Jumat, 28 Desember 2007

Faktor non-ekonomi - MCB

Ketika saya kuliah dulu, ada satu mata kuliah yang diberi nama Faktor Non-Ekonomi dalam Pembangunan. Pengajarnya: Prof. Dordojatun Kuntjoro-Jakti. Dordojatun adalah dosen yang baik dalam membawa mahasiswa untuk tertarik terhadap sesuatu hal. Didalam kelas ini kita belajar berbagai hal, soal-soal non ekonomi, yang berpengaruh dalam pembangunan ekonomi. Bagi ekonom, ini adalah hal yang amat penting. Karena kritik yang sering muncul mengatakan bahwa ekonom kerap tak mengindahkan faktor non-ekoonomi. Saya kira kritik ini punya dasarnya, namun ada baiknya kita tak membuat faktor non-ekonomi sebagai kerangjang sampah penjelas semua faktor. Artinya ketika kita tak mampu menjelaskan sesuatu hal, maka kita kemudian mengatakan soalnya adalah non-ekonomi, soalnya adalah budaya, atau soalnya adalah moral. Bila ini terus terjadi, faktor non-ekonomi menjadi pelarian dari semua kegagalan analisis. Karena itu saya ingin menunjukkan bahwa berbagai hal yang dianggap sebagai faktor non-ekonomi dan kerap dianggap sebagai penjelas motif ekonomi pun ternyata tak sebaik penjelasan ekonomi.

Misalnya soal korupsi. Kita sering mendengar bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kita. Bahkan ada antropolog dan sosiolog yang secara spesifik merujuk kepada pola dan perilaku pada suku tertentu. Misalnya, suku Jawa, Dijelaskan bahwa struktur Deva Raja dan Priyayi (yayi itu artinya adik raja) telah tumbuh sejak dulu. Dan dalam sejarahnya Deva Raja memberikan hak tanah kepada priyayi untuk kemudian disewakan. Priyayi kemudian membayar upeti dan begitu seterusnya. Artinya komersialisasi jabatan telah terjadi sejak dulu. Upeti adalah bagian dari budaya Jawa. Yang menarik: pola yang sama juga terjadi diberbagai belahan bumi termasuk di Cina, di Afrika dan Amerika Latin. Kalau kita percaya bahwa penjelasannya adalah budaya Jawa, maka itu berarti kita juga percaya bahwa pengaruh budaya Jawa sebegitu kuatnya, sehingga mempengaruhi kebudayaan Cina, di Afrika dan juga Amerika Latin. Rasanya agak terlalu fantastis menyimpulkan begitu. Saya kira analisa benefit dan cost masih mampu menjelaskan korupsi. Korupsi akan selalu terjadi ketika "manfaat" dari tindak korupsi lebih besar dibanding "biaya atau pengorbanan" yang harus ditanggung ketika orang melakukan aktifitas korupsi. Jika pengawasan tak ada, maka praktis biaya melakukan korupsi nol. Dalam sistem seperti ini secara rasional orang akan cenderung korup. Karena itu walau Indonesia adalah negara Pancasila atau negara dengan penduduk Muslim terbesar tak ada jaminan bahwa korupsi akan kecil. Apapun budayanya, latar belakangnya selama sistem yang ada tak membuat biaya melakukan korupsi lebih besar dibanding manfaatnya orang akan korup. Kita melihat di negara yang agnostic tingkat korupsi justru rendah. Apakah kita lalu menyimpulkan bahwa karena ia agnostic maka ia tidak korup? Kalau kita percaya ini, artinya kita cenderung suka kepada fantasi.

Soal lain adalah keserakahan. Kapitalisme erat dan selalu dikaitkan dengan keserakahan. Bahkan sebagian dari kita mungkin masih ingat kepada film kuno dari Oliver Stone yang berjudul Wall Street. Disana ditampilkan tokoh Gordon Gekko (yang diperankan oleh Michael Douglas dengan sangat baik). Gekko adalah prototipe orang yang berani dengan tegas mengatakan Greed is good. Dengan lancar Gekko akan berbicara dan mengutip Giambattista Vico dari abad ke 18 yang mengatakan: justru dari kebengisan dan ambisi manusia telah lahir berbagai hal yang baik di dunia. Bukankah keserakahan yang telah mendorong orang untuk menemukan teknologi untuk menjadi lebih. Kita cenderung sepakat dan mengatakan bahwa tindakan ekonomi kerap didorong oleh keserakahan. Jika kita percaya itu, ada baiknya kita membaca Thomas Sowell dalam bukunya Basic Economics: A Citizen's Guide to the Economy. Dengan baik Sowell menulis:
Jika greed menjadi penjelas harga-harga yang mahal dalam transaksi ekonomi, maka pertanyaannya adalah mengapa harga berbeda dari satu tempat ke tempat lain? Apakah keserakahan bervariasi sebesar itu dan memiliki pola yang sama? Di Los Angeles basin misalnya, rumah tepi pantai lebih mahal ketimbang rumah sejenis yang terletak di daerah yang berkabut. Apakah ini berarti udara yang bebas kabut akan mendorong keserakahan, atau kabut membuat keserakahan menurun?

Sowell tentu agak sedikit sinis didalam penjelasannya. Tetapi ia kemudian menjelaskan bahwa pesoalannya bukanlah keserakahan tetapi lebih karena interaksi antara hukum permintaan dan penawaran. Tentu supply dan demand bisa dijelaskan lebih kompleks lagi dan akan ada diskusi yang amat panjang soal ini. Namun yang ingin saya katakan,ketidakmampuan kita didalam analisis seringkali membuat kita mencari alasan dengan mengatakan bahwa soalnya adalah faktor non-ekonomi atau kalau tdak kita lari kedalam penjelasa teori konspirasi. Kalau benar begitu teori konspirasi dan faktor non-ekonomi akan mirip seperti obat gosok dikaki lima yang sanggup menyembuhkan semua penyakit mulai dari jantung, gatal-gatal, kanker sampai encok --artinya ia sanggup menjelaskan semua hal.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►