Minggu, 13 Januari 2013


Kedaulatan di Ujung Tanduk, Diperlukan Renegosiasi Kontrak Migas

Berbagai kalangan cendekia silih berganti membicarakan tentang Kedaulatan Republik Indonesia di bidang energi dan migas yang makin dipertanyakan eksistensinya. Hal yang paling mereka soroti adalah tentang pengelolaan migas di Indonesia yang terlampau banyak dikuasai kontraktor asing, sehingga kekuasaan negara atas migas pun diragukan.

Bagaimana tidak? Proporsi pengelolaan Migas di Indonesia sebagian besar lebih dikuasai kontraktor asing seperti Chevron, Exxon daripada Pertamina. Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi mengingat industri migas adalah industri yang padat teknologi, padat modal, dan sangat beresiko dan Indonesia belum sepenuhnya memiliki kapabilitas dalam mengelola industri yang seperti itu. Dari kerjasama itulah, kita mengharapkan adanya alih teknologi sehingga ke depannya, kita mampu mengelola sumber daya minyak dan gas yang kita miliki secara mandiri. Namun, yang kita lihat sekarang malah justru Indonesia semakin lama semakin kehilangan kendali atas pengelolaan migas. Padahal, penerimaan negara yang berasal dari migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah, maka, sektor ini haruslah mendapatkan perhatian lebih. Jangan sampai ada kesalahan pengelolaan yang justru menyebabkan kerugian besar pada negara.

Saat ini, Indonesia menerapkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) sebagai perjanjian dalam pengelolaan migas, di mana persentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). namun, perolehan tersebut harus terlebih dahulu dikurangi dengan biaya-biaya produksi dan segala macam cost recovery sehingga pada akhirnya, pemerintah hanya memperoleh porsi 51% sedangkan kontraktor mendapatkan 49%. Hal ini tentunya semakin merugikan Indonesia karena hasil perolehan minyak yang sebesar 49% lari ke kantong asing. Akan lebih menguntungkan tentunya apabila pengelolaan minyak ini diserahkan kepada kontraktor dalam negeri atau negara. Bagaimana menyikapinya?

Sebagian kalangan menyarankan untuk mencabut kontrak yang telah disepakati dengan para kontraktor asing tersebut agar pengelolaan migas sepenuhnya dikuasai oleh negara. Namun, mungkinkah kita melakukan itu? kemungkinannya sangat kecil. Pertama, karena kita menyadari bahwa di satu sisi kita masih membutuhkan modal dan teknologi mereka guna mengelola ekstraksi migas. Yang kedua, kita tidak bisa membatalkan kontrak yang sudah disepakati begitu saja karena hal ini menyangkut komitmen negara dan mempengaruhi kepercayaan negara lain terhadap Indonesia.

Meskipun demikian, masih ada hal bisa kita lakukan dalam menyikapi kontrak yang sudah terlanjur disepakati itu, salah satunya adalah dengan cara renegosiasi kontrak di mana kita mempunyai peluang untuk melakukan negosiasi ulang dengan para kontraktor mengenai perihal harga, jangka waktu, proporsi bagi hasil, dan lain-lain. Kita bisa melakukan negosiasi agar jangka waktu kontrak diperpendek, atau proporsi bagi hasil pemerintah dibuat lebih besar agar kontrak kerjasama ini lebih menguntungkan Indonesia.

Satu lagi hikmah yang dapat kita petik di sini adalah bahwa kita harus bisa belajar dari masa lalu, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama dengan cara menggadaikan sumber daya minyak dan gas kita kapada kontraktor asing secara sembarangan sehingga membuat kita merugi dan kehilangan kendali terhadap pengelolaan minyak dan gas di negeri sendiri. Dibutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan control Indonesia terhadap sumber daya nya sendiri, termasuk untuk bisa mengelola kekayaannya tanpa terlalu mengandalkan kekuatan asing. Untuk bisa mandiri dan berdaulat, kita perlu waktu dan usaha. (NW)

Nurul Wakhidah


Renegosiasi Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas

Renegosiasi kontrak pertambangan minyak dan gas dinilai masih jalan di tempat. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, pemerintah hanya fokus pada pelarangan ekspor bahan tambang mentah oleh perusahaan kecil saja, sedangkan untuk renegosiasi kontrak minyak dan gas tidak pernah disentuh. Pemerintah tak kunjung menyelesaikan renegosiasi kontrak minyak dan gas dengan sejumlah perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Padahal pemerintah bekerja serius dalam program kerja renegosiasi kontrak minyak dan gas dengan membentuk tim renegosiasi kontrak yang dilindungi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012. Timnya diberi nama Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang dibentuk pada Januari 2012.

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, bertindak sebagai ketua tim renegosiasi kontrak karya perusahaan pertambangan beserta Menteri ESDM Jero Wacik sebagai ketua harian merangkap anggota. Sedangkan Anggota tim terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kehutanan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kepala BPKP, dan Kepala BKPM.

Namun pemerintah memang belum menyampaikan perkembangan renegosiasi kepada publik. Hal ini disebabkan belum dicapai kesepakatan final dan penandatanganan poin renegosiasi antara kedua belah pihak dalam pembicaraan renegosiasi. Prinsip yang dijaga pemerintah dalam proses renegosiasi adalah menjaga kerahasiaan poin-poin kontrak renegosiasi masing-masing perusahaan yang diharapkan dapat memuluskan proses renegosiasi.

Tujuan dari renegosiasi kontrak minyak dan gas atau kontrak karya adalah untuk mengubah kebijakan agar hasil sumber daya alam tersebut dapat diolah di dalam negeri sehingga industri hilir dapat berkembang, yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat.

Enam isu krusial yang akan direnegosiasikan pemerintah kepada perusahaan tambang baik batubara maupun mineral adalah luas wilah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara/royalti, kewajiban pengelolaan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambang dari dalam negeri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tharmin Sihite dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada Senin, 19 Maret 2012 lalu mengatakan terdapat 37 kontrak karya (KK) yang harus direnegosiaskan sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Dari 37 KK tersebut baru lima KK yang sudah selesai dinegosiasikan.

Perkembangan akhir 2011, untuk kontrak karya, secara prinsip sembilan kontrak karya yang telah setuju seluruhnya, 23 kontrak minyak dan gas menyetujui sebagian poin renegosiasi, dan lima kontrak karya belum menyetujui seluruhnya. Perkembangan Mei 2012, 60 PKP2B telah menyetujui seluruh poin-poin renegosiasi, dan 14 PKP2B setuju sebagian. Kondisi tersebut jauh lebih baik ketimbang perkembangan pada Desember 2010 lalu, dengan hanya empat kontrak minyak dan gas yang menyetujui seluruh poin renegosiasi. (NFCM)

Nadia Firstzky Cipta Mardieta

Renegosiasi Kontrak Sebagai Solusi atas Kedaulatan Migas

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang banyak. Hal ini dapat kita lihat dari besarnya potensi sumber daya alam kita seperti minyak bumi, timah, panas bumi, kayu, dan lain-lain. Seharusnya negara yang memiliki kekayaan alam seperti negara Indonesia mampu untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun faktanya sampai saat ini negara kita masih jauh dari kata sejahtera. Masih banyak rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan membuktikan bahwa kekayaan alam yang ada tidak mampu dinikmati oleh rakyat. Rakyat seakan menjadi konsumen atas barang yang mereka miliki sendiri. Mereka harus membayar dengan harga yang semakin hari semakin tinggi untuk sekedar mendapatkan 1 liter minyak. Padahal negara kita yang kaya akan sumber daya alam khususnya minyak bumi seharusnya dapat menyediakan pasokan yang besar sehingga minyak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan memang menjadi sebuah kewajiban bagi negara untuk mengelola kekayaan alamnya semaksimal mungkin untuk kemakmuran masyarakat. Yang menjadi pokok permasalahan saat ini adalah negara tidak mampu mengelola sumber daya alam yang dimiliki dan seakan telah kehilangan kontrol atas sumber daya minyak bumi dan gas. Semua sumber daya itu kini justru dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan asing yang sebetulnya profit oriented dan tidak memprioritaskan pada kemakmuran masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari sejumlah perusahaan asing yang ada di Indonesia yang bebas mengeksploitasi sumber minyak bumi dan gas seperti Chevron, Total, Exxon, CNOOC, Conoco-philips, Petro China, dan lain-lain. Dan semua perusahaan tersebut sudah beroperasi sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Hal ini menjadikan harga minyak dan gas semakin hari semakin tinggi yang membebani masyarakat. Negara kita telah kehilangan Hak Milik Negara (HMN) atas minyak bumi dan gas sehingga pasokan dan penerimaan dari minyak dan gas semakin sedikit. Akibatnya negara kita justru mengimpor minyak dan gas dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas dalam negeri. Selain itu isu pencabutan subsidi BBM semakin membuktikan bahwa negara ini tidaklah pro rakyat melainkan pro asing dan melanggar konstitusi. Jika negara ini pro rakyat semestinya negara berani mengelola sumber daya alam tanpa ada intervensi asing semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Meskipun pemerintah sudah berusaha untuk mengelola sumber daya alamnya secara mandiri namun itu belumlah cukup, selain itu masih besarnya tekanan dan pengaruh dari asing menyebabkan negara ini semakin lemah. Melihat kontrak perusahaan-perusahaan asing tersebut akan habis dalam 6 tahun kedepan maka solusi terbaik untuk mendapatkan ketahanan dan kedaulatan atas sumber daya minyak bumi kita adalah dengan cara renegosiasi kontrak. Negara mampu mengambil alih kepemilikan asing atas pengelolaan minyak bumi ataupun nasionalisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela dan Argentina. Argentina sukses melakukan nasionalisasi atas perusahaan minyak YPF yang sebelumnya dikuasai oleh Repsol milik Spanyol. Meskipun awalnya negara tersebut mendapatkan kecaman dari pihak barat seperti dari Uni Eropa, IMF, dan Bank Dunia namun semua itu hanyalah bersifat sementara. Dan semua itu sudah dibuktikan oleh negara-negara tersebut yang saat ini mampu mengelola sumber daya alamnya secara mandiri. Negara kita sebetulnya mampu mengimplementasikan langkah nasionalisasi ini mengingat kasus yang terjadi tidaklah berbeda antara Indonesia dengan Argentina. Ketakutan akan larinya investor asing sebagai dampak dari nasionalisasi tidaklah sepenuhnya terbukti, karena pada akhirnya investor-investor tersebut masih akan terus berdatangan dan bahkan mereka ingin melakukan renegosiasi. Untuk melakukan nasionalisasi dibutuhkan kerjasama pemerintah, rakyat, parlemen, serta undang-undang. Selain itu kita juga harus menghilangkan kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok yang hanya akan merugikan bangsa. Solusi selanjutnya adalah melakukan renegosiasi kontrak seperti pemutusan kontrak jika kontraknya telah habis, merenegosiasi lamanya kontrak supaya lebih dipersingkat waktunya, merenegosiasi kepemilikan perusahaan supaya negara tidak lepas kendali atas perusahaan tersebut, dan berbagai bentuk renegosiasi lainnya. Meskipun saat ini pemerintah telah berusaha untuk melakukan renegosiasi namun hal itu masih dirasa sangat lamban dan kurang tegas serta tidak transparan sehingga masyarakat tidak mengetahui kemajuan renegosiasi kontrak dengan perusahaan asing. Jika pemerintah memang berniat untuk menjaga ketahanan sumber daya minyak dan gas maka pemerintah harus serius melakukan renegosiasi dan tidak boleh takut dengantekanan dan kecaman pihak barat seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara di Amerika Latin. (FDA)

Fikri Dzikrian A.

RENEGOSIASI KONTRAK MIGAS, PERLUKAH?
Bukan rahasia umum lagi bila kedaulatan akan migas di Indonesia telah didominasi oleh pihak asing. Lihat saja persentase perusahaan-perusahaan raksasa pengebor minyak yang ada di negeri ini, 74% perusahaan berlabel asing, 22% perusahaan nasional, dan sisanya digunakan oleh konsorsium asing dan lokal. Dengan komposisi seperti ini, apakah kekayaan alam, terutama migas sebagai sumber energi utama negeri ini, berhasil digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya?

Dominasi perusahaan asing atas pengelolaan minyak tidak terlepas dari peran UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, dimana liberalisasi akan sektor tersebut sangat terlihat di beberapa pasalnya, contoh pasal 28 ayat (2) dan pasal 12 ayat (3). Kekuatan liberisasi yang kental di UU ini ditengarai merupakan implementasi dari Letter of Intent (LoI) dengan IMF (International Monetary Fund) pada tahun 1998 dan pemberian utang dari Amerika Serikat melalui USAID bekerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) dan World Bank. Adanya campur tangan pihak-pihak tersebut dalam memberikan bantuan, ternyata juga berefek pada campur tangan lain dalam pembuatan draft UU Migas. Hasil dari campur tangan tersebut dapat dilihat dari isi UU tersebut yang cenderung menekankan pada liberalisasi migas.

Adanya liberalisasi tersebut secara perlahan-lahan menghilangkan Hak Menguasai Negara (HMN) atas tambang migas. HMN diperlukan untuk memastikan penggunaan migas benar-benar ditujukan sebesar-besarnya pada negara. Untuk mengembalikan kembali HMN, pemerintah mulai mengadakan renegosiasi dengan para kontraktor, baik pihak nasional ataupun asing.

Renegosiasi pemerintah yang baru saja dilakukan ditujukan khusus pada sektor gas. Perlu diketahui, harga gas alam cair (LNG) yang dijual secara domestik di Indonesia hanya sekitar 3,5 dollar Amerika per juta British thermal unit (mmbtu), jauh dibawah tingkat harga pasar gas yang mencapai lebih dari 15 dollar Amerika per mmbtu. Renegosiasi yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan harga jual beli. Hasilnya, kesepakatah harga jual beli pun dicapai dengan lima kontraktor kontrak kerja sama melalui kenaikan yang cukup signifikan mencapai 5 – 6 dollar Amerika per mmbtu untuk penjualan ke PGN, PLN, dan Malaysia.

Untuk sektor minyak secara khusus, belum ada renegosiasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kontraktor-kontraktor kontrak kerjasama. Padahal, renegosiasi terhadap minyak sendiri merupakan suatu upaya sangat penting mengingat minyak menjadi sumber energi yang lebih krusial penggunaannnya di Indonesia daripada gas. Liberalisasi migas melalui UU Migas membuat pihak asing lebih berkuasa atas kekayaan minyak yang dimiliki negara ini. Dominasi tersebut kemudian akan memicu pada kelangkaan minyak untuk kebutuhan nasional, apalagi setelah hak monopoli Pertamina sebagai pemenuh kebutuhan minyak nasional dicabut. Kelangkaan ini pun dapat menular pada pencabutan subsidi BBM yang mana merupakan bantuan supply energi dari negara untuk kalangan-kalangan menengah ke bawah. Selama pemerintah belum dapat menciptakan energi terbarukan dan melakukan pencabutan subsidi BBM secara bersamaan, maka dapat dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat, terutama pada kalangan menengah ke bawah, akan menurun. Maka dari itu, segera diperlukan peran pemerintah untuk melakukan renegosiasi terhadap para kontraktor kontrak kerja sama demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat sebagai pemilik mutlak kekayaan alam tersebut. (LPS)

Luluk Permata Sari



Kontrak Migas dan Kompleksitasnya

Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah industri migas dikatakan industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan. Oleh karena itu 72 blok wilayah nya dikontrakkan dan bekerja sama dengan pihak asing maupun lokal untuk investasi dan menambah total penerimaan pemerintah.

Metode pengelolaan migas di Indonesia adalah menggunakan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dimana hasil produksi akan dibagi dalam prosentase yang telah disepakati pada kontrak. Namun mengejutkan ketika kontrak-kontrak tersebut masih lebih menguntungkan pihak tertentu tapi masih juga terus diperpanjang, tanpa perbaikan untuk lebih menguntungkan negara. Tentu menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah kalangan. Sampai kapankah Indonesia kehilangan kedaulatan.

Untuk diketahui bersama bahwa bagi hasil biasanya sekitar 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas. Dalam hal ini, masih besar untuk negara yaitu sebesar 85 dan 70, namun ternyata negara masih harus membayar cost recovery dari produksi tersebut. Atau lebih simpel dikatakan prosentase tersebut dalam gross. Pada tahun ini misalnya baru 50 persen produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri, sementara 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Diusahakan kedepannya 35 persen tersebut dapat diambil untuk diolah lagi menjadi BBM dan dapat memenuhi kebutuhan domestik. Perlu ada optimisme dan support dari berbagai pihak, bahwa suatu saat Indonesia mampu mengolah sendiri hasil buminya.

Angin segar bagi orang-orang yang merindukan kedaulatan negara di negaranya sendiri dengan potensi alam yang dimilikinya. Dalam waktu dekat, 29 blok akan habis masa kontraknya. Dan pada tahun 2017 akan ada 4 blok yang akan habis. 4 blok yang akan habis masa kontraknya dijanjikan oleh ESDM agar ketika perpanjangan kontrak migas lebih menguntungkan Indonesia. Tidak hanya kepada asing, namun juga perusahaan dalam negeri. Tentunya perlu bagi ESDM untuk membuat regulasi secepatnya bagi wilayah blok migas ketentuan dan aturan main, agar kedepannya lebih terjamin.

Regulasi juga harus berkaitan dengan CSR, karena diberitakan BP Migas kurang dalam hal CSR karena BP Migas tidak diperkenankan memberikan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk natura jadi seringkali tidak terlihat jumlah nominalnya. Hal ini tentu membuat rumit, dan terkesan tidak transparan. Perlu ada kejelasan dari ESDM maupun BPMIGAS untuk segera membuat rancangan undang-undang sebagai jalan tengah banyaknya investor migas di Indonesia.

Sekali lagi, kontrak-kontrak baru ataupun perpanjangan tersebut masih berdasar pada income yang akan didapatkan perusahaan. Contohnya saja perusahaan Elnusa target pendapatan tahun ini adalah Rp5,6 triliun (US$599 juta) naik dari Rp4,71 triliun pada 2011 seiring dengan bertambahnya kontrak baru yang diperkirakan mencapai Rp2,8 triliun (US$321 juta). Meskipun tentunya setiap perusahaan Migas memiliki CSR namun perlu diperhitungkan pula bagaimana keadaan serta kondisi potens minyak dan gas di Indonesia.

Hal lain yang perlu ditilik dari perpanjangan kontrak ini adalah ribetnya birokrasi dan luasnya blok wilayah migas yang dikontrakkan. 72 blok wilayah yang dikontrakkan tentu bukan jumlah yang sedikit. Perlu ada bantuan dari daerah ataupun provinsi untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan guna memperpanjang kontrak migas tersebut. Tiap daerah seyogyanya mau membantu pusat dengan berinisiatif menyerahkan dokumen kontrak migas di daerahnya. Hal ini untuk arsip dan kelengkapan karena kita tahu mengumpulkan dokumen pada 72 blok bukan hal yang mudah.

Kontrak migas dengan semua kompleksitasnya tentu membutuhkan waktu cukup lama untuk terus memperbaiki hingga keadaan yang terbaik. Namun, Indonesia sudah terlalu lama disentil kedaulatannya utamanya pada migas. Langkah terbaik saat ini adalah koreksi dan benahi. Kedaulatan kami terlalu lama diusik. (ZD)

Zidnie Dzakya

Memperkuat Posisi Tawar Negeri dalam Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia

Tiga bulan pasca isu kenaikan Bahan Bakar Minyak(BBM), perhatian publik mengenai kebijakan pemerintah terkait minyak dan gas (migas) masih cukup tinggi. Diskusi publik, kajian komprehensif, serta opini masyarakat masih saja muncul sampai saat ini untuk menilai sudah cukup baikkah pemerintah dalam mengelola kekayaan negara yang menjadi hajat hidup orang banyak. Mulai dari pro-kontra kenaikan harga BBM, ketersediaan cadangan migas sebagai BBM,masalah kontrak kerjasama, hingga efisiensi pengelolaan migas itu sendiri diurai secara utuh dan komprehensif. Banyaknya aspek yang dapat diperbincangkan mengenai migas menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan itu di Indonesia. Kalau ditarik menjadi satu, maka permasalahan pengelolaan migas di Negara kita bermuara pada satu hal, lemahnya posisi tawar kita dengan negara lain, khususnya ketika dihadapkan pada kontrak perjanjian pemanfaatan migas dalam negeri. UU Migas No.22 Tahun 2001 menjadi bukti nyata bagaimana campurtangan asing begitu kuat dalam perumusan aturan tersebut, sehingga banyak sekali muncul kontroversial mengenai pasal-pasal yang memberikan kebebasan lebih bagi perusahaan migas asing untuk mengelola migas kita.

Kenyataan di lapangan dan data statistik menunjukkan kecilnya proporsi perusahaan nasional dalam pengelolaan migas dalam negeri, sehingga menyebabkan lemahnya posisi tawar Indonesia sendiri dalam perjanjian kontrak maupun perumusan kebijakan bersama berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya strategis ini. Untuk target produksi minyak rata-rata 970 ribu barel per hari tahun 2011, BUMN Pertamina EP hanya memegang peranan sekitar 13,61% atau sekitar 132 ribu barel per hari. Selebihnya adalah kontraktor asing dan swasta di mana korporasi AS Chevron ditargetkan berkontribusi sebesar 38,14% atau 370 ribu barel per hari (DetikFinance, 23/12/2010). Hanya 13% dari cadangan minyak nasional, tentu bukan prosentase yang cukup besar, dan logikanya ketika pihak Pertamina bersama kontraktor swasta asing lain berkumpul merumuskan suatu perjanjian, tentu pihak Pertamina lebih banyak menjadi pengikut, dibanding kontraktor swasta asing lain yang berusaha menjadikan perjanjian itu mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Peraturan induk UU Migas No.22 tahun 2001 menjadi contoh nyata besarnya pengaruh swasta asing, ketika landasan perundangan mengenai Minyak dan Gas itu bukan saja memberi keleluasaan lebih dan kemudahan untuk mengelola migas nasional, tetapi juga bagaimana “keberhasilan” mereka mendorong pemerintah melakukan reformasi energi, dengan langkah kontroversial untuk menghapus subsidi BBM sehingga harga BBM nantinya diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat (pasal 28 UU No.22 tahun 2001). Lebih lanjut dipaparkan, pada saat UU Migas disahkan, pemerintah telah membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk beroperasi di sektor migas tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Pemerintah juga memberikan izin kepada perusahaan asing membuka SPBU lebih dari 40 perusahaan. Masing-masing perusahaan diperbolehkan membuka sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia. Jika di kalkulasi, sedikitnya 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah ketika harga BBM nantinya sama dengan minyak dunia dan dibuat menyesuaikan itu, bersamaan dengan semakin banyaknya SPBU asing di Indonesia, masyarakat Indonesia tentu beralih ke SPBU asing dengan kualitas migas yang lebih baik. Hal lain yang membuat kita menggeleng-gelengkan kepala adalah bagaimana penjualan gas tangguh kita di pasar internasional. Kontrak penjualan gas Tangguh ke Fujian, China, sangat rendah, hanya US$ 3,35 per mmBtu. Sedangkan harga internasional sekarang berkisar US$ 15 – 20 per mmBtu. Hal kontradiktif yang sangat miris sekali, di saat pemerintah berupaya “mengejar” harga BBM dalam negeri menyesuaikan pada harga minyak dunia, di sisi lain pada sector gas kita seolah-olah secara cuma-Cuma menjual gas kita dengan harga jauh di bawah harga gas internasional. Indonesia seakan-akan dianggap “sangat baik” bagi pihak asing yang bertransaksi dan berinvestasi menggunakan migas kita, mereka mendapatkan “iklim kompetitif dengan adu kualitas”pada sektor minyak dengan mekanisme harga minyak pada pasar, di sector gas mereka memperoleh gas berlimpah dari Indonesia dengan harga yang sangat murah. Fakta mengejutkan lain adalah bagaimana kita melihat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) Migas kita, mulai dari penetapan harga, pajak, bagi hasil, dll. menunjukkan betapa lemahnya bargaining power kita, kekuatan untuk melindungi kepentingan dalam negeri sehingga poin-poin kontrak yang ada lebih banyak memberi keuntungan bagi perusahaan asing. Jenis kontrak PSC (Production Sharing Contract) dengan menggunakan system bagi hasil yang disepakati dari jumlah produksi merupakan cara dan bentuk kontrak yang diambil, tetapi pada penerapannya, keuntungan besar masih menjadi monopoli asing dalam pemanfaatam migas nasional. Adanya cost recovery sebagai biaya produksi yang diganti pemerintah kepada pihak swasta asing tentu memberikan proporsi keuntungan lebih, dan itu menjadi insentif bagi mereka untuk tetap berinvestasi di Indonesia. Durasi kontrak yang diambil antara 10-30 tahun juga memunculkan masalah sendiri karena waktu yang lama itu memberi kesempatan bagi swasta asing untuk memaksimalkan pengurasan migas kita. Masalah lain adalah bagaimana perbedaan perhitungan antara pemerintah dan kontraktor tambang dapat mempengaruhi penerimaan migas kita,Catatan saja, beberapa waktu lalu berdasarkan hasil audit KPK ditemukan tunggakan pajak dari 14 perusahaan tambang migas asing senilai Rp 1,6 triliun yang disebabkan adanya perbedaan tax treaty (perjanjian pajak) dengan beberapa kontraktor kerjasama (KKKS). Akibat perbedaan tax treaty ini, porsi bagi hasil migas pemerintah dengan beberapa KKKS menjadi berkurang. Kompleksnya masalah akibat buruknya posisi tawar Indonesia dalam kontrak pengelolaan migas menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia itu sendiri, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pihak swasta asing, potensi penerimaan negara pun tak bisa dimaksimalkan akibat penetapan harga di bawah harga pasar dalam kontrak tersebut.

Kemudian kita bertanya-tanya, mengapa kita tidak cukup kuat dalam pembahasan maupun negosiasi kontrak pengelolaan migas kita? Bukankah itu adalah kekayaan alam kita? Ada dua hal yang bisa menjawab dan itu menjadi kelemahan Indonesia itu selama ini sehingga negara yang kaya akan sumber daya alam ini justru banyak merana ditimpa masalah kemiskinan dan serba kekurangan. Kendala pertama adalah kendala teknis yaitu masalah infrastruktur dan kesiapan teknologi kita sebagai “senjata”pemanfaatan migas kita. Industri migas memiliki karakteristik padat modal, teknologi, dan analogi keduanya adalah bagaimana kita harus mengukur kekuatan infrastruktur yang ada dan teknologi yang kita pakai. Bukan rahasia lagi Indonesia menggunakan peralatan berumur tua, “belum rusak belum dibuang” dan itu menghambat akselerasi pemanfaatan Pertamina sendiri dalam hal ini sebagai perusahaan migas nasional untuk memproduksi minyak. Masalah klasik dapat dikategorikan bahwa problem utama Indonesia dalam pembangunan ekonominya adalah masalah infrastruktur, baik itu kualitas, pemerataan pembangunannya, sehingga kendala ini selalu menajdi penghambat Indonesia dalam langkah-langkah strategis menyelamatkan migas dalam negeri. Teknologi juga, bagaimana Indonesia berada dua tiga langkah di belakang dunia internasional sehingga Indonesia hanya mampu menjadi follower, dan tertinggal beberapa langkah. Transfer teknologi tentu diharapkan untuk mendukung percepatan Indonesia mengikuti trend technology yang berkembang saat ini. Kendala kedua adalah berupa non teknis, bagaimana birokrasi, penyimpangan wewenang, serta korupsi menjadi ancaman yang dapat menganggu stabilitas perusahaan dalam berinvestasi jangka panjang, dan itu menjadi disinsentif investor dalam negeri untuk mengembangkan usaha dan berinvestasi pada pemanfaatan migas nasional. Berbelit-belitnya pengajuan izin pimpinan daerah, konfrontasi antara pemimpin daerah dengan perusahaan yang akan berinvestasi, serta segala bentuk korupsi menjadi hal yang sangat menganggu dan memberikan efek multiplier negatif bagi Indonesia itu sendiri. Baik secara teknis maupun non teknis, kedua hal ini harus menjadi perhatian bagaimana lemahnya Indonesia pada posisi tawar dalam perjanjian kontrak pengelolaan migas, sebagai bahan koreksi untuk diperbaiki.

Akhir yang harus membawa optimisme, demikian ucapan salah satu tokoh besar yang kami coba representasikan dengan memberi solusi ataupun masukan untuk memperkuat posisi tawar dalam negeri dalam kontrak pengelolaan migas Indonesia. Pertama adalah bagaimana konsolidasi internal itu penting, koordinasi sebagai satu tim, di mana perhatian utama untuk memperbaiki infrastruktur dan mengejar disparitas pemanfaatan teknologi harus segera diimplementasikan dalam bentuk kebijakan dan praktik ke lapangan. Kedua adalah bagaimana kita berusaha untuk menanamkan semangat “Berdikari” yaitu bertekad untuk berdiri di atas kaki sendiri, berusaha, berjuang demi kepentingan nasional sebagai hal yang harus diutamakan, dan itu dapat diimplementasikan dengan memperkuat posisi nasional sendiri sehingga layak dan mampu memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alam milik sendiri, tanpa harus melibatkan peran besar dan campur tangan dari swasta asing. Bolivia, Venezuela sudah membuktikan hal tersebut, tetapi penekanannya adalah bukan secara ekstrim kita menasionalisasikan perusahaan asing dalam negeri, seolah tidak membutuhkan mereka, tetapi bagaimana memperkuat posisi kita, menjadi pihak yang lebih diakomodasi kepentingannya. Ketiga adalah bagaimana kita berusaha untuk berpikir “out of the box” dalam berbagai hal, sebagai stimulus yang dapat melahirkan produk serta terobosan baru. Indonesia sudah lekat akan stigma sebagai “follower” dalam berbagai hal, sehingga kita harus merevolusi pandangan itu dan berusaha menjadi cracker ataupun inventor yang melahirkan hal-hal baru. Ketiga solusi yang diberikan terlihat sangat general, tetapi penekanan kami bagaimana kita Indonesia harus berusaha lebih cerdas dan tegas dalam pembuatan kesepakatan, apalagi berkait dengan kekayaan dan sumber daya alam yang memyangkut hajat hidup orang banyak. Hanya dengan solusi dan karakteristik prinsip cerdas dan tegas, keyakinan dan optimism harus ditanamkan, bagaimana negeri kita, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara kaya akan sumber daya alam, punya cadangan migas yang luas, tetapi juga mampu menjadi pihak dengan bargaining power lebih tinggi pada perumusan kebijakan atapun perjanjian kontrak kerjasama migas. (AEI)

Aldo Egi Ibrahim

 
Renegosiasi Kontrak? Semua Harus Terlibat

Jika bicara soal pengelolaan Migas, kita akan bicara dalam dua hal: sektor hulu dan hilir. Sektor hulu berkenaan dengan eksplorasi dan eksploitasi, sementara sektor hilir mengatur proses pengolahan hingga perniagaan migas (UU 22/2001, pasal 5). Sektor hulu merupakan sektor fundamental yang berkaitang dengan penerimaan negara dan hajat hidup masyarakat, hal ini karena dalam UU jelas dijelaskan bahwa sumber daya alam ialah milik negara dan harus digunakan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Proyek hulu migas adalah proyek Negara kontraktor adalah pekerjanya. Di Indonesia, pengelolaan sektor hulu migas dikelola oleh Badan Pelaksana migas (BP MIGAS). Wewenang BP MIGAS menurut Alfonsus Rinto Pudyantoro, corporate secretary unit BP Migas dalam kuliah umum di UGM ialah:

* Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk BPMIGAS untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu.

* Untuk melakukan Kegiatan Usaha Hulu, Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap (didefiniskan dalam UU 22/2001) wajib mengadakan KKS dengan BPMIGAS.

* Pengendalian Kegiatan Usaha Hulu oleh BPMIGAS dilakukan lewat manajemen operasi KKS yang dipegang oleh BPMIGAS.

* Kegiatan yang yang dikendalikan oleh BPMIGAS adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana didefinisikan dalam UU 22/2001 dan aktivitas (pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan hasil produksi) yang merupakan kelanjutan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut seperti diatur dalam Pasal 26 UU 22/2001.

Salah satu tugas BPMIGAS yang kini menjadi perhatian serius para ahli migas dan ekonom ialah penjualan lahan produksi maupun hasil produksinya. Banyak sekali kerjasama dalam hal eksplorasi MIGAS dengan asing yang sejujurnya isi perjanjian tersebut sudah kadaluarsa. Karena dibuat 20 ataupun 30 tahun yang lalu, sehingga sudah tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini. Kerja sama dalam bidang migas memang selalu dalam jangka waktu yang relatif lama, karena sulitnya eksplorasi dan besarnya risiko yang akan dihadapi oleh kontraktor migas. Namun dalam perjanjian terdahulu tidak terdapat klausul yang menyatakan perjanjian dapar di renegosiasi di tengah kontrak dengan menyesuaikan keadaan yang ada agar tidak ada yang dirugikan. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam perdagangan internasional harus mengutamakan keadilan untuk kedua pihak yang bekerjasama.

Saat ini BP Migas sedang mengupayakan adanya renegosiasi dengan perusahaan asing yang nilai kontraknya dalam perjanjian dianggap terlalu kecil. Hal ini dilakukan untuk menambah pemasukan negara, serta ditegakkannya asas keadilan dalam pembagian hasil bisnis. Baru-baru ini BP Migas sukses memperbaharui dua kontrak perjanjian jual-beli gas bumi ke Perusahaan Gas Negara (PGN) dari lapangan grissik, blokcorridor yang dioperasikan Conoco Phillips dan Pertamina EP di Sumatera Selatan.

Kini BP Migas menggandeng kementerian keuangan dalam renegosiasi kontrak Migas dengan perusahaan asing maupun lokal. Hal ini seharusnya dilakukan sejak awal agar tidak terjadi salah persepsi antara pemerintah dan BP Migas, maupun perusahaan kontraktor tentang berapa besar bagian pemasukan negara sebagai pemilik ‘harta karun’ dalam kontrak tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya renegosiasi mengalami beberapa hambatan, diantaranya tidak ada itikad baik dari sebagian kontraktor untuk duduk bersama meneliti ulang untuk merubah beberapa butir dalam kesepakatan, karena mereka menganggap bahwa di awal kontrak tidak tertulis akan adanya renegosiasi, maka mereka menganggap renegosiasi hanya akan merugikan pihak kontraktor saja, karena mereka tentu tidak ingin keuntungan mereka berkurang. Selain itu dengan diperbolehkannya renegosiasi akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum. Jika harga berubah mungkin harga bisa menyesuaikan, namun jikalau ada kerugian dan resiko besar, maka pihak kontraktor dapat menuntut pemerintah untuk ikut membantu mengatasi permasalahan mereka walaupun seharusnya resiko adalah tanggung jawab kontraktor secara penuh.

Jadi dalam merenegosiasi kontrak migas yang lama harus melibatkan berbagai pihak agar tidak terjadi kerancuan dan salah persepsi di masa mendatang. Dan tetap harus menganut berdasarkan UU yang kita miliki. Jangan mau lagi kita dibodohi oleh asing ataupun oknum yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri. Sudah saatnya kita semua ikut mengawasi jalannya renegosiasi kontrak migas ini. Mari kita jaga dan awasi prosesnya serta kita lindungi alam kita jika terjadi hal-hal yang tidak seharusnya pihak kontraktor lakukan.

Fikri Nuru Jaman


Renegosiasi Kontrak Pertambangan Migas


Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengklaim sukses renegosiasi harga gas domestik untuk lima kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Menurut BP Migas, harga gas domestik lima KKKS ini sudah naik menjadi 5 dollar AS sampai 6 dollar AS per juta british thermal unit (mmbtu).

Deputi Pengendali Operasi BP Migas, Rudi Rubiandini mengatakan, adapun KKKS yang berhasil mendapatkan kenaikan harga gas itu adalah Santos Indonesia (Lapangan Maleo), HESS Indonesia (Lapangan Ujung Pangkah), JOB Pertamina-Talisman (Lapangan Jambi Merang), PT Medco E&P Indonesie dan ConocoPhilips.

"Dengan kenaikan harga gas ini, diharapkan bisa menambah penerimaan negara dan disparitas dengan harga ekspor tidak terlalu besar," ujar Rudi Rubiandini, Kamis (3/5/2012).

Rudi mengaku, revisi harga gas akan menjamin pasokan produsen gas dari hulu sampai hilir. Dengan kenaikan harga gas tersebut, produsen gas bisa tetap hidup dan mengembangkan lapangan yang mereka miliki.

Selanjutnya, produsen gas juga bisa memperbanyak produksi dan pasokan gas ke hilir. Adapun harga gas yang sudah naik itu adalah; harga gas untuk PGN, PLN dan Malaysia. Menurut Rudi, PGN sepakat menaikkan harga gas dari Lapangan Maleo dari 2,4 dollar AS mmbtu menjadi 5 dollar AS per mmbtu.

Begitu juga dengan harga beli gas PLN yang dari Hess Indonesia dan PT Medco Energy di Jawa Timur naik dari 2,38 dollar AS per mmbtu menjadi 5,1 dollar AS per mmbtu.

Kemudian, pasokan dari Medco Energy untuk PLTGU Borang naik dari 2,42 dollar AS per mmbtu menjadi 4,45 dollar AS per mmbtu. Sedangkan gas dari PLTGU Inderalaya naik dari 2,68 dollar AS per mmbtu menjadi 4,3 dollar AS per mmbtu

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kebijakannya pekan lalu juga menyoroti masalah renegosiasi kontrak tambang migas ini. Ia bilang kontrak tambang yang sudah dibuat puluhan tahun yang lalu ini sudah tidak relevan dengan kondisi yang berkembang saat ini. "Etikanya seluruh bangsa harus menghormati kontrak, menurut saya jika kontrak itu tidak adil, kita harus bicara baik-baik agar dibikin adil dan tepat," ungkapnya.

Ia juga mendorong Kementerian terkait untuk menindaklanjuti upaya pembaruan kontrak migas dengan cara melakukan renegosiasi. Perbedaan perhitungan bagi hasil tambang migas antara pemerintah dan kontraktor tambang mendorong pemerintah untuk melakukan renegosiasi kontrak tambang migas. Nantinya, Kementerian Keuangan yang akan terlibat dalam renegosiasi kontrak migas ini.

Yang menjadi kekeliruan mendasar dalam pengelolaan minyak bumi Indonesia hari ini adalah hilangnya Hak Menguasai Negara (HMN) atas tambang minyak mulai dari sumur, kilang, dan tangki, yang berdampak pada berkurangnya penerimaan negara dan pasokan minyak bumi sehingga tidak mampu melindungi tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu yang dibutuhkan adalah renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan Migas dan perubahan Undang-Undang Migas. (AHA)

Abdul Hafizh Asri









0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara Template by Bamz | Publish on Bamz Templates