Rabu, 26 Agustus 2009

TINJAUAN RAPBN 2010 PADA SEGI PERTANIAN,DAN KETAHANAN PANGAN SERTA KETENAGAKERJAAN DEMI MEWUJUDKAN APBN PRO POOR





DEPARTEMEN KAJIAN STRATEGIS BEM FE UI 2009

Sangatlah luas bila kita ingin mengkaji secara komprehensif isi dapur apbn dan semua segi yang terdapat didalamnya. Namun bila kita berbicara mengenai keberpihakan pada rakyat miskin (apbn pro poor) maka parameter yang dapat digunakan adalah komitmen dan keberpihakan pada sektor pertanian dan pangan yang merefleksikan hampir 40juta penduduk negri ini yang banyak diantara mereka adalah penduduk miskin. Selain itu pertumbuhan lapangan kerja merupakan indikasi dari high quality of growth yang berarti penyebaran kemakmuran secara proporsional, ketimbang data-data makro yang mewakili segelintir penduduk. Berikut penjabaran mengenai ketahanan pangan dan ketersediaan lapangan kerja.

Ketahanan Pangan

Menurut FAO, ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Aspek pertama yaitu ketersediaan (availability) menekankan pada produksi pangan. Indikator aspek ini dilihat dari jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kepentingan semua rakyat, baik bersumber dari produksi domestik ataupun impor. Aspek kedua adalah keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga. Sedangkan keterjangkauan ekonomi berarti kemampuan memperoleh atau membeli pangan atau berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan. Ketiga, aspek stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam). Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai implementasi dua aspek ketahanan pangan menurut FAO (ketersediaan dan keterjangkauan) dan kaitannya dengan RAPBN 2010.

1. Ketersediaan

Saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,3 sampai 1,5 persen, sementara luas lahan pertanian tidak mengalami penambahan. Badan Ketahanan Pangan Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang. Penduduk sebanyak itu mengonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 21 tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu tambahan lahan padi 3,63 juta ha. Kurangnya luas lahan yang dibutuhkan menjadi faktor penentu ketersediaan beras. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi maka di kemudian hari Indonesia akan melaksanakan impor beras. Padahal, kisaran harga beras di pasar internasional saat ini 14% lebih murah dibandingkan harga dalam negeri, dan keikutsertaan Indonesia dalam WTO memaksa pengurangan pajak bea cukai, termasuk untuk produk pertanian. Harga beras impor yang murah karena tidak diimbangi dengan pajak impor akan memaksa produsen beras lokal untuk mengadakan persaingan taruf dan akibatnya akan menjadikan harga beras lokal menjadi murah. Dalam kondisi ini pihak yang dirugikan adalah petani sebagai produsen beras.

Sementara Indonesia menghadapai permasalahan lahan dalam meningkatkan produksi pangan yang dihadapkan pada meningkatnya jumlah penduduk, lahan-lahan pertanian di Indonesia justru banyak yang beralih fungsi. Berkembangnya pembangunan ekonomi di Indonesia telah mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan dari tahun ke tahun. Karena lahan merupakan sumberdaya yang terbatas, alih fungsi lahan--terutama dari pertanian ke non pertanian (pemukiman, industri, sarana umum, dan sebagainya)-- tidak dapat dihindari. Selama periode 1999 – 2001, lahan sawah beririgasi teknis mengalami penurunan sebesar 63.686 ha, tegal/kebun/ladang sebesar 231.973 ha, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 ha (BPS Propinsi Jawa Barat, 2001). Lebih jauh lagi, pemanfaatan sempadan sungai dan sumber air lain oleh masyarakat tidak sebagaimana fungsinya menunjukkan betapa lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka (scarce resource). Hasil penelitian JICA (1993) menunjukkan pula bahwa sampai tahun 2020 diperkirakan akan terjadi konversi lahan irigasi seluas 807.500 Ha. dengan perincian 680.000 Ha. di Jawa, 30.000 Ha. di Bali, 62.500 Ha. di Sumatera dan 35.000 Ha. di Sulawesi.[1]

Melihat hal tersebut ada hal yang seharusnya perlu diperhatikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan, memerlukan media atau wadah yang cukup luas yaitu berupa hamparan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman yang cukup tinggi. Persyaratan lahan yang dibutuhkan cukup tinggi karena harus memperhatikan struktur fisika dan kimiawi tanah yang disesuaikan dengan jenis tanaman. Maka, sudah sewajarnya apabila penggunaan lahan untuk keperluan pertanian ditempatkan pada prioritas pertama. Lahan bagi pertanian merupakan factor produksi yang utama dan tidak dapat digantikan. Memang kita dapat saja mengatakan bahwa teknologi, bibit unggul, dan unsure hara buatan dapat menjadikan tidak ada tanah yang marjinal untuk petani, namun pelru juga diingat bahwa penyesuaian terhadap lingkungan melalui teknologi akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.[2]

Pertanian yang bersifat land base agricultural memerlukan ketersediaan lahan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan kebijakan pangan nasional, menyangkut terjaminnya ketersediaan pangan (food availability), ketahanan pangan (food security), akses pangan (food accessibility), kualitas pangan (food quality) dan keamanan pangan (food safety).[3] Permasalahannya, dari tahun ke tahun, konversi atau alih fungsi lahan pertanian di Indonesia terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Selain itu, tekanan terhadap lahan juga berwujud bagi keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang, apalagi pembukaan areal baru sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus melaju. Selama ini telah terjadi ketidakseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan peranan ekonomi dan sosial yang sebenarnya dari sektor pertanian sebagai tumpuan dari sebagian besar penduduk Indonesia. Total luas daratan Indonesia adalah 190,9 Juta ha atau 24% dari seluruh wilayah RI. Pertanian rakyat (sawah dan pertanian lahan kering ) hanya mencakup 12,3% dari daratan. Bila ditambahkan sektor perkebunan yang sebagian mewakili perkebunan skala besar yang tidak banyak menyumbang pada perekonomian rakyat, maka total sumberdaya lahan yang tersedia bagi pertanian adalah 21% dari daratan Indonesia. Pada rentang waktu 30 tahun, dari 1997-2003 terdapat peningkatan ketimpangan pemilikan lahan yang besar. Kenyataan ini dapat dibaca dari presentase petani gurem serta peningkatan proporsi petani gurem disbanding dengan total petan pemilik lahan. Sensus pertanian pada tahun 1993-2003 memperlihatkan peningkatan jumlah petani gurem dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta Rumah Tangga Petani (RTP). Sedangkan pada kurun waktu 1983-2003 luasan kepemilikan lahan rata-rata turun dari 0,27 hektar menjadi 0.09 hektar. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan konsentrasi lahan di tangan elite desa. Bila pada tahun 1995 petani kaya mencakup 6% dari penduduk desa menguasai 38% lahan desa, maka pada tahun 1999 petani kaya mencakup 4% penduduk desa mengusai 33% tanah pertanian. [4]

Secara faktual, alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) tidak hanya berdampak pada penurunan kapasitas produksi pangan, tetapi juga merupakan wujud pemubadziran investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi atau budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usaha tani serta turun atau tidak beranjaknya kesejahteraan petani. [5]Kesejahteraan rumah tangga petani tanaman pangan yang relatif rendah dan cenderung menurun sangat menentukan posisi ketahanan pangan ke depan. Selama ini sumber daya lahan belum dimanfaatkan secara optimal, bahan pangan diproduksi pada lahan seluas sembilan juta hektar dan itu pun ditanami dengan komoditas hortikultura, perkebunan,dll. Perlu segera dicarikan jalan pemecahannya yang dikaitkan dengan masalah kepemilikan lahan sempit. Ketahahanan pangan harus didukung oleh perluasan areal tanam melalui[6] :

1. Pemanfaatan lahan tidur

2. Pembukaan lahan baru dengan delineasi yang akurat

3. Peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi

Dalam APBN 2009, Departemen Pertanian menargetkan tercapainya tingkat pertumbuhan di bidang pertanian sebesar 4,6 persen. Selain itu Departemen Pertanian juga menargetkan peningkatan produksi beras menjadi 40 juta ton. Target peningkatan produksi seharusnya diimbangi dengan perluasan lahan dan infrastruktur pertanian. Perluasan lahan dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan tidur dan reformasi agraria. Peningkatan infrastruktur pertanian dapat dilaksanakan dengan perluasan lahan sawah irigasi. Penjalanan program-program tersebut perlu dibarengi dengan anggaran yang mencukupi program-program tersebut. Hal ini lah yang menjadi kontradiksi dalam APBN 2009. Di satu sisi pemerintah menargetkan peningkatan produksi namun di sisi lain program reforma agrarian dan pembukaan lahan tidur tidak mendapat dukungan dana yang mencukupi.

Kesejahteraan Petani

Petani Indonesia belumlah semaju petani asing yang mendapatkan subsidi yang berlimpah dari pemerintahnya. Petani di Indonesia masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan harga pupuk yang murah. Mereka juga mendapatkan kendala untuk memperoleh benih berkualitas dengan harga yang relatif terjangkau. Itulah realita yang dihadapi para petani di Indonesia. Di saat petani diluar negeri menjadi sangat kaya karena subsidi yang begitu besar dari pemerintah, petani kita sebagian besar merupakan orang-orang yang mempengaruhi angka kemiskinan secara signifikan.

Secara statistik jumlah petani Indonesia lebih kurang sebesar 51% dari seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kesejahteraan petani merupakan kesejahteraan Indonesia. Pada saat ini dari 51% petani tersebut sebagian besar dari mereka belumlah sejahtera. Banyak diantara mereka yang berada dibawah garis kemiskinan dan kehidupan yang sangat memperihatinkan.

Penanggulangan hal ini hendaknya menjadi prioritas pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan bagi para petani. Ada beberapa program yang seharusnya dicanangkan oleh pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan, khususnya kemiskinan yang melanda para petani.

Program pro poor yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah orang miskin khususnya petani miskin seharusnya menjamin beberapa hal pokok: (1) kemudahan bagi para petani untuk memperoleh benih yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Hal ini penting mengingat semakin bagusnya benih yang dimiliki para petani, tentunya akan menghasilkan produksi tanaman yang lebih bagus lagi. (2) pupuk yang berkualitas dan harga yang terjangkau. Benih yang bagus apabila tidak disertai pupuk yang berkualitas, tentunya tidak akan menghasilkan hasil yang bagus.

Hal-hal tersebut akan bisa tercapai jika pemerintah pro aktif dalam menanggalangi masalah ini. Subdisi pangan merupakan jawaban pokok untuk menyelesaikan keterbatasan dan kesulitan para petani untuk memperoleh akses benih dan pangan yang berkualitas. Dengan adanya subsidi yang tepat sasaran dan menyeluruh tentunya akan mempermudah petani dan bisa menjadikan petani kita lebih sejahtera daripada sebelumnya.

Subsidi Pangan

Subsidi pangan merupakan cara yang paling tepat bagi pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan bagi para petani. Dengan adanya subsidi pangan petani akan mendapatkan aksesibilitas berhubung murahnya harga faktor produksi yang mereka dapatkan. Subsidi pangan lebih efektif dari lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM. Hal ini mengingat subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berada pada golongan menengah keatas. Sedangkan pemberian subsidi pangan tepat sasaran bila pemerintah ingin menanggulangi masalah kemiskinan. Namun ada ironi dalam pelaksanaan subsidi tersebut. Subsidi BBM yang hanya diperoleh masyarakat golongan menengah keatas mencapai Rp870 ribu per bulan, sedangkan subsidi pangan yang lebih difokuskan kepada masyarakat miskin hanya mencapai Rp 495.360 – Rp 568.320 per tahun. Sebuah anomali ketika pemerintah ingin mengurangi angka kemiskinan.

Kebijakan pangan sendiri dilakukan untuk menstabilkan harga pangan di pasar, baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan subsidi pangan sehingga dapat membantu masyarakat miskin, khususnya petani yang mengalami dampak perubahan harga pangan.

Subdisi pangan sendiri bisa dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) pengalihan dari subsidi BBM kepada subsidi pangan. (2) Pembebasan bea masuk tarif impor kedelai, jagung dan terigu. (3) menanggung PPN minyak goreng. (4) memberikan subsidi benih dan pupuk. (5) Terakhir pemusatan pada teknologi pangan.

Berdasarkan tabel dibawah, kita melihat bahwa pada setiap tahunnya dimulai dari tahun 2005-2008 ada peningkatan dalam pengucuran subsidi pangan. Bahkan pada tahun 2008 pemerintah meningkatkan subsidi pangan hingga mencapai 90%. Hal ini menunjukkan pemerintah telah mulai mengarahkan kebijakan mereka kepada peningkatan subsidi pangan dan pengalihan subsidi BBM kepada subsidi pangan. Pada tahun 2008 rencana terhadap subsidi pangan mencapai Rp12 triliun atau 0,3 persen terhadap PDB negara.

Subsidi Benih

Subsidi benih merupakan sebuah elemen penting bagi para petani agar bisa memperoleh kualitas benih yang bagus dan dengan harga yang terjangkau. Petani selalu menginginkan harga benih yang terjangkau karena bisa mengurangi biaya produksi mereka dan bisa membuat harga barang yang diproduksi menjadi lebih murah.

Kenapa subsidi benih belumlah begitu tinggi? Pemerintah sepertinya belum menganggarkan jumlah yang begitu besar bagi subsidi benih, hal ini terlihat dari proporsi subsidi benih yang masih sedikit. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut.

Subsidi benih telah mengalami peningkatan dari tahun 2005-2008, walaupun jumlah subsidi benih itu sendiri masih sangat kecil. Terakhir jumlah subsidi benih hanya sebesar Rp1 triliun. Angka tersebut mungkin sudah cukup bagi kondisi sekarang, namun ada baiknya agar angka tersebut ditambahkan lagi agar jumlah benih yang berkualitas akan semakin banyak dan terjangkau oleh para petani.

Hal ini sudah harus direalisasikan mulai tahun 2010 nanti, karena kondisi perekonomian global yang begitu memprihatinkan, kita harus meningkatkan produksi kita kepada komoditas pangan dan pertanian. Karena kedua hal ini tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor-faktor krisis yang terjadi pada saat ini. Sehingga rekomendari kami, subsidi untuk benih sebaiknya tahun depan mencapai angka Rp 2 triliun rupiah. Hal ini agar petani memperoleh benih yang berkualitas dalam jumlah yang jauh lebih banyak dan berkualitas bagus.

Subsidi Pupuk

Subsidi pupuk juga menjadi elemen yang begitu penting bagi produksi petani. Semakin bagus pupuk yang digunakan, maka hasil pertanian yang diperoleh akan semakin bagus. Masalahnya pupuk yang bagus tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah. Itulah sebabnya pemerintah harus memberikan subsidi kepada pupuk. Anggaran pupuk yang dianggarkan pemerintah untuk standar yang sekarang sudah berada pada tahap yang memuaskan. Sama halnya dengan anggaran subsidi benih yang meningkat 100 persen, anggaran pada subsidi pupuk juga meningkat lebih dari 100 persen. Tahun 2008 telah dianggarkan subsidi pupuk mencapai Rp15,2 triliun atau 0,3 persen dari PDB.

Kedepannya rekomendasi dari kami adalah peningkatan anggaran pada sektor ini. Hingga mencapai minimal 0,5 persen dari PDB tahun ini. Mengingat adanya krisis pada saat sekarang ini, ada baiknya pemerintah meningkatkan subsidi pada pupuk. Lebih baik pemerintah menggelontorkan anggaran tersebut kepada subsidi pupuk ini daripada membuang-buang uang kepada subsidi BBM.

Teknologi Pangan

Kenapa para petani kita masih miskin? Selain karena masalah kesulitan memperoleh benih dan pupuk yang murah dan berkualitas, para petani kita juga mempunyai masalah dalam hal pendidikan dan teknologi pangan serta pengetahuan akan teknik mengelola lahan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan para petani yang masih rendah, sehingga menyebabkan mereka tidak mengetahui trik atau cara bertani yang benar. Para petani lebih banyak bercocok tanam dengan menggunakan insting dan pengalaman mereka selama ini. Kurang memasukkan unsur pengetahuan alam dan teknologi didalam setiap kegiatan produksi yang mereka lakukan.

Pemerintah melalui APBN tahun 2010 mendatang seharusnya mulai memikirkan teknologi pangan yang lebih baik kepada para petani. Kita menginginkan para petani yang mengerti kondisi dan permasalahan yang mereka alami. Sehingga para petani tidak lagi bergantung kepada pemerintah dan menunggu bantuan pemerintah. Pengembangan teknologi pertanian menjadi hal yang sangat penting bagi para petani. Hal ini bisa kita bandingkan dengan para petani dari luar negeri yang mendapatkan pendidikan yang lebih layak.

Rekomendasi kita kedepan, pemerintah harus menganggarkan pengembangan teknologi pangan kedalam rencana pemerintah pada tahun 2010. Hal ini akan memberikan dampak yang bagus kepada para petani, sehingga mereka akan lebih mengerti bagaimana caranya mengatasi permasalahan yang akan mereka hadapi. Sekarang kalau petani kita masih menggunakan cara konservatif, yang melakukan kegiatan mereka berdasarkan pengalaman, maka kita akan jauh ketinggalan dari negara tetangga. Hal inilah yang harus diminimalisir pemerintah dengan membuatk rencana pengembangan teknologi pangan, khususnya bagi para petani.

Sektor Lapangan Kerja

Sebagai sebuah Negara berkembang ( developing country ) Indonesia dituntut untuk selalu menggalakkan pembangunan di segala lini, dengan tujuan utnuk mengejar ketertinggalan dari Negara- negara lain yang telah terlebih dahulu “tinggal landas” meninggalkan Indonesia ( sebut saja Negara maju seperti Jepang, Jerman dan Prancis ). Untuk memenuhi tuntutan pembangunan itu, selain Sumber Daya Alam sebagai faktor modal untuk membangun, dibutuhkan juga faktor Sumber Daya Manusia yang berkualitas sebagai motor penggerak pembangunan. Manusia yang berkualitas menjadi penting untuk mengisi pos- pos penting dalam suatu Negara, baik itu di sektor pemerintahan maupun sektor swasta, semuanya akan berjalan bersama menuju pembangunan bangsa yang sejahtera.

Untuk mendukung hal di atas, maka pemerintah menggalakkan dunia pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia bangsa yang berkualitas dan berkpribadian nasionalistik (nation character building). Setelah melalui tahapan ini, kemudian mereka akan di tempatkan di lapangan- lapangan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan jenjang pendidikan yang mereka tekuni. Di sisi Negara sebagai penyedia lapangan pekerjaan, ia membutuhkan sumber daya pekerja untuk melaksanakan program serta cita- cita pembangunan Di sisi lain para pencari kerja membutuhkan lapangan pekerjaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, artinya ada sebuah proses yang saling terkait di sini. Artinya selama Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mampu/dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi para pencari kerja tersebut maka semuanya tidak akan menjadi masalah. Baru akan timbul masalah saat keduanya tidak seimbang, yang paling lazim terjadi adalah julmlah lapangan kerja yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja, yang mengakibatkan pada akhirnya timbul pengangguran.

Masalah pengangguran ini bukanlah masalah yang sederhana, ini adalah masalah yang kompleks dari sebuah Negara. Melibatkan tidak hanya masalah jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita juga melibatkan arah penentuan kebijakan Negara. Karena seorang pengangguran berarti ia tidak dapat menghidupi dirinya sendiri akibat tidak mempunyai pekerjaan untuk memperoleh uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari, artinya ia menjadi “beban Negara”. Tidak jarang pengangguran yang kemudian menjadi gelandangan, pengemis, kriminil atau penyakit- penyakit masyarakat lainnya, mereka semua berangkat dari satu hal yang sama, masalah himpitan ekonomi akibat tiada pekerjaan yang layak. Lalu apakah kemudian yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini ? semuanya akan tergambar jelas dalam APBN yang setiap tahunnya di rancang, strategi apa yang akan digunakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengangguran ini. Di sini kita akan coba membahas, mengkritisi dan kemudian menganalisa hal tersebut. Tentunya berdasarkan fakta- fakta yang didapat, dicoba untuk membuat sebuah kajian yang seobyektif mungkin. Sehingga dapat menjadi sumber bacaan maupun referensi bagi kita semua dalam rangka mempelajari kebijakan pemerintah dalam hal ini.

PEMAPARAN DATA PEMERINTAH

Berdasarkan data di bawah ini diketahui bahwa angka pengangguran terbuka di Indonesia antara tahun 2004 sampai dengan 2008 berkisar antara 9,39 – 10,25 juta orang. Seperti yang dipaparkan di awal inilah yang kemudian menjadi masalah terbesar di ketenagakerjaan Indonesia. Dimana Pemerintah harus mencari cara bagaimana agar tingkat penganggur ini berkurang bahkan kalau bisa hilang sama sekali. Karena masalah pengangguran ini dapat menciptakan masalah- masalah baru bagi Indonesia.

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA TAHUN 2004 – 2008

JENIS KEGIATAN

2004

2005 (November)

2006 (Agustus)

2007

(Agustus)

2008 (Agustus)

PENDUDUK USIA KERJA

(org/jt)

153.92

158.49

160.81

164.12

166.64

ANGKATAN KERJA

(org/jt)

103.97

105.86

106.39

109.94

111.95

PENDUDUK YANG BEKERJA

(org/jt)

93.72

93.96

95.46

99.93

102.55

PENGANGGUR TERBUKA

(org/jt)

10.25

11.90

10.93

10.01

9.39

TINGKAT KESEMPATAN KERJA

(%)

90.14%

88.76%

89.72%

90.89%

91.60%

Sumber : Sakernas 2004 - 2008, BPS

Untuk dapat melihat rencana atau strategi Pemerintah dalam rangka untuk menanggulangi hal tersebut, maka kita dapat melihat di dalam Anggaran Penerimaan Belanja Negara ( APBN ) tiap tahunnya. Apakah kiranya kebijakan yang di ambil Pemerintah telah tepat dalam rangka menanggulangi hal tersebut. Apakah belum dapat kita kaji dan analisa melalui ini. Khusus untuk 2010, karena APBN masih dalam rancangan, maka kita dapat menggunakan salah satunya adalah MATRIKS PROGRAM PEMBANGUNAN TAHUN 2010 PRIORITAS BIDANG : PEMULIHAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG BERKUALITAS. Dalam Matriks ini kita dapat melihat mengenai kebijakan Pemerintah dalam bidang Ketenagakerjaan, dalam Bab VI yang terdiri dari dua focus, yaitu Fokus pertama mengenai peningkatan Produktivitas dan Kompetensi Tenaga Kerja dan Fokus kedua mengenai Perlindungan Pekerja Migran ( TKI ) dan Penguatan Kelembagaan. Serta kita juga dapat melihat dalam Bab V mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah yang terdiri dari dua focus juga yaitu focus pertama mengenai Peningkatan Kapasitas Usaha Skala Mikro dan Kecil melalui Penguatan Kelembagaan dan focus kedua mengenai Peningkatan produktivitas dan Akses UKM kepada Sumberdaya Produktif. Dari sini kita kemudian dapat melihat arah kebijakan Pemerintah untuk tahun 2010.

Selain itu kita juga melihat kebijakan Pemerintah dalam hal pendidikan, karena salah satu factor penyebaba pengangguran di Indonesia adalah banyaknya lulusan sekolah Tinggi maupun Universitas yang tidak terserap oleh dunia kerja. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, pertama karena memang jurusan yang mengeluarkan sudah terlalu jebuh dengan lulusan tersebut atau juga karena criteria lulusan tidak sesuai dengan syarat- syarat yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Khusus untuk alasan yang kedua ini Universitas maupun SMA biasa dinilai hanya mengajarkan hal- hal yang bersifat teoritis tanpa adanya sebuah pemahaman mengenai ahal- hal apa saja yang diperlukan dalam dunia kerja, hal ini menjadikan para lulusan hanya menjadi penghapal ilmu tanpa bias memahami dan mengaplikasikannya ke dunia nyata. Inipun dapat kita kaji mengenai kebijakan pemerintah.

Memang seharusnya kita mengenalisa secara comprehensive secara total dari rencana kerja pemerintah, namun karena baik data maupun terdapat berbagai macam keterbatasan, maka akan coba dilihat mengenai sub-fokus yang bias menjadi bahan analisa dari tiap- tiap Bab yang tadi telah di sebutkan.

Dalam Bab VI mengenai Ketenagakerjaan, bias kita lihat program- program yang sudah direncanakan oleh pemerintah yang terdiri dari berbagai macam hal, seperti pelatihan/diklat, percepatan sertifikasi, penyelesaian sengketa dan lain- lain. Dari sekian banyak itu, kita dapat melihat perbandingan masing- masing, baik dari segi dana maupun tujuan dilaksanakannya program tersebut, apakah telah sesuai atau belum, lalu apakah memang telah seimbang.

Ambil saja program No. 13 mengenai Fasilitas Pendukung Pasar Kerja, Melalui Penguatan Kelembagaan, Peningkatan Informasi, penyelenggaraan Bursa Kerja, yang bertujuan untuk menyediakan informasi pasar kerja on-line yang akurat, terintegrasi dan mutakhir di 2 provinsi dan 228 kabupaten/kota. Dana yang disiapkan untuk Program ini adalah Rp. 100 milyar, bandingkan dengan Program Pembinaan Pengupahan dan Jaminan Sosial yang bertujuan untuk mewujudkan pembinaan pengupahan dan jaminan social tenaga kerja hanya didanai sebesar Rp.7,7 Miliar. Mengenai Program pertama, kritikannya adalah berdasarkan data Sakernas, pengangguran terbuka jumlahnya sekitar 10 juta orang, artinya yang jadi masalah sebenarnya bukanlah akses masyarakat terhadap lowongan pekerjaan, tetapi lebih kepada minimnya lapangan kerja di Indonesia. Jadi seperti salah target pengalokasian dana sebesar Rp.100 Miliar tersebut. Selain itu, cakupannya hanya 2 provinsi, padahal jelas itu tidak bias mewakili Indonesia secara keseluruhan. Artinya Program ini syarat dengan ketidakjelasan, dananya besar namun manfaatnya dirasa kurang akan membawa dampak yang besar bagi pengurangan masalah pengangguran di Indonesia. Lalu program berikutnya, Untuk masalah jaminan Sosial Tenga kerja hanya disediakan dana sebesar Rp. 7,7 miliar, artinya hanya kurang dari sepersepuluh dari dana program sebelumnya. Padahal kita ketahui masalah Jaminan Sosial ini penting adanya bagi para pekerja sebagai jaminan mereka dalam bekerja. Sebagai hak asasi, Jaminan Sosial di atur secara mendalam di dalam Konvensi- Konvensi Internasional seperti Social Security (Minimum Standards) Conventions, 1952 (No.102).

Mengkaji Ulang Permasalahan Ketenagakerjaan

Tenaga kerja, pengangguran dan lapangan kerja merupakan tiga diksi sakral yang saling berhubungan dan menjadi salah satu masalah pelik yang diderita Indonesia. Dalam menjalankan roda perekonomian manusia/tenaga kerja merupakan input produksi yang sangat penting, Indonesia dianugerahi tuhan 105 juta angkatan kerja, jumlah ini sangat fantastis bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Persoalan yang timbul jika potensi tenaga kerja tidak terakomodir oleh negara dan justru menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dengan 105 juta angkatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja baru 2,5 juta orang per tahunnya. Masalah ini semakin kompleks, program-program pemerintah sejauh ini belum mampu meng”overlap” pertumbuhan penduduk. Sinergisitas pembangunan di berbagai lini yang berbuah pertumbuhan ekonomi juga belum mampu menghadirkan “trickle down effect” yang signifikan terhadap pertumnbuhan lapangan kerja. Asumsi pertumbuhan ekonomi 1persen yang akan meningkatkan lapangan kerja sebanyak 300ribu tidak dapat dijadikan acuan lagi. Anomali nya terlalu besar, arus modal yang meepresentasikan growth tak kunjung menambah jumlah lap.kereja . Realisasi investasi baru sektor riil masih seperti setetes air di gurun pasir jika dibandingkan gemerlapnya nilai perdagangan saham di pasar modal.

Bila mencoba untuk objektif, pemerintah sebenarnya tidak berpangku tangan menghadapi masalah ini, banyak program-program yang dilancarkan pemerintah demi meredam angka pengangguran. Sebut saja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program yang menelan anggaran Rp 51 triliun itu menjangkau sekitar 33 provinsi, 2.891 kecamatan, dan 33.527 desa/kelurahan atau 31,92 juta orang miskin di Indonesia. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). ini diperkirakan mampu menciptakan lapangan kerja bagi 12,5 juta orang sampai 14,4 juta orang per tahun. Tentu saja masih banyak program lain yang digelindingkan pemerintah, seperti menggalakkan program keluarga harapan di enam provinsi, mengoptimalisasikan pemanfaatan pohon aren untuk gula aren kristal di 10 provinsi, mengintensifkan gerakan nasional zakat untuk membantu orang miskin, serta mencanangkan gerakan nasional pengembangan sejuta rumah. Itu belum termasuk program peningkatan pengembangan usaha mikro dan bahan bakar nabati (biofuel), serta pendanaan penanggulangan kemiskinan (poverty trust fund). Pemerintah juga gencar membuka peluang kerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Jumlah TKI kini mencapai empat juta orang dengan kontribusi remiten (pengiriman uang) ke Indonesia sebesar Rp 25 triliun. Besarnya perhatian pemerintah terhadap TKI dimungkinkan karena sektor tersebut bisa dijadikan alternatif di tengah sempitnya lapangan kerja di dalam negeri.

Selain itu terobosan pemerintah lainya adalah Depnakertrans dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menyepakati perubahan sistem pendidikan nasional dari semula bersifat output oriented menjadi job oriented. Jika sebelumnya perbandingan sekolah umum dengan kejuruan sangat jauh (sekitar 70:30), kelak proporsinya diubah menjadi 60:40 atau 30:70. Sasarannya tiada lain agar lulusan sekolah menengah bisa langsung bekerja atau siap membuka lapangan kerja. Besarnya komposisi lembaga pendidikan kejuruan akan menciptakan link and match dunia pendidikan dan lulusannya dengan kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha. Komposisi seperti ini telah banyak diterapkan negara-negara lain di Asia maupun di Eropa, dan terbukti mampu menekan laju pengangguran

Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah sesungguhnya sudah menunjukkan hasil kendati belum begitu memuaskan. Dalam setahun terakhir, misalnya, terjadi penurunan angka pengangguran hampir satu juta orang, dari 11 juta orang menjadi 10 juta orang. Hanya saja, penurunan angka pengangguran itu "tersalip" laju pertumbuhan angkatan kerja baru yang mencapai 1,5 juta orang. Belum lagi bila berbicara masalah penyebaran mengutip buku kwik kian gie yang berjudul indonesia menggugat, kwik meyebutkan bahwa data tahun 2003 (kwik yakin kondisi sekarang tidak banyak brubah dari data 2003) menunjukkan bahwa jumlah perusahaan 40.199 juta, yang berskala besar 2.020 perusahaan atau 0.01%. Yang tergolong UKM sebanyak 40.197 juta perusahaan atau 99.99%. Andil UKM yang 99.99% dari seluruh perusahaan dalam pembentukan PDB hanya 56,7% sedangkan usaha berskala besar dan raksasa yang hanya 0.01% andilnya sebesar 43,3%. Andil UKM dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 99,74%, alangkah tidak adilnya, karena sekian banyak orang hanya terlibat dalam UKM uang tenntunya pendapatanya juga minimal. Hal ini menunjukkan penyerapan tenaga kerja Indonesia amat sangat bergantung pada sektor informal, Perdagangan dan pertanian adalah dua sektor yang paling luas menyedot tenaga kerja informal, untuk itu dibutuhkannya Investasi pada sektor riil yang cukup besar untuk melakukan perluasan lapangan kerja. Polemik padat karya dan padat modal pn sebenarnya sudah sedarii dulu didengung-dengungkan namun sektor riil yang merefleksikan padat karya jarang menjadi prioritas karena mindset pembangunan yang lebih kearah growth(Pertumbuhan) ketimbang welfare(Kesejahteraan). Selain itu penyerapan tenaga kerja yang paling berkualitas antara lain dilakukan sektor manufaktur. Namun, industri manufaktur di tahun 2007 lebih banyak bertumbuh di sektor yang padat modal dan teknologi. Sebaliknya, industri padat karya stagnan, bahkan meredup. Pelbagai program pemerintah mungkin untuk saat ini belum optimal dan belum menampakkan hasil, namun prioritas terhadap pemerataaan dan perluasan tenaga kerja merupakan hal yan mutlak dilakukan bangsa ini mengingat jumlah penduduk yang sangat besar beserta potensi alam yang amat berlimpah.




0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►