Senin, 14 Juli 2008

Memprediksi Kenaikan Angka Kemiskinan? -- Ari A. Perdana

Memprediksi Angka Kemiskinan?
Oleh Ari A. Perdana

Buat saya, salah satu pekerjaan tersulit adalah membuat prediksi indikator ekonomi. Saya merasa tidak pernah merasa mampu untuk memprediksi berapa angka inflasi, pertumbuhan ekonomi, apalagi nilai tukar, tahun depan dan seterusnya. Makanya saya kagum kalau ada yang bisa memprediksi angka kemiskinan. Salah satunya adalah rekan-rekan saya di INDEF.

Dalam kajian tengah tahun mereka, INDEF memperikirakan angka kemiskinan akan naik sebesar 1,3 poin persen. Baru-baru ini BPS mengeluarkan angka kemiskinan bulan Maret 2008 sebesar 15,42 persen, atau sekitar 35 juta jiwa. Kalau prediksi INDEF benar, artinya angka kemiskinan bulan Maret 2009 akan menjadi 16,7 persen, atau ada tambahan penduduk miskin sekitar 4 juta jiwa. Dasar perhitungan ini adalah inflasi tahun 2008 akan naik menjadi 12-12,5 persen, sebagai akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM akan mendorong inflasi kelompok transportasi dan makanan (bahan dan produk makanan) -- kelompok barang yang paling mempengaruhi angka kemiskinan.

Karena saya tidak bisa memprediksi tingkat inflasi, saya akan gunakan prediksi inflasi INDEF sebagai patokan. Tahun 2005, ketika harga BBM naik sebesar 130 persen dan harga beras mengalami kenaikan drastis, inflasi menjadi 17-18 persen (dari sebelumnya sekitar 7 persen, artinya lonjakan inflasi sebesar 10-11 poin persen). Saat itu angka kemiskinan naik sebesar 1,8 poin persen, atau kenaikan penduduk miskin sebesar 4,4 juta jiwa. Jika inflasi naik menjadi 12,5 persen dari titik awal yang sama (sekitar 7 persen di awal 2008), maka berdasarkan ekstrapolasi sederhana ini harusnya angka kemiskinan turun, atau setidaknya tetap. Ketika inflasi ada di kisaran 10-12 persen di awal 2000-an pun angka kemiskinan terus turun. Kecuali kalau ada justifikasi yang kuat mengapa kondisi kemiskinan tahun ini berbeda secara signifikan dengan tahun-tahun sebelumnya, kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1,3 poin persen menurut saya menjadi prediksi yang terlalu pesimis.

Satu variabel yang penting dalam prediksi angka kemiskinan adalah asumsi tentang dampak Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap kelompok miskin. Jika tidak ada BLT, atau jika BLT sama sekali tidak punya dampak, prediksi bahwa angka kemiskinan akan meningkat cukup masuk akal. Beberapa orang, termasuk M. Ikhsan Modjo -- peneliti INDEF yang juga salah satu pembicara di kajian tengah tahun mereka -- agaknya masuk dalam kategori yang percaya bahwa BLT tidak punya dampak.

Tentunya perbedaan pendapat dan metodologi perhitungan adalah hal yang sah dan wajar. Tapi mari kita diskusikan lebih lanjut. Ada dua alasan mengapa BLT tidak punya dampak positif: jumlah BLT yang diberikan tidak cukup, atau distribusi BLT tidak mencapai sasaran.

Besar nilai BLT

Sangat berlebihan jika nilai BLT yang sebesar Rp100 ribu per bulan per keluarga dikatakan tidak berarti apa-apa bagi kelompok miskin. Hitungan sederhananya begini. Garis kemiskinan di bulan Maret 2008 adalah Rp182 ribu per bulan per orang. Jika rata-rata anggota keluarga adalah lima orang, itu ekuivalen dengan Rp 913 ribu per bulan per keluarga. INDEF memprediksi inflasi umum sebesar 12,5 persen. Selama ini, inflasi makanan adalah 40-50 persen di atas inflasi umum, artinya sekitar 18,75 persen. Inflasi garis kemiskinan ada kurang lebih di pertengahan keduanya; atau sekitar 15 persen. Artinya, pada Maret 2009 garis kemiskinan akan menjadi sedikit di atas Rp 1 juta (Rp1.050.157 tepatnya).

Asumsikan inflasi garis kemiskinan terdistribusi merata selama 12 bulan. Maka, penduduk yang pada Maret 2008 berada tepat di garis kemiskinan harus mengalami kenaikan konsumsi setidaknya Rp11.500 per bulan untuk berada pada kondisi yang tidak berubah. Andaikan tingkat pengeluaran rata-rata kelompok miskin adalah 50 persen dari garis kemiskinan atau Rp525 ribu per keluarga per bulan. Maka untuk bisa berada di atas garis kemiskinan, mereka memerlukan tambahan pendapatan setidaknya Rp44 ribu per bulan. Artinya, nilai BLT lebih dari cukup sebagai mengompensasi inflasi pasca kenaikan harga BBM. Ini pun belum memperhitungkan kebijakan-kebijakan lain yang juga dinikmati oleh kelompok miskin seperti Raskin.

Betul bahwa di tahun 2005, BLT tidak berhasil mencegah kenaikan angka kemiskinan. Itu karena inflasi yang terjadi begitu tinggi, akibat dari kombinasi kenaikan harga BBM dan -- yang lebih signifikan -- kenaikan harga beras. Tapi pertanyaan counterfactual yang lebih relevan adalah: apa yang akan terjadi dengan angka kemiskinan jika saat itu tidak ada BLT?

Ada kritik lain soal nilai BLT yang dipotong. Memang betul ada banyak kasus dimana penerima tidak mendapatkan nilai bantuan yang utuh. Tapi berdasarkan data Susenas 2006 dan 2007 yang memuat modul khusus BLT, 95 persen penerima di tahap pertama, dan 90 persen di tahap kedua, melaporkan bahwa mereka menerima secara utuh. Dari mereka yang melaporkan mengalami potongan, alasan terbanyak yang adalah "untuk pemerataan (dibagi pada keluarga lain yang dianggap miskin tapi tidak termasuk daftar penerima," "biaya transportasi" serta "administrasi (pembuatan kartu identitas)." Untuk sebuah negara yang terkenal karena korupsinya, ini adalah sebuahg prestasi.

Distribusi BLT

Faktor lain yang memengaruhi efektifitas BLT adalah distribusi bantuan. Hal pertama yang perlu diketahui adalah target penerima BLT adalah keluarga miskin dan setengah-miskin (near poor) yang berjumlah 19,8 juta keluarga; atau sekitar 35 persen dari keseluruhan rumah tangga di Indonesia. Rumah tangga yang ada di bawah garis kemiskinan sendiri berjumlah sekitar 7 juta jiwa. Pertimbangannya, selain memberikan bantuan kepada penduduk yang ada di bawah garis kemiskinan, BLT diharapkan juga memberikan jaring pengaman kepada mereka yang sedikit ada di atas garis kemiskinan.

Memang, berdasarkan pengalaman tahun 2005, masih banyak catatan mengenai distribusi BLT. Data Susenas menujukkan, tingkat undercoverage BLT adalah moderat: sekitar 40 persen penduduk dalam kelompok 20 persen termiskin dalam distribusi (sekitar 4,5-5 juta dari 11-12 juta keluarga dalam kelompok ini) dilaporkan tidak menerima BLT. Lebih baik dibandingkan Raskin dan Askeskin, tapi lebih buruk dibandingkan kebijakan transfer sejenis di Amerika Latin. Hal yang wajar meningat kondisi ketimpangan di Amerika Latin juga jauh lebih parah sehingga identifikasi penduduk miskin vs. non-miskin di sana juga lebih mudah.

Apakah angka kemiskinan akan naik atau turun, dan sebesar berapa, akan tergantung pada bagaimana 4,5-5 juta keluarga yang tidak menerima BLT ini terdistribusi. Berapa banyak dari mereka yang ada di luar 7 juta keluarga yang ada di bawah atau di atas garis kemiskinan. Saya tidak tahu apakah hal ini bisa dimodelkan sehingga kita bisa mendapatkan angka prediksi akhir yang cukup pasti, kecuali kalau kita bisa mengasumsikan sebuah fungsi distribusi probabilitas memperoleh BLT yang cukup spesifik.

Kalaupun kita bisa mengatakan dengan pasti berapa banyak keluarga miskin yang tidak menerima BLT, untuk menyimpulkan bahwa angka kemiskinan akan naik, kita perlu mengasumsikan bahwa semua keluarga miskin yang tidak menerima BLT sama sekali tidak memiliki mekanisme atau akses untuk melakukan consumption smoothing dan bentuk-bentuk manajemen risiko lainnya, baik formal maupun informal.

Jadi, kemiskinan akan naik atau turun?

Poin utamanya, saya tidak tahu. Dari berbagai indikator ekonomi, angka kemiskinan adalah indikator yang tidak mudah untuk diprediksi.

Argumen yang saya sampaikan juga tergantung pada, antara lain, bagaimana penyaluran BLT di lapangan. Kuncinya adalah jika pemerintah bisa memperbaiki kualitas data dan penargetan. Selain itu, bagaimana pemerintah bisa lebih melibatkan komunitas dalam memperbaiki keberhasilan penyaluran. Saat ini dikabarkan PT Pos Indonesia, yang menjadi ujung tombak penyaluran BLT, tengah berusaha melakukan dan verifikasi penerima. Ini adalah langkah positif, tapi trade-off-nya adalah pengucuran dana BLT gelombang pertama yang sudah dimulai Maret lalu jadi agak terhambat. Ini adalah contoh variabel lain yang akan berpengaruh di lapangan.

Hal lain yang penting adalah seberapa jauh angka inflasi bisa dikendalikan, terutama inflasi pangan. Jangan lupa juga bahwa menjelang Pemilu akan banyak uang yang mengalir ke masyarakat lewat dana kampanye. Meski sulit diukur, pengaruh langsung maupun tidak langsungnya juga tidak bisa dikesampingkan.

*** Juga di-post di A Gallery of Mind.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►