum benar-benar mencontreng. Inilah salah satu kelebihan dari pilkada secara langsung. Rakyat dapat benar-benar menilai dan memahami calon pemimpinnya. Selain itu, rakyat juga dapat mengetahui program-program yang menyokong kemajuan daerahnya yang dijanjikan oleh calon-calon kepala daerah, dengan begitu masyarakat dapat dengan mudah mongontrol perkembangan raihan-raihan yang telah dikerjakan pemimpinnya. Masyarakat juga dapat mengambil pelajaran dari proses politik yang ada di daerah mereka masing-masing. Hal seperti ini yang sulit ditemui dalam pilkada tertutup yang ditentukan dalam forum DPRD.
Banyak masalah yang terjadi pada penerapan pilkada langsung ini. Dari sisi pemilih misalnya, banyak masyarakat yang tidak masuk DPT, pemutakhiran data pemilih amat buruk, banyak pemilih ganda, pemilih fiktif, dll. Dari sisi lainnya juga terlihat banyak masalah, di antaranya curi start kampanye, money politic, black campaigne, aksi-aksi kekerasan, transparansi keuangan bermasalah, dan terutama yang diindikasikan terjadi di Kota Depok oleh ICW adalah praktik korupsi yang dilakukan KPU. Hal ini membuat kita perlu mempertanyakan proses demokratisasi yang tercipta dari pemilu langsung seperti ini. Perlu dianalisis kembali apakah benefit yang dihasilkan sistem ini sudah lebih besar dari cost yang dikeluarkannya. Karena jika tidak, yang didapat negeri ini hanyalah kerugian, sehingga perlu penataan dan perbaikan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas dari sistem ini agar menghasilkan output yang optimal.
Pilkada langsung tentu memakan jauh lebih besar biaya dibandingkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kota Depok pada tahun 2005 menghabiskan anggaran sebesar Rp 14 milyar untuk pemilihan langsung, sedangkan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, hanya menghabiskan anggaran kurang lebih sebesar Rp. 1 milyar (Pemkot Depok, 2005). Untuk pilkada langsung tahun ini KPU kota Depok mendapat dana Rp 33 milyar dari pemerintah kota depok. Sungguh angka fantastis. Penulis setuju dengan pelaksanaan pemilu secara langsung, tapi menurut penulis angka sebesar itu terlalu besar untuk skala pemilu. Masih banyak sektor-sektor penting lain yang lebih membutuhkan dana itu. Sehingga dibutuhkan suatu metode yang lebih efisien namun tidak mengebiri proses demokratisasi untuk sistem pilkada langsung.
Salah satu solusi yang baik untuk efisiensi anggaran pilkada –seperti yang telah dilakukan beberapa daerah- adalah dengan penggabungan pilkada yang dapat menghemat anggaran hingga 65% pada salah satu daerah di Indonesia.contonya di Sumatra Barat, dengan penggabungan pemilihan gubernur dengan 13 pemilihan bupati/wali kota bisa menghemat 65% dari 196 miliar yang dibutuhkan menjadi Rp59 miliar. "Anggaran bisa dihemat hingga 65% untuk biaya honor, distribusi logistik, dan sosialisasi. Sebenarnya pada 2005, kami juga sudah melakukan penggabungan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/wali kota yang waktu itu dari Rp101 miliar dihemat menjadi Rp23 miliar," kata Ketua KPU Sumbar Marzul Veri. (media indonesia 19/12/2009). Hal yang sama juga perna dilakukan di daerah-daerah lain seperti Kalimantan Tengah yang menggabungkan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota sehingga bisa menghemat anggaran sampai 24 miliar rupiah.
Selain itu, sistem e-voting, terbukti telah menjadi metode pemilihan langsung yang sangat efisien. Di Indonesia, metode ini digunakan pada pemilihan kepala dusun di kabupaten Jembrana beberapa waktu yang lalu. Terbukti e-voting dapat menekan biaya karena tidak memerlukan kertas dan tinta, waktu yang digunakan saat pemilihan hingga penghitungan juga relatif lebih singkat. Anggaran dapat dihemat lebih dari 60 persen. Pemakaian kartu penduduk berbasis chip pun tidak memungkinkan seseorang menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali.
Hal ini membuat penulis merekomendasikan e-voting menjadi metode pemilihan kepala daerah secara langsung. Meskipun secara teknis bukan mencontreng atau mencoblos, tapi yang paling penting secara substansi masyarakat tetap melakukan pemilihan wakilnya secara langsung. Memang belum semua daerah di Indonesia bisa menerapkan sistem ini, tapi kota-kota yang sistem jaringan informasinya sudah baik tentu bisa menerapkannya, termasuk kota Depok. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mensosialisasikan dan mengajarkan metode ini pada masyarakat. Selebihnya penulis yakin metode ini akan memberikan dampak yang sangat positif bagi penerapan pilkada dan pemilu langsung di Indonesia, terutama dari sisi efisiensinya.
Namun dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana nantinya solusi ini bisa diaplikasikan ke semua daerah yang melaksanakan pilkada. Dengan kata lain akan ada efisiensi biaya yang merata di setiap daerah di Indonesia. Hal itu akan menguntungkan daerah tersebut, dan anggaran yang dihemat bisa di salurkan untuk kepentingan yang lain. Karena yang terpenting dalam pemilihan kepala daerah adalah terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan kemeriahan yang berlebihan dalam pelaksanaan pemilihan yang nantinya hanya akan selesai dalam satu kali contrengan.

Departemen Kajian Strategis
BEM FE UI 2010
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Maret 2010 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates