Minggu, 03 Februari 2008

Pembenahan Ranah Perbankan Indonesia :

Pembenahan Ranah Perbankan Indonesia :

Sebuah Peluang untuk Meningkatkan Sektor Riil

oleh : Anina Sukmajati *

Bank menurut UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Prof. G.M. Verryn Stuart Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.

Fungsi perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun, penyalur dan pelayan jasa dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang di masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.

Peran Perbankan dalam Meningkatkan Sektor Riil

Bank mempunyai peranan yang besar dalam pertumbuhan sektor riil, sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan dana pihak ketiga. Sektor riil Indonesia yang ditopang Usaha Kecil dan Menengah mengalami perbaikan seiring dengan perbaikan kinerja perbankan Indonesia . Dalam kerangka pengembangan usaha mikro dan kecil, sektor perbankan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan melalui penyaluran kredit dengan persyaratan yang mudah dan tingkat bunga yang terjangkau.

Sampai dengan triwulan II-2007 perbankan menunjukkan perkembangan yang cenderung terus membaik seperti tercermin dari beberapa indikator utamanya. Penghimpunan dana perbankan dalam tahun 2006 dan triwulan II 2007 masih meningkat walaupun dengan laju yang sedikit menurun, terpengaruh oleh penurunan suku bunga perbankan khususnya suku bunga deposito berjangka. Pertumbuhan penghimpunan dana perbankan (deposito, giro dan tabungan) pada akhir 2006 sebesar 14,52 persen sedikit menurun dari 17,51 persen pada akhir 2005, sedikit meningkat menjadi 15,36 persen pada triwulan I 2007 dan meningkat menjadi 16,0 persen pada Juni 2007. Di sisi lain, pertumbuhan penyaluran dana (kredit investasi, modal kerja) pada tahun 2006 juga agak menurun dari 24,59 persen pada akhir 2005 menjadi 14,13 persen, meningkat menjadi 16,51 persen dan 20,40 persen pada triwulan I dan II tahun 2007.

Perkembangan penghimpunan dan penyaluran dana perbankan dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga perbankan. Penurunan BI-Rate dari 12,75 persen pada April 2006 secara bertahap menjadi 9,75 persen pada akhir 2006 dan 8,75 persen pada bulan Mei 2007, diikuti oleh penurun deposito 1 bulan dari 11,98 persen pada akhir 2006 menjadi 7,46 persen pada Juni 2007 dan penurunan suku bunga kredit investasi, konsumsi dan modal kerja. Suku bunga kredit modal kerja menurun dari 15,07 persen pada akhir 2006 menjadi 13,88 persen pada Juni 2007.

Penurunan tingkat suku bunga tersebut berdampak pada peningkatan pertumbuhan kredit perbankan yang disalurkan kepada masyarakat, termasuk dunia usaha. Pada bulan Juni 2007 posisi kredit yang disalurkan kepada masyarakat meningkat menjadi Rp885,0 triliun atau naik 20,4 persen dibandingkan bulan yang sama tahun 2006. Sedangkan dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan pada bulan Juni 2007 mencapai Rp1.363,8 triliun, meningkat 15,6 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.

Namun, meskipun posisi kredit cenderung meningkat. Penyaluran dana pihak ketiga belum dapat dikatakan maksimal. Pada tahun 2006 DPK yang disalurkan hanya 62% dari DPK yang dapat dihimpun. Selebihnya, disalurkan ke dalam bentuk portofolio lain termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Arsitektur Perbankan Indonesia

Dalam rangka mengoptimalkan fungsi perbankan yang secara luas memiliki tujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, Bank Indonesia pada tahun 2004 mengeluarkan kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia . Tujuannya adalah untuk memperbaiki ranah perbankan Indonesia yang sempat hancur dihantam badai krisis tahun 1997, dampak negatif tersebut, antara lain, ditandai dengan terkikisnya permodalan bank, meningkatnya non perfoming loans (NPL), dan penutupan sejumlah bank

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankanIndonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Implementasi API dirumuskan melalui enam pilar yaitu:

a. Struktur perbankan yang sehat

b. Sistim pengaturan yang efektif

c. Sistim pengawasan yang independen dan efektif

d. Industri perbankan yang kuat

e. Infrastruktur pendukung yang mencukupi

f. Perlindungan Konsumen.

Setelah implementasi API dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun, bentuk struktur perbankan Indonesia yang diharapkan adalah :

a. 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun.

b. 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun.

c. 30 sampai 50 bank spesialis yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompentensi masing-masing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun.

d. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp.100 miliar.

Program penguatan struktur permodalan perbankan (konvensional dan syariah) dimaksudkan dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko bank, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usaha guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit bank. Program penguatan permodalan dilaksanakan dalam jangka waktu masa transisi selama 5 sampai 7 tahun ke depan sehingga pada tahun 2011 bank-bank sudah memiliki modal minimum sesuai dengan ruang lingkup usaha maupun risikonya. Dalam rangka memperkuat struktur permodalan perbankan untuk menyamakan level of playing field, seluruh bank diharuskan mencapai permodalan minimum sebesar Rp100 miliar. Namun demikian dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan, bank-bank yang saat ini telah memiliki permodalan di atas Rp100 miliar apabila mau menjadi bank yang berskala internasional maka diwajibkan memenuhi persyaratan masing-masing yaitu permodalan di atas Rp50 triliun dan antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun. Bahkan pada tahun 2008 bank wajib memenuhi batas modal minimal sebesar Rp. 80 milyar

Dalam upaya memperkuat permodalan sesuai ketentuan minimum, perbankan diharapkan menyampaikan business plan yang memuat target waktu, cara dan tahap pencapaian. Cara pemenuhan pencapaian permodalan dapat dilakukan melalui:

  1. Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru.
  2. Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru,
  3. Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal,
  4. Penerbitan subordinated loan dengan catatan memenuhi ketentuan persyaratan sebagai modal bank.

Dampak dalam penetapan kebijakan ini adalah banyak bank-bank besar beramai-ramai mengakusisi bank-bank kecil yang tidak memenuhi persayaratan modal tapi memiliki kinerja cukup baik. Contohnya, Bank BRI yang mengakuisisi Bank Jasa Arta dengan nilai penawaran sekitar Rp 60 miliar. Oleh BRI, yang merupakan bank terbesar ketiga di Indonesia , Bank Jasa Arta akan dimerger dengan unit usaha syariah BRI untuk dijadikan bank umum syariah. Ini strategi BRI untuk memanfaatkan pasar perbankan syariah yang tengah berkembang pesat.

Sedangkan, bank terbesar di Indonesia , Bank Mandiri, mengakuisisi Bank Sinar Harapan Bali. Bank Sinar Harapan Bali merupakan bank lokal yang sangat kuat dalam pembiayaan usaha mikro dan kecil. Strategi ini merupakan bagian dari transformasi Bank Mandiri untuk menjadi regional champion bank, atau bank pertama Indonesia yang disegani di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, Bank terbesar kedua, BCA, telah menyatakan keinginannya untuk mengakuisisi dua bank kecil, yang nantinya akan dijadikan sebagai bank umum syariah dan bank yang fokus pada segmen wealth management. Manajemen BCA mengharapkan target itu terealisasikan pada triwulan III-2008. Dana yang disediakan untuk akuisisi itu sekitar Rp 200 miliar.

Sementara BNI, pada tahun 2008 akan menyempurnakan transformasi segmen bisnis dari yang sebelumnya dominan pada segmen korporasi menjadi dominan di segmen UKM serta konsumsi.Transformasi bertujuan menurunkan risiko sekaligus meningkatkan profit. Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengatakan, transformasi diwujudkan dengan komposisi kredit yang relatif lebih seimbang, yaitu 40 persen korporasi dan 60 persen UKM dan konsumsi. Upaya memacu pertumbuhan segmen UKM dan konsumsi dilakukan dengan pembangunan sentra kredit dan inovasi produk. Di segmen UKM, bank pelat merah itu telah memiliki 50 sentra kredit kecil dan 19 sentra kredit menengah. Di segmen konsumsi, BNI memiliki 12 sentra kredit. Setelah menyeimbangkan portofolio kredit, langkah selanjutnya ialah memacu pertumbuhan yang lebih cepat.

Seperti halnya Bank Mandiri, BNI juga menggenjot pertumbuhan dengan strategi akuisisi. BNI akan mengakuisisi bank-bank lokal di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang kuat di segmen UMKM.

BNI juga akan mengakuisisi bank berskala menengah atau besar yang fokus pada segmen konsumsi. Potensi BNI untuk berlari lebih cepat tahun 2008 semakin besar seiring adanya penambahan modal. Pada Agustus 2007, dilakukan penambahan modal melalui right issue, bersamaan dengan divestasi saham pemerintah.

Dari right issue, diperoleh dana sekitar Rp 4 triliun. Dana digunakan untuk memperkuat struktur permodalan yang selanjutnya digunakan mendanai proyek jangka panjang infrastruktur (75 persen) dan sisanya 25 persen untuk melunasi surat utang yang jatuh tempo.

Single Presence Policy

Selain menetapkan API. BI juga mengeluarkan kebijakan mengenai kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP) yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perbankan nasional dalam mengelola bisnis mereka. SPP dibuat untuk mempercepat konsolidasi perbankan dimana BI mewajibkan satu stakeholder/shareholder hanya memiliki satu bank. Kebijakan ini memicu pemegang saham yang mengendalikan lebih dari dua bank menempuh langkah merger.

Khazanah National Berhad yang mengendalikan PT Bank Niaga Tbk dan PT Bank Lippo Tbk merespons pelaksanaan aturan kepemilikan tunggal itu dengan mengkaji kemungkinan memilih opsi merger. Demikian juga dengan Temasek Holdings yang menguasai PT Bank Danamon Tbk dan PT Bank Internasional Indonesia Tbk juga sedang menyiapkan rencana memilih opsi merger ketimbang opsi jual saham atau membentuk holding company.

Beberapa bank yang melakukan aksi merger tersebut antara lain PT Bank Windu Kentjana dengan Bank Multicor, Bank Harmoni dengan Bank Index Selindo dan Rabo Bank dengan Bank Haga dan Hagakita. Commonwealth Bank Australia yang mengambil alih saham Bank Arta Niaga Kencana juga memilih menggabungkan Bank Commonwealth Indonesia tidak lama setelah proses akuisisi tuntas.

Selain mengatur bank-bank swasta, kebijakan SPP ini tidak membuat pengecualian pada bank BUMN. Penerapan SPP pada bank BUMN menimbulkan dilema bagi stakeholder mereka. Hal ini dikarenakan bank BUMN dalam kegiatan usahanya memiliki misi ganda. Sebagai entitas bisnis bank BUMN harus bisa menghasilkan keuntungan untuk kepentingan shareholder. Sedangkan sebagai bank yang dimiliki negara dan rakyat, bank-bank BUMN juga mengemban misi sosial (corporate social responsibility) untuk membantu pembangunan yang mempu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai contohnya, bank BRI yang diberi tugas oleh pemerintah untuk membiayai sektor UMKM dan Bank BTN yang diberi tugas membiayai perumahan rakyat khususnya menengah kebawah.

Disisi lain bank-bank BUMN masih kalah bersaing dengan bank swasta nasional. Bahkan mereka juga harus saling bersaing untuk memperebutkan market share yang sama. Dapat dikatakan kebiakan SPP merupakan satu langkah positif untuk mensolidkan perbankan nasional. Bagi bank-bank BUMN kebijakan ini dapat meningkatkan bergaining power bank yang bersangkutan dalam kancah perbankan nasional.

Namun langkah yang ditempuh untuk merespon kebijakan ini, bagi bank “pelat merah” harus disusun dengan hati-hati, mengingat bank-bank tersebut sarat dengan mauatan politis dan kepentingan banyak pihak. Langkah yang diambil juga harus mempertimbangkan misi CSR yang diemban bank. Selain aspek manajemen internal terutama yang menyangkut masalah karyawan, aspek pemsaran juga harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam merespon kebijakan SPP. Langkah apapun yang dipilih, merger, akuisisi, maupun membentuk holding company harus mempertimbangkan aspek yang dipaparkan yang telah dipaparkan diatas. Sehingga kebijakan yang diambil dapat mengakomodir pencapaian misi yang ditargetkan diawal.

Penutup

Dua kebijakan baik API maupun SPP yang dicanangkan otoritas moneter Indonesia memiliki tujuan untuk memperbaiki ranah perbankan dalam rangka melanjutkan pembangunan nasional. Diharapkan dengan diluncurkannya dua kebijakan ini perbankan sebagai penunjang keberlangsungan sektor riil dapat menjalankan fungsi intermediasinya dengan maksimal. Penetapan modal minimum Rp. 100 milyar pada tahun 2010 dan pada tahun 2008 bank sudah harus memenuhi setidaknya Rp. 80 Milyar, merupakan sebuah langkah awal yang positif. Dengan jumlah tersebut diharapkan bank dapat meningkatkan kemampuan mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usaha guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit bank.

Dampak positif lain juga terlihat dari gerakan bank-bank besar yang mengakuisisi bank-bank kecil yang fokus dalam pembiayaan usaha kecil dan menengah. Bahkan ada bank yang berencana mengembangkan unit syariah yang notabene memiliki bargaining yang kuat dalam pembiayaan usaha mikro. Terbukti selama beberapa tahun belakangan bank syariah telah mengalami peningkatan serta pertumbuhan asset yang luar biasa. S Diharapkan tindakan ini merupakan sebuah peluang bagus dalam meningkatkan pertumbuhan usaha kecil dan menengah yang merupakan tulang punggung sektor riil.

Namun dalam merespon kebijakan ini, langkah yang dilakukan, baik berupa merger, akuisisi, maupun holding company, harus mempertimbangkan beberapa aspek yang terkait dengan kinerja perbankan kedepan. Aspek-aspek yang harus dipertimbangkan adalah :

  1. Manajemen Internal bank, terutama masalah karyawan.
  2. Strategi pemasaran yang harus ditetapkan dalam rangka menghadapi persaingan.
  3. Teknologi informasi yang menunjang.
  4. Jaminan keamanan dana nasabah.
  5. Misi CSR yang diemban (terutama untuk bank pemerintah)
  6. Fokus usaha yang dijalankan, serta market share yang didapatkan.

Dengan diperhatikannya 6 aspek diatas diharapkan kinerja perbankan dalam waktu yang akan datang dapat berjalan dengan optimal. Sehingga peningkatan sektor riil yang dalam jangka panjang dapat memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat dapat terwujud.

*Penulis adalah Kepala Direktorat Jendral Kajian Strategis Departemen Sosial Politik Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya 2007-2008, Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya jurusan Manajemen angkatan 2006.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►