Rabu, 30 Januari 2008

Menyikapi Peraturan BI Tentang Modal Minimum Bank Rp 100 Miliar

Musim berburu bank, itulah julukan media terkait kondisi dunia perbankan akhir tahun 2007 kemarin. Hal ini terkait dengan peraturan BI tentang penerapan modal inti minimum bank sebesar Rp 80 Miliar pada awal tahun 2008 dan Rp 100 Miliar pada awal tahun 2011. Jika hal ini tidak terpenuhi hukumannya adalah penurunan kelas (downgrade) dari Bank Umum menjadi Bank Pekreditan Rakyat (BPR) yang kegiatannya lebih terbatas. Akhirnya banyak bank-bank umum bermodal kecil yang menjadi buruan para pemodal untuk “menyelamatkan” bank-bank itu dari penurunan kelas.

Peraturan tentang modal minimum bank ini mengharuskan bank memenuhi permodalannya sesuai peraturan BI dengan berbagai cara, baik melalui penambahan modal sendiri, diakuisisi bank lain maupun merger dengan sesamanya. Namun dari tren menyusutnya jumlah bank di tanah air terlihat bahwa bank-bank kita cenderung tidak mampu menambah modal secara mandiri. Dan jika dilihat lebih jauh lagi ternyata bank-bank itu lebih banyak diakuisisi oleh bank-bank asing ketimbang melakukan konsolidasi (merger) dengan sesama bank domestik. Sampai Desember 2007 daftar pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank kecil telah berkurang, dari 51 menjadi 6 Bank. Pengurangan tersebut lebih didominasi oleh akuisisi yang dilakukan oleh bank asing, contohnya Bank Indomonex diakuisisi oleh Bank dari India, yaitu State Bank of India, lalu Bank of India mengakuisisi Bank Swadesi. Bank Haga dan Bank Hagakita dibeli oleh Rabobank International, bank koperasi asal Belanda. Bank Nusantara Parahyangan oleh ACOM Ltd, Bank Halim Indonesia diakusisi oleh Bank of Tokyo-Mitsubishi-UFJ Ltd. Industrial & Commercial Bank of China, terakhir Bank Australia membeli Bank ANK Tbk.

Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekhawatiran tentang struktur permodalan perbankan kita nantinya akan lebih banyak dimiliki oleh pihak asing. Padahal idealnya adalah perbankan kita dapat berkonsolidasi dan melakukan merger sesama bank-bank kecil itu sendiri agar modalnya dapat bertambah, namun kenyataannya justru bank-bank kecil itu dikuasai asing. Untuk menghindari ketidakstabilan BI membuat peraturan yang mewajibkan pemodal asing untuk mempertahankan kepemilikannya di bank-bank tersebut minimal selama 5 tahun.

Sebenarnya tujuan BI menerapkan peraturan modal minimum bank tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan bank umum untuk meng-cover risiko-risiko yang ada baik risiko pribadi bank maupun systemic risk yang sulit untuk dihindari. Risiko pribadi bank adalah risiko yang timbul dari kegiatan pribadi bank yang bersangkutan, misalnya risiko akibat penyaluran kredit. Sedangkan systemic risk adalah risiko yang menimpa sistem, yang bersifat eksternal dan tidak dapat dikendalikan oleh bank yang bersangkutan. Mengingat risiko-risiko tersebut maka modal perbankan haruslah kuat untuk meng-cover berbagai risiko tersebut.

Penerapan peraturan ini juga dapat meningkatkan efisiensi bank karena selama ini bank yang modalnya di bawah Rp 100 miliar cenderung tidak efisien, memiliki rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) yang tinggi yaitu 136,8%. Jika dilihat dari rasio tersebut bisa dikatakan bank telah ’merugi’, dimana biaya operasional lebih besar dibandingkan pendapatan operasional. Akhirnya bank menutupi kerugian tersebut dari pendapatan bunga dengan menetapkan spread yang tinggi dan memberatkan sektor riil. Pendapatan atas aset yang dimiliki oleh bank-bank kecil itu juga tidak begitu besar (Return On Assets-nya hanya 1,3% padahal ROA industri perbankan nasional adalah 2,2%). ROA bank-bank bermodal kecil itu rendah karena mereka cenderung menyalurkan dananya di instrumen-instrumen yang relatif aman seperti SBI ataupun penanaman antar bank. Sedangkan untuk aktivitas pemberian kredit justru sangat kecil, padahal pendapatan dari bunga kredit ini biasanya cukup besar, namun karena risiko yang dihadapi juga cukup besar maka bank dengan modal kecil itu biasanya tidak berani menyalurkan kredit terlalu besar.

Modal minimum Rp 100 miliar juga memungkinkan bank umum untuk meningkatkan daya saingnya. Suatu hasil studi empiris menyebutkan bahwa bank akan efisien dalam melakukan kegiatannya jika aset yang dimiliki sebesar US$ 2 miliar sampai dengan US$ 10 miliar, untuk itu diperlukan modal sekitar US$ 130 juta (kurang lebih Rp 1 triliun). Jika disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat ini tentu sangat sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu ketentua modal minimum bank Rp 100 miliar merupakan hasil penyesuaian terhadap kondisi Indonesia.

Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, modal minimum bank Rp 100 miliar terlihat masih sangat kurang. Korea memiliki modal minimum bank Rp 700 miliar, Malaysia dan Thailand Rp 4 triliun, bahkan Singapura Rp 7 triliun. Jelas sekali terlihat tingkat permodalan bank di Indonesia masih sangat rendah. Padahal kedepannya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 6% per tahun Indonesia membutuhkan kredit sebesar 22% (sejauh ini baru terpenuhi 16%) sehingga dibutuhkan lebih banyak penambahan modal.

Sederhananya BI meyakini bahwa dengan modal yang besar bank akan memiliki kapasitas yang lebih untuk melaksanakan kegiatannya karena industri perbankan adalah industri yang bersifat capital intensive. Sementara pihak yang kontra menyatakan bahwa penerapan modal minimum bank Rp 100 miliar sangat tidak berpihak pada golongan kecil dan justri akan memberatkan bank–bank kecil. Padahal bank-bank kecil tersebut tidak pernah membebani pemerintah, contohnya adalah ketika krisis moneter dimana yang berjatuhan dan membutuhkan biaya rekap justru bank-bank besar.
HASIL KAJIAN INTERNAL
DEPARTEMEN KAJIAN STRATEGIS
SENAT MAHASISWA FEUI


0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►