Minggu, 09 Agustus 2009

Pendidikan untuk Kelautan Indonesia yang lebih Baik

Indonesia yang Kaya
Indonesia telah dikenal dunia sebagai Negara Kepulauan, “Archipelagic State” yang memiliki potensi sumber daya alam dan kekayaan laut yang sangat beragam. Bahkan banyak Cendekiawan Internasional menyebut kawasan perairan laut Indonesia tropis berdaya dukung alam yang tinggi dengan kemampuan “Mega biodiversity”. Latar belakang geografis dan astronomis yang kita miliki tentu memberi kebanggaan tersendiri sebagai anak bangsa.

Data menunjukkan, dari Sabang sampai Merauke, lautan Indonesia memiliki luas sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Di samping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional,UNCLOS 1982), yang kesemuanya itu mengandung potensi yang bernilai ekonomis sangat tinggi.

Potensi lestari total ikan laut di Indonesia menunjukkan angka 7,5 % (6,4 juta ton/ tahun) dari potensi dunia. 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lain yang bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun. Nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Hampir 70 % produksi minyak dan gas bumi Indonesia bersal dari kawasan pesisir dan laut (Mulyadi, 2005).

Perairan Indonesia dikenal pula dengan sumber plasma nutfah perairan terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 1,3persen dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki labih dari 37 persen dari seluruh jenis ikan di dunia. Selain ikan konsumsi, laut di Nusantara pun menyimpan potensi besar ikan hias. Para pakar mencatat Indonesia memiliki lebih dari 1000 jenis ikan hias laut dan 240 jenis ikan hias tawar. Menurut perhitungan PKSPL-IPB (l998), bahwa nilai ekonomi dari sumberdaya perikanan (tangkap, budidaya, dan industri bioteknologi perairan) saja dapat menghasilkan sekitar USS 82 milyar/tahun.
Potensi laut lain yang belum tergarap dengan serius adalah keanekaragaman biologi yang sangat besar. Invertebrate laut, algae, dan bakteri laut ternyata mengandung zat biokimia yang berpotensi untuk kebutuhan medis, dan dijadikan obat obatan. Misalnya, neoroxitin dari kerang laut. Zat biokimia tersebut dapat dijadikan pembunuh rasa sakit. Zat tersebut terbukti lebih ampuh 10 ribu kali dari morfin dan tanpa efek samping.

Dalam catatan terakhir, 10.160 buah pulau telah disurvei dan diverifikasi. Potensi Kelautan Indonesia yang besar telah memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 2,6 miliar (2008). Jumlah tersebut lebih baik dari tahun 2007 yang hanya US $ 2,3 miliar saja. Potensi kelauatan dan perikanan Indonesia mencapai 70 persen dari wilayah NKRI secara keseluruhan.
Letak geografis yang strategis membuat keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Keunggulan letak Indonesia yang strategis mengakibatkan begitu besar arus frekuensi pelayaran yang melewati wilayah Indonesia. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75% barang2 yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45% (1300 triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang meliputi Selat Malaka sebagai jalur dengan frekuensi pelayaran tertinggi di dunia, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut Indonesia lainnya (Mulyadi S, 2005).

Bagai gayung bersambut, Hawaii adalah sebuah negara yang sukses dalam bidang perikanan, namun tetap ingin merintis kerjasama dengan Indonesia dalam hal pengelolaannya. Perkawinan teknologi bidang perikanan antara Hawaii dan Indonesia diharapkan mampu memberikan hasil yang lebih baik, sekaligus menggarap potensi kelautan Indonesia secara maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Berawal dari Perjuangan
Demi mencapai kedaulatan atas semua kekayaan diatas, bukanlah barang sekali jadi yang diberikan oleh siapapun sebagai barang hibah nan gratis namun menempuh perjalanan dan perjuangan yang tidak sedikit. Pada 13 Desember 1957 Perdana Menteri Ir Djuanda mendeklarasikan seluruh perairan antarpulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antarpulau, bukan pemisah. Keputusan ini mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri (2) bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3) penentuan batas lautan teritorial seperti yang termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl. 1939 No. 442 artikel 1 ayat 1 tidak lagi sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian terpisah dengan teritorial. Deklarasi dengan prinsip Negara Nusantara (Archipelagic State) ini meskipun mendapat tantangan dari beberapa negara besar namun melalui perjuangan yang panjang dan ulet, melewati dua rezim pemerintah dan tiga rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, akhirnya Indonesia mendapat pengakuan internasional di PBB. Pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) yang mengakui prinsip-prinsip negara kepulauan Nusantara (archipelagic principles), sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya diterima dan ditetapkan di dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982) bahwa Indonesia adalah negara Kepulauan Nusantara. Deklarasi Djuanda yang berisikan konsepsi Negara Nusantara yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km sama dengan ¾ dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Salah satu keputusan terpenting bagi Indonesia pada konferensi ini adalah pengakuan terhadap bentuk negara Kepulauan dengan pengaturan hak dan kewajibannya. Keputusan tersebut secara resmi diterima untuk ditandatangani 117 negara dalam sidang terakhir Konferensi Hukum Laut (HUKLA) III PBB di Montego Bay Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Kesepakatan Konvensi HUKLA 1982 memberikan penambahan luas wilayah perairan Indonesia secara signifikan. Bertolak dari deklarasi Djuanda 1957 dan UUD 1945 Bab IX A pasal 26, maka luas wilayah laut kita menjadi 5,8 juta km2.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 warisan pemerintah kolonial, luas perairan Indonesia diperkirakan sekitar 100.000 km2. Berdasarkan penetapan Konvensi HUKLA 1982, wilayah laut yang dapat dikelola Indonesia berkembang menjadi 5,8 juta km2 yang terdiri atas 3,1 juta km2 perairan nasional Indonesia (Laut Wilayah atau Laut Teritorial dan perairan kepulauan) dan 2,7 juta km2 perairan laut ZEE. Luas perairan dimungkinkan dapat berkembang lagi, apabila Indonesia pada batas waktu hingga 2009 dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut.

Pemerintah, pada tahun 2001 kemudian menetapkan hari Deklarasi Djuanda sebagai Hari Nusantara (Keppres 126 tahun 2001). Sebelum Deklarasi Djuanda, Republik Indonesia dengan wilayah negara mencakup peninggalan Hindia Belanda, belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Maka pada waktu itu, perairan antarpulau adalah wilayah internasional. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut.
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Dengan UNCLOS, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional seluas 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya. Jadilah Indonesia mewujudkan diri sebagai satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai Tanah Air.

Perhatian lebih konkrit tampak pada terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 10 November 1999 dibawah kepemimpinan KH. Abdurahman Wahid.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah mencanangkan Gerbang Mina Bahari, di Teluk Tomini, 11 Oktober 2003 lalu. Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan, ini diharapkan mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa untuk mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara cerdas, optimal dan lestari bagi kemajuan, kemakmuran dan kemandirian bangsa Indonesia. Apabila Gerbang Mina Bahari ini dapat diimplementasikan, maka pada tahun 2006 produksi perikanan akan mencapai 9,5 juta ton. Total nilai ekspor perikanan menjadi sebesar US$ 7. Devisa pariwisata bahari akan meningkat. Jasa perhubungan laut yang selama ini menghamburkan devisa US$ l0 milyar per tahun menjadi penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri. Serta tambahan lapangan kerja yang dapat tercipta diperkirakan sekitar 3 juta orang.
Dukungan terhadap perkembangan geliat kelautan dan perikanan di Indonesia juga ditunjukkan oleh dunia perbankan. Sejak Maret 2003, Bank Mandiri telah menyediakan kredit khusus untuk usaha perikanan sebesar Rp 3 trilyun untuk jangka waktu sampai Maret 2004. Bank Bukopin telah dan akan membangun kredit simpan-pinjam khusus untuk usaha perikanan, bernama Swamitra Mina di l60 kabupaten/kota pesisir. PT. PNM telah menandatangani kerjasama dengan 30 Bupati/Walikota di KBI dan KTI untuk mendirikan BPR Pesisir dan Nelayan.

Demi membantu pemerintah dalam hal pemberian rekomendasi untuk kepentingan kebujakan kelautan, pemerintah membentuk Dekin. Dekin (Dewan Kelautan Indonesia) yang dibentuk 21 September 2007 sebagai pengganti Dewan Maritim Indonesia (DMI) diharapkan akan mendorong supaya potensi yang ada di laut dapat menjadi penopang ekonomi nasional. Juga supaya Indonesia tidak terjepit, mengingat percaturan strategi politik global permainannya sudah di laut. Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Dewan Kelautan Indonesia mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan.
Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi:
a. pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden;
b. konsultasi dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan penyelesaian masalah di bidang kelautan;
c. pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi, dan pembangunan kelautan;
d. hal-hal lain atas permintaan Presiden.



Laut Indonesia Kini
Pengantar yang diulas diatas, tentunya menggambarkan kepada kita begitu besar potensi serta fasiltas yang kita punyai sebagai bangsa maritim. Namun saatnya untuk jujur, bahwa disadari atau tidak, kita belum kaya secara riil dari nilai kelautan. Sebagai pemilik, kita belum bisa mengoptimalkan seluruh sumber daya kelautan yang ada. Malah banyak “aset laut” kita yang malah dinikmati orang lain secara semena-semena. Fakta membuktikan bahwa kita terlalu sering “mendapat kunjungan” dari pihak asing.
Potensi kelautan Indonesia yang dijarah ternyata nilainya luar biasa. Kajian khusus pencurian ikan di wilayah Indonesia memang belum dilakukan. Tetapi kajian khusus pencurian ika di laut Arafuru pernah dilakukan. Hasil yang didapat sungguh mengejutkan, bahwa 1,2 juta ton ikan di laut Arafuru dijarah. Jika 1 kg ikan dihargakan US$ 1 per kg berarti nilainya lebih dari US$ 1,2 miliar pertahun.

Memang, pencurian ikan di wilayah Indonesia yang dilakukan nelayan asing masih belum dapat ditangkal. Nelayan Vietnam, Thailand, China, Myanmar, dan Malaysia kerap secara diam – diam dan terus terang masuk laut Indonesia. Tak heran setiap tahun ratusan kepal nelayan asing tertangkap.

Yang mengejutkan justru kajian ahli dari Thailand, Anucha Charoenpo (2003). Hasil kajiannya mengungkapkan bahwa setiap tahunnya lebih dari 3000 kapal trawl Thailand masuk secara illegal keperairan Indonesia. Khususnya perairan yang dimasuki adalah Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafuru. Para Nelayan Negeri Gajah Putih merampok ikan dari Indonesia nilainya mencapai US$ 1,2 miliar hingga US$ 2,4 miliar setahun.

Banyak potensi kita yang belum dikelola karena tidak ada perhatian dari para pengambil kebijakan, sebab kurang peduli terhadap laut. Wisata bahari kita sebagai daerah tropis banyak yang belum dikembangkan sebagai sumber ekonomi. Dengan total panjang garis pantai yang luar biasa, mengapa wisata bahari yang kita miliki masih cenderung stagnant dalam hal pengembangannya. Tidak ada perubahan yang benar-benar signifikan terhadap hal ini.

Laut kita yang sebenarnya indah ini, ternyata bagi sebagian orang merupakan ladang luas untuk pembuangan limbah dan sampah. Paradigma yang muncul yaitu laut sebagai tempat pembuangan sampah, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan berbagai jenis limbah. perairan Indonesia juga menjadi ladang subur bagi pembuangan limbah beracun industri tambang, minyak, dan gas. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir setiap tahun tumpahan minyak mentah (tarball).
Masalah ini ternyata belum selesai sampai disini. Berkat peningkatan rata-rata suhu bumi, membawa pengaruh perubahan iklim yang tidak bisa diremehkan. Data menyebutkan bahwa di tahun 2008, nelayan Indonesia hanya melaut sekitar 180 hari. Sebagian besar akibat dampak perubahan iklim, seperti gelombang tinggi, dan pencemaran di laut. Situasi ini membuktikan, semakin parah perubahan iklim yang terjadi, maka nelayan kita akan semakin sulit.

Secara bertahap, hutan bakau di Pulau Sulawesi dan Jawa telah dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari sekitar 4,2 juta ha tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9 juta ha dalam 3 tahun terakhir. Hutan mangrove di kawasan pantai utara Jawa Tengah sebagian besar atau 96,95 persen telah mengalami kerusakan, baik kerusakan sedang maupun berat. Berdasarkan tingkat kerusakan, kawasan mangrove yang rusak sedang seluas 31.237 hektare, rusak berat 61.194 hektare, sementara yang masih baik hanya 2.902 hektare, padahal, secara ekologi mangrove dapat menahan gelombang pasang dan secara kimia mangrove dapat menetralisir dan menyaring polutan-polutan berbahaya. penyebab kerusakan hutan mangrove antara lain adanya alih fungsi lahan untuk tambak intensif, permukiman, industri, pengembangan wisata, dan penebangan liar.
Kebutuhan yang semakin meningkat akan energi, makanan, produk-produk kelautan dan isu pencemaran laut, kerusakan daerah pesisir, berkurangnya biodiversity laut, fenomena El Nino dan kenaikan muka laut menuntut pengembangan ilmu kelautan yang bersifat holostik, interdisiplin dan keharusan melakukan kerjasama internasional.

Kerja berikutnya
Paradigma yang mesti dibangun di benak bangsa ini mestilah di rubah. Kebanggaan sebagai bangsa maritim harus benar-benar terinternalisasi dalam jiwa bangsa. Padahal pada kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya insentif di bidang kelautan dan perikanan (Sumber : Jakarta, Kompas, 8 juli 2003)
Sehingga dengan adanya perubahan mind-set yang ada, diharapkan ada perubahan perilaku tiap orang, apapun statusnya, menjadi lebih aware dan mencintai laut itu sendiri.
Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan unsur-unsur pembelajaran mengenai kelautan Indonesia dalam kurikulum di sekolah-sekolah sejak dini. Materi Pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa saat ini belum baik, sehingga anak Indonesia sendiri belum menyadari sejak dini pentingnya pelestarian dan pengembangan sumber daya kelautan. Kita hanya dikenalkan pada peta Indonesia yang luas, tanpa benar-benar dikenalkan pada luar biasanya potensi kelautan yang kita punya. Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah memusatkan perhatian kepada pendidikan dalam membangun perekonomiannya, dengan memandang sumber daya manusia sebagai objek investasi bangsa. Namun disadari pula bahwa pendidikan tidak dapat berperan tunggal dalam pembangunan tanpa adanya dukungan complementary inputs atau faktor - faktor komplementari lainnya (Henry M. Levin dan Carolyn Kelly, Economics of Education Review, 1994). Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, keadaan terkini menunjukkan bahwa Indonesia tidak berada dalam posisi menjadikan pendidikan sebagai sentral solusi perubahan status sumber daya laut dan terumbu karang, ataupun menjadikan pendidikan sebagai salah satu faktor komplementari dari upaya penyelamatan terumbu karang di Indonesia, bersejajar dengan upaya penegakan hukum, pengembangan riset ilmiah, dan aspek input komplementari lainnya.
Rencana Strategis Nasional (Renstra) departemen - departemen teknis yang berkaitan langsung dalam pendidikan kelautan, diantara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Perikanan dan Kelautan belum secara eksplisit dan jelas mendukung pendidikan kelautan sebagai investasi sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut termasuk terumbu karang di Indonesia. Padahal disadari betul potensi kelautan Indonesia yang sedemikian kaya, dengan luas terumbu karang sebesar 85.707 km2 yang merupakan 14% dari luas terumbu karang dunia(Tomascik dkk, 1997), namun dengan kondisi 37, 56% buruk dan hanya 6,69% dalam kondisi sangat baik (Suharsono, 2003)

SDM kelautan mengalami ironi dengan kurangnya perhatian bagi pendidikan di kawasan pesisir dan masih sangat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang berinteraksi langsung dengan sumber daya perikanan dan terumbu karang.

Belum ada kurikulum formal kelautan (SD hingga SMA) integratif di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan/atau sekolah, hanya pihak - pihak tertentu saja yang memulai inisiatif sporadis (LSM, sekolah berwawasan laut dan lingkungan, sekolah di wilayah pesisir, Kabupaten tertentu seperti Balikpapan). Belum banyak dikembangkan alternatif pendidikan kelautan bagi generasi muda putus sekolah. Yang sering terjadi adalah pemusatan SDM dalam satu bidang saja, sehingga meninggalkan aspek lain yang sebenarnya jugalah sangat penting.

Pendidikan yang diajarkan sekarang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan \menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.

Selain itu, belum adanya alokasi yang cukup bermakna dari Departemen Pendidikan, Lingkungan Hidup maupun Kelautan dan Perikanan yang mendukung pendidikan kelautan. Itulah yang kadang disebut sebagai tidak terintegrasinya kebijakan pendidikan kelautan di Indonesia.
Kebijakan pendidikan nasional belum dibuat dengan mengacu grand strategi yang tertuang dalam rencana strategi (renstra) nasional. Tidak heran kalau kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pusat dan daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri, sehingga belum bisa memunculkan sinergi (Sumber: GBHN 1999 - 2004).

Masalah pendidikan berdampak pada kurangnya supply staff ahli yang bisa benar-benar berkerja secara professional dalam mengembangkan potensi kelautan. Dr .Ir. Agustedi. MS, direktur Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberadaya Perairan, Pesisir dan, Kelautan Universitas Bung Hatta, mengatakan, Indonesia membutuhkan lebih 200 ribu orang lebih tenaga kerja ahli bidang eksplorasi dan pengolahan hasil laut. Permintaan akan kebutuhan tenaga kerja ahli kelautan tersebut, belum mampu dipenuhi oleh Perguruan Tinggi (PT), di Indonesia saat ini baru ada sekitar 12 Perguruan Tinggi baik swasta maupun PTN yang mempunyai program studi atau Fakultas Perikanan dan Kelautan yang menggelar pendidikan perikanan dan kelautan. Lulusan tenaga ahli kelautan atau sarjana dibidang kelautan dan perikanan dari 12 universitas itu baru sekitar seribu orang lebih pertahun dan itu pun tidak semuanya menerjuni bidang yang cukup menjanjikan ini. Kebanyakan lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan itu lebih berharap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga cukup banyak yang menggeluti profesi lain walaupun tidak sesuai dengan dasar ilmu keahliannya. Lulusan Perguruan Tinggi memang mengharapkan pekerjaan yang layak sesuai tingkat pendidikan dan bidang keahlian, tetapi cukup terbatas yang bisa bekerja dengan memanfaatkan keahlian menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Banyaknya lulusan PT Perikanan dan Kelautan yang lebih memilih profesi lain dari pada mengolah sumbar daya kelautan. Hal itu, berkaitan dengan pola pikir yang keliru tentang bidang kajian ilmu yang ditekuninya.Sebagai ilustrasi potensi kelautan cukup menjanjikan, salah satunya terlihat dari hasil kajian para ahli terumbu karang dunia, terumbu karang seluas 1 Km persegi mampu menghasilkan ikan sekitar 40 sampai 60 ton ikan atau setara dengan 120 ribu dolar Amerika Serikat. Potensi itu, belum termasuk kemungkinan pemasukan pariwisata bahari yang mencapai 50 sampai 80 ribu dolar AS dan kegiatan penelitian. Andaikan, tenaga ahli lulusan perguruan tinggi mampu mengelola terumbu karang dan lahan laut yang mencapai 2/3 dari luas Indonesia itu, tentu akan cukup berarti bagi kemakmuran bangsa.

Sebagai bangsa maritim, selaiknya jugalah nelayan mendapat perhatian yang lebih di mata pemerintah. Para nelayan yang meskipun core-job-nya adalah pencarian hasil laut, yang seharusnya dengan potensi laut seperti ini menjadi kaya, namun yang terjadi di lapangan malah sebaliknya. Nelayan Indonesia kini identik dengan kemiskinan. Tinggal di rumah-rumah kayu yang kecil di pinggir pantai, dengan penghasilan per harinya yang kadang tidak seberapa. Sungguh hal yang memiriskan hati memang.

Saatnya berani untuk mengakui, potensi laut yang sungguh luar biasa yang diberikan Tuhan kepada kita ternyata terlalu besar dan terlalu banyak bagi bangsa ini, bahkan saking banyaknya, negara dengan penduduk kurang lebih 230 juta jiwa ini, tidak mampu untuk benar-benar memanfaatkan sembari merawat laut kita yang sungguh indah ini.

Pemerintah sebagai satu-satunya subjek pengemban amanah dari kedaulatan bangsa ini, sudah saatnya menjadikan isu ini menjadi hal yang tidak lagi diremehkan. Pembangunan saatnya diarahkan dari Land-based Development menjadi Marine-based Development. Konferensi maupun perjanjian internasional terbukti tidak bisa dijadikan jaminan adanya kemajuan yang signifikan terhadap pengembangan kebijakan kelautan Indonesia. Dan yang harus dilakukan adalah memperbaiki kebijakan dalam hal pendidikan di bidang kelautan.

Sebagai Negara yang besar, ternyata kita tidak disibukkan dengan usaha-usaha eksplorasi positif terhadap laut kita, namun malah kita hanya berpusing untuk mengusir kapal-kapal ilegal yang mengambil ikan-ikan kita secara semena-mena. Bahkan sampai sekarang, urusan ambang batas laut masih menjadi polemik dengan negara tetangga. Jika Pemerintah memang serius mengurusi seluruh kedaulatan bangsa ini, dimanapun letaknya, maka tentu hal ini tidak akan terjadi karena setiap penduduk Negara yang sungguh-sungguh mencintai bangsanya sendiri ini akan merasakan betapa besarnya anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.

Perkembangan kelautan Indonesia memang sudah saatnya menjadi perhatian kita bersama dengan tidak hanya berbangga. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang kufur dengan tidak mensyukuri segala nikmat ini. Bila bangsa ini ingin benar-benar besar, maka siapapun kita, saatnya sayangi laut kita seperti menyayangi laut milik sendiri; tidak untuk apa-apa, tapi demi menyongsong totalitas kedaulatan kelautan bangsa Indonesia.

Departemen Kajian Strategis BEM FEUI 2009

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►