Tampilkan postingan dengan label FEB UGM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FEB UGM. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Februari 2013

SINKRONISASI KEBIJAKAN ENERGI

Masih banyak pro kontra mengenai bbm bersubsidi. Isu terakhir yang terdengar adalah pemerintah iingin menghentikan subsidi terhadap bbm karena pemakaian dan penggunaan dilapangan tidak tepat sasaran. Bahwa dimana bbm bersubsidi lebih ditujukan pada mereka yang tidak mampu. Namun hingga saat ini, isu tersebut nyatanya masih belum ada titik jelas penyelesainnya. Kalau ingin berbicara mengenai efisiensi penggunaan bbm sesuai harapan, yaitu penggunaanya diharapkan memang hanya untuk kalangan tak mampu, dalam kenyataan dilapangan, hal tersebut jauh dari kata tepat sasaran.bahkan bisa dikatakan mustahil. Banyak masyarakat dari kalangan menengah ke atas masih menggunaan bbm bersubsidi. Menurut analisis saya, hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah sendiri tidak memberikan cukup sosialisasi yg baik pada masyarakat, lalu kurang adanya pengawasan dalam prakteknya, dan solusi untuk hal tersebut juga efisien, yaitu harga bbm non subsidi masih bisa dikatakan mahal. Padahal kalau ingin tepat sasaran, bbm nonsubsidi harganya jangan sampai mahal seperti itu. Hal itu pula yang mendorong masyarakat luas lebih memilih bbm bersubsidi yang murah karena memang dijangkau. Misalnya, harga terakhir pertamax yang digolongkan bbm non subsidi perliternya adalah Rp 8.300, harga ini jauh lebih mahal (hampir 2x lipat harga bbm bersubsidi, premium), bukan hal aneh bila masyarakat lebih memilih premium yang harganya lebih murah.kalua sudah begini, apa bisa kebijakan tersebut berjalan dengan efisien? Dalam kenyataanya penggunaan kendaraan bermotor yang dalam kalangan bukan tidak mampu namun juga bukan kalangan atas (kalangan menengah) jumlahnya tidak sedikit.terutama pengguna sepeda motor. Seharusnya bbm non subsidi harus bisa dijangkau oleh para penggunanya yang bukan kalangan tak mampu. Mungkin bagi orang berada, harga per liter senominal tsb bukan hal yang besar dan jadi perkara yang harus diributkan, namun bagaimana pengguna yang berada dikalangan menengah?apa semuanya mampu untuk menjangkau harga tersebut? Seharusnya pemerintah menyesuaikan harga sesuai dengan sasaran konsumen yang ingin mereka tuju, sehingga kebijakan yang ingin diambil bisa berjalan baik dan keputusan yang satu bisa mendukung keputusan yang lain. Akan lebih efisien lagi bila kalangan tak mampu memiliki tanda pengenal khusus ketika mereka harus membeli bbm di spbu, sehingga pengelola spbu pun bisa ikut mengawasi bahwa pembelian dan pemakaian bbm tersebut bisa tepat sasaran. Saya rasa, kedua komponen ini, efisiensi, bbm bersubsidi dan penjangkaun harga untuk bbm nonsubsidi harus lebih dipikirkan lagi. Tidak akan bisa berjalan kebijakan yang menginginkan bbm bersubsidi hanya untuk kalangan menengah kebawah bila kebijakan lain untuk harga bbm nonsubsidi tidak disesuaikan juga.

Jogja, 8 July 2011
Tiwi Nuzlia Damayanti
Staff Departement Kastrat
BEM FEB UGM

Kamis, 21 Februari 2013

Birokrasi di Indonesia yang Makin Rumit

Patologi Birokrasi : Penyakit Pemerintah Daerah
Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan di tahun 2011, jumlah PNS di pusat maupun di daerah kurang-lebih mencapai 4,7 juta. Dengan adanya kenaikan jumlah PNS tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, pada kenyataannya kenaikan jumlah PNS lebih berdampak pada proses penggemukan birokrasi pemerintah daerah tanpa adanya efektifitas kerja pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dari hasil survei integritas yang dilakukan oleh KPK bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia baru mencapai skor 6,31 dari skala 10 untuk instansi daerah. Indikator penilaian dalam survei integritas ini antara lain pengalaman korupsi, cara pandang terhadap korupsi, lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu dan pencegahan korupsi.
Berdasarkan Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia berada pada peringkat 121 dari 183 dalam kemudahan berusaha. Jauh tertinggal dengan Malaysia yang ada diperingkat 21 dan Thailand pada peringkat 19, atau bahkan Singapura yang menduduki peringkat 1. Padahal dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia, investor global dapat menjadi Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi.
Survey Doing Business mempunyai indikator survei yang mencakup kemudahan memulai usaha, menutup usaha, mendaftarkan properti, membayar pajak, melindungi investor, perdagangan lintas batas, perijinan konstruksi, mendapatkan pinjaman, dan pelaksanaan kontrak. Diperoleh data bahwa di DKI Jakarta sebagai representasi Indonesia, untuk memulai usaha harus melalui 9 prosedur dengan 60 hari kerja. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia terlalu berbelit dan membutuhkan waktu lama sehingga menjadi salah satu hambatan penanaman investasi di Indonesia.
Dalam pemerintahan daerah pun muncul beberapa macam patologi birokrasi. Terdapat 5 klasifikasi patologi birokrasi menurut Siagian yaitu persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi, tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan, manifestasi perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional, dan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Bentuk dari Patologi persepsi dan gaya manajerial pejabat antara lain adalah penyalahgunaan wewenang dan jabatan, praktek KKN, serta rendahnya kredibilitas. Patologi kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi berbentuk rendahnya produktifitas, kurang cekatan, dan ketidaktelitian. Patologi tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan sangat jelas berbentuk praktek korupsi, dan mark up anggaran. Konspirasi serta tidak disiplin adalah bentuk dari patologi manifestasi perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Sedangkan patologi akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan antara lain eksploitasi bawahan dan kondisi kerja yang kurang kondusif.
Patologi birokrasi yang muncul tersebut kemudian menunjukkan bahwa PNS memiliki kualitas SDM yang kurang. Dalam hal akademis mungkin PNS memang mempunyai kualitas yang baik, dapat dilihat dari kriteria CPNS yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam hal kualitas pribadi, bisa dibilang bahwa PNS masih perlu meningkatkan lagi kualitasnya. Dapat dilihat dari lima macam patologi birokrasi yang muncul, kesemuanya berkaitan dengan kualitas pribadi CPNS.
Dengan kualitas akuntabilitas yang kurang memuaskan serta patologi yang timbul, PNS tetap memperoleh alokasi dana yang cukup besar dalam APBD. Dana tersebut diperoleh melalui remunerasi, kenaikan gaji pegawai serta tunjangan pegawai daerah yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kenaikan jumlah PNS daerah tiap tahunnya terus meningkat, maka dana APBD juga akan meningkat.
Padahal menurut data Indonesian Corruption Watch pada tahun 2011, pegawai negeri menduduki peringkat pertama pelaku korupsi dengan 239 kasus. Pemerintah daerah juga ada di peringkat pertama 264 kasus. Demikian pula dengan jumlah kerugian paling banyak yang diderita oleh pemerintah daerah dengan jumlah kerugian mencapai 657,7 M. Ironi, bagaimana pemerintah daerah dapat menjadi tempat maraknya korupsi sedangkan alokasi dana APBD cukup besar untuk penghasilan serta berbagai tunjangan yang diperoleh PNS daerah yang terus meningkat tiap tahunnya.
Sesungguhnya solusi dari inefektifitas pemerintah daerah telah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Didalamnya terdapat metode pelaksanaannya, sasaran lima tahunan serta ukuran keberhasilan. Tujuan dari reformasi birokrasi tersebut adalah untuk mewujudkan Good Govermence di Indonesia, sehingga birokrasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan efektifitas kerja serta tidak lagi menjadi hambatan perkembangan daerah.
Maka dari itu, perlu adanya kesuksesan dari reformasi birokrasi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Dengan suksesnya reformasi birokrasi tersebut, maka tujuan memberikan kontribusi nyata pada capaian kinerja pemerintahan dan pembangunan nasional dan daerah akan tercapai serta tercipta pemerintah daerah yang efektif.


Reformasi Birokrasi demi Terciptanya Good Local Governance

Birokrasi. Suatu kata yang sederhana namun mencerminkan berbagai macam kerumitan, tidak terkecuali di Indonesia dan provinsi-provinsi di dalamnya. Birokrasi merupakan salah satu inti permasalahan yang menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun di daerah tidak berjalan dengan semestinya.
Pada pemerintahan daerah misalnya, demokrasi yang menuntut pemda untuk bisa menjalankan pemerintahannya secara mandiri dan lebih dekat dengan masyarakat itu terkendala masalah birokrasi yang menyebabkan pelaksanaanya tidak efektif dan efisien. Bagaimana tidak? Konsep desentralisasi yang digadang-gadang akan mampu melahirkan masyarakat yang aspiratif dan apresiatif tersebut justru memberikan peluang bagi para aparatur daerah untuk menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan cara korupsi dan suap-menyuap. Masalah lain yang kita hadapi adalah kinerja pelayanan publik yang buruk akibat berkurangnya kredibilitas birokrat terkait etos kerja yang rendah dan tindakan indisipliner mereka. Belum lagi masalah birokrasi yang berbelit-belit dan prosesnya yang lama, hal itu sudah tidak relevan lagi dengan masyarakat yang menginginkan proses yang mudah dan cepat.
Birokrasi yang buruk itu tadi akan mempengaruhi berbagai macam kegiatan fundamental yang bisa berdampak pada kerugian daerah itu sendiri. Misalnya, birokrasi yang koruptif, rumit, dan lama akan mengurangi daya tarik investor untuk menginvestasikan modalnya ke daerah tersebut, mereka tidak mau menghabiskan sebagian besar dananya hanya untuk ‘mempermulus’ jalan mereka dalam berinvestasi. Akibatnya, daerah itupun tidak bisa berharap banyak pada investor luar daerah untuk membantu pembangunan ekonomi daerah tersebut. Selain itu, dari internal daerah pun, masyarakat akan sulit berkembang karena setiap kegiatan mereka terhambat oleh masalah birokrasi, entah itu dalam dunia usaha maupun keperluan lainnya. Masyarakat akhirnya mengalami kesan negatif dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat pelayanan publiknya yang tidak memuaskan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama terkait dengan aspek-aspek kelembagaan, tata laksana, dan sumber daya manusia aparaturnya atau dengan kata lain: reformasi birokrasi. Dalam mewujudkan reformasi birokrasi ini, ada banyak langkah yang harus ditempuh, antara lain: menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola good governance agar birokrasinya pun lebih tepat dan tidak berbelit-belit; optimalisasi penggunaan IT untuk menciptakan sistem yang lebih terintegrasi, cepat, dan mudah; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menjalankan mekanisme kontrol yang efektif guna melahirkan aparatur yang kompeten dan disiplin. Apabila pengembangan SDM aparatur mampu berjalan dengan baik, akan terbentuk perilaku aparat yang bertanggung jawab, berintegritas tinggi, dan mampu memberikan pelayanan yang terbaik.
Memang, reformasi birokrasi ini harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, tidak bisa secara instant menginginkan untuk mengubah sistem yang sudah mengakar kuat. Tetapi, secara keseluruhan, apabila reformasi birokrasi ini benar-benar sukses merombak birokrasi lama yang buruk itu, maka bukan mustahil apabila di pemerintahan akan bisa tercipta birokrasi yang bersih, efisien, efektif, responsible, transparan, dan benar-benar melayani masyarakat. Dengan begitu, pemerintah daerah pun bisa menjalankan fungsinya sebagai fasilitator masyarakat sesuai amanah otonomi daerah dengan semestinya.


Government as Entrepreneur: Solusi Mengatasi Inefisiensi Birokrasi

Ketika saya membaca salah satu surat kabar yang saat itu menyajikan data mengenai komponen anggaran suatu pemerintah daerah, saya mencoba melihat komponen pengeluaran pemerintah daerah tersebut. Saat itu saya melihat bahwa porsi pengeluaran pemerintah daerah untuk anggaran belanja pegawai mencapai 75%. Saat itu saya belum begitu mengetahui apa itu anggaran belanja pegawai, saya berpikir bahwa itu positif, berarti pemerintah memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Setelah itu saya mencoba googling, mengidentifikasi apa yang telah saya baca di surat kabar tadi. Betapa mengejutkannya setelah hasil indentifikasi saya menunjukkan ada suatu masalah dan ketimpangan yang bisa kita simpulkan dari sajian data pemerintah daerah tersebut. Terlalu besarnya porsi pengeluaran pemerintah untuk keperluan menggaji pegawainya, yang merupakan salah satu bagian dari permasalahan negara ini yaitu inefisiensi birokrasi.
Ada tiga masalah yang menjadi faktor penghambat keleluasaan berkembangnya usaha di suatu daerah yaitu 1) Korupsi, 2) Inefisiensi Birokrasi, 3) Infrastruktur yang kurang memadai. Tiga hal ini harus bisa dijadikan warning bagi pemerintah daerah, karena selama tiga masalah ini belum diselesaikan, pengembangan usaha di daerah tersebut akan terhambat dan tentu ini bukan indikator yang baik untuk kemajuan daerah tersebut.
Inefisiensi birokrasi, sulit mencerna istilah ini secara definisi karena arti dari inefisiensi birokrasi adalah penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintahan daerah yang kurang efisien. Cukup abstrak apabila kita menelaah secara istilah saja, banyak peristiwa yang terjadi di sekitar kita cukup menerangkan apa itu inefisiensi birokrasi, seperti pengurusan KTP di kantor kecamatan yang membutuhkan waktu lama, kemudian pengurusan izin bangunan/tanah yang kita beli dengan istilah ‘lebih tinggi bayarnya, lebih cepat selesainya’, dll. Secara makro, kita dapat lihat bagaimana susunan anggaran pemerintah daerah, yang tidak ‘pro rakyat’, cenderung menjadikan kepentingan pejabat birokrasi dan stafnya sebagai porsi pembelanjaan utama. Hal ini yang menyebabkan bagaimana otonomi daerah yang diharapkan mengantarkan kesejahteraan lebih dekat dan terasa oleh rakyat justru menjadi keleluasaan pemerintah daerah mengatur kepentingan mereka sendiri, tanpa memberikan pelayanan terpadu kepada masyarakat. Lihat juga bagaimana prosedural masih menjadi masalah bagi pengembangan usaha dan iklim bisnis di daerah sehingga terlihat sekali bagaimana ketidakefisienan terjadi, pejabat birokrasi dibayar tinggi, kesejahteraan selalu ditingkatkan tanpa ada feedback berupa peningkatan kinerja yang signifikan.
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana kita bisa mengatasi masalah inefisiensi birokrasi? Satu hal, tumbuhkanlah semangat ”Government as enterpreneur” di Indonesia. Artinya adalah tanamkan sikap bahwa birokrasi bersifat melayani, bukan dilayani. Ada dua efek yang bisa ditumbulkan dari prinsip baru ini, yang pertama adalah bagaimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan pengaturan anggaran belanja pegawai secara taktis, dalam arti buat sistem insentif bagi pegawai pemerintah yang produktif dan mampu menunjukkan kinerja baik dalam kegiatannya melayani masyarakat. Sistem penilaian ini bisa dilakukan pemerintah maupun digulirkan kepada masyarakat itu sendiri, sehingga hanya pegawai, atau instansi yang menunjukkan kinerja pelayanan baik kepada masyarakat yang mendapatkan tambahan tunjangan. Sesuai dengan prinsip ekonomi “people respond to incentives”, kebijakan ini dapat mewujudkan iklim kompetisi sehat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kedua adalah bagaimana sistem pemberian insentif tadi ini juga mewujudkan efisiensi anggaran, selektivitas pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai lebih tinggi sehingga tidak semua pegawai diberikan pendapatan sama tingginya, tetapi hanya dengan indikator kinerja yang baik saja yang diberikan insentif berupa tunjangan tambahan. Hasil efisiensi anggaran tadi itulah yang bisa diarahkan untuk pembangunan fasilitas atau infrastruktur untuk masyarakat, serta menggerakkkan roda perekonomian riil demi kemajuan daerah. Selain itu, terdapat banyak multiplier effect lain yang dapat dihasilkan dari prinsip tadi, yaitu iklim usaha yang kondusif karena pelayanan terpadu, kesejahteraan masyarakat meningkat, dll. Prinsip like an enterpreneur yang selalu ingin berkompetisi, memberikan yang terbaik, serta taktis dalam melahirkan inovasi handal ini yang diharapkan dari penyelenggaraan birokrasi, tidak hanya di daerah, tetapi juga di pusat. Apabila ini terwujud, maka kesejahteraan masyarakat pun bukan sekedar embel-embel janji seorang birokrat ketika terpilih, tetapi sebuah hasil nyata berkat peran pemerintah yang prima untuk melayani masyarakat.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM


Rabu, 13 Februari 2013

Jaminan Penghidupan yang Layak bagi Buruh

-->
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat (2)
Sudah diamanahkan dalam konstitusi dasar negara kita bahwa pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak setiap warga negara. Namun, fakta menunjukkan masih banyak ketidaksesuaian antara idealita dan realita, terutama terkait dengan kelayakan penghidupan. Hal ini dapat kita soroti dari salah satu indikator pengukur penghidupan yang layak, yaitu kesejahteraan buruh.
Dewasa ini, telah terjadi penyempitan makna kata “buruh” itu sendiri. Setiap mendengar kata buruh, yang terpikirkan oleh kebanyakan orang adalah para pekerja kasar yang tidak berpendidikan dan bertaraf hidup rendah. Tetapi sebenarnya, menurut UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, buruh itu sendiri didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi, istilah buruh di sini tidak hanya mencakup golongan pekerja kasar melainkan juga termasuk buruh professional yang bekerja tidak menggunakan otot melainkan dengan otak.
Sudah menjadi kewajiban pemberi kerja untuk memenuhi hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesem­patan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Namun, yang terjadi akhir-akhir ini dengan semakin maraknya kasus demo buruh dan aksi mogok menunjukkan bahwa masih banyak buruh yang hak-hak nya tidak terpenuhi, entah itu dalam hal jaminan sosial maupun dalam hal pengupahan. Kebijakan pemerintah dalam menentukan upah minimum regional (UMR) belum cukup mampu menjamin kesejahteraan para pekerja. Upah minimum yang ditentukan pemerintah tersebut hanya mampu menutupi biaya hidup sehari-hari saja, belum mampu meningkatkan taraf hidup pekerja. Padahal, mengingat jumlah buruh yang tidak sedikit dan peranan mereka yang crucial, kesejahteraan mereka merupakan suatu indikator penting yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan nasional.
Meskipun sudah banyak Undang-Undang dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) yang mengatur tentang hal itu, namun dalam praktiknya regulasi-regulasi itu belum diterapkan dengan semestinya dan belum mampu memberikan jaminan bahwa taraf hidup pekerja akan meningkat dan mereka akan mendapatkan penghidupan yang layak. Penghidupan layak yang dimaksud di sini tidak hanya diukur dari pengupahan di atas UMR namun juga hal-hal lain, misalnya: jaminan pendidikan, jaminan keselamatan, tidak eksploitatif, dan masih banyak lagi. Pihak pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk memenuhi hal-hal tersebut, namun fakta yang terlihat di lapangan menunjukkan masih adanya tindak penyimpangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur kembali regulasi, melakukan pengawasan, dan memberikan jaminan yang lebih terkait dengan kesejahteraan buruh.
SINERGI = KESEJAHTERAAN BURUH!
Baru-baru ini kita mendengar berita mengenai kasus mogoknya buruh PT Freeport yang menuntut kenaikan gaji dan peningkatakn kesejahteraan bagi mereka. Selain itu, konflik antara buruh dan asosiasi pengusaha juga terjadi di Bekasi ketika pengadilan memenangkan gugatan asosiasi pengusaha mengenai upah buruh. Keprihatinan mungkin berlangsung semakin panjang melihat di dunia internasional, buruh Indonesia seakan menjadi sosok yang terzalimi melihat berulangkali munculnya kasus hukuman mati bagi buruh Indonesia. Berbagai masalah yang menimpa buruh ini patut kita cermati sebagai masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Mereka adalah tulang punggung penggerak perekonomian industrial, potensi sumber daya manusia mereka adalah penopang roda perekonomian riil di Indonesia. Kesejahteraan adalah hak mutlak yang harus mereka dapatkan, sebagai insentif untuk mereka berperan membangun ekonomi bangsa.
Zaman globalisasi yang modern ini, di mana orientasi perekonomian telah bergeser dari sektor ekstraktif(mengambil dari alam) ke sektor industri(mengolah alam menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi), ada komponen pelaku ekonomi tambahan selain petani dan nelayan yang menjadi tanggungjawab negara mengingat status mereka yang selalu direndahkan, yaitu buruh sebagai sektor yang perlu atensi lebih karena kuantitas mereka yang besar namun sering menjadi pihak yang kalah oleh kepentingan pengusaha. Padahal, mereka adalah tenaga vital dalam menggerakkan sektor industri, bukan hanya karena nilai lebih dalam hal jumlah tenaga, tetapi juga bagaimana
Lingkar perekonomian industrial menunjukkan ada tiga pelaku utama penggerak sektor tersebut. Pengusaha, sebagai enterpreneur, pemilik dan pengelola utama perusahaan yang bergerak dalam sektor industri tersebut. Kedua adalah buruh sebagai penggerak, mereka yang bekerja pada perusahaan untuk menggerakkan komponen mesin dan peralatan lainnya sehingga menghasilkan suatu produk yang bernilai jual di pasaran. Pemerintah sebagai stakeholder, berperan dalam mewujudkan iklim usaha kondusif, termasuk pada perekonomian industrial sehingga menghasilkan multiplier effect positif dan maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Sudah sinergikah ketiga pelaku utama penggerak perekonomian industrial? Pertanyaan itu yang menjadi pangkal dari masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh saat ini, yaitu bagaimana selalu ada kepentingan salah satu pihak yang harus dikorbankan demi kepentingan pihak lain, dan buruh selalu menjadi cinderella yang kepentingannya diinjak-injak demi keuntungan dari pengusaha maupun pemerintah. Inilah yang selalu memicu ‘pergerakan’ dari buruh yang meminta pemenuhan haknya sehingga seringkali berujung kerusuhan dan berhentinya aktivitas operasi perusahaan. Situasi yang sebenarnya tidak harus terjadi apabila pemerintah dan pengusaha sadar bahwa bergeraknya ekonomi industri ini tidak lepas dari peran buruh. Sinergitas ini menekankan bagaimana dua pihak yaitu pengusaha dan buruh mendapat posisi yang setara dan seimbang, di mana pemerintah sebagai pihak lain yang aktif memediasi dan mengakomodir pertemuan antara mereka untuk mencapai kesepakatan terbaik. Penekanan di sini adalah bagaimana kesetaraan antara pengusaha dan buruh dalam memperjuangkan kepentingannya, sehingga dihasilkan keputusan yang bukan ‘satu pihak menginjak-injak pihak lain’. Apabila hal tersebut dapat terwujud, seluruh pihak merasa nyaman dengan situasi yang berjalan sehingga roda penggerakkan ekonomi industri dapat berjalan dengan baik, produktivitas meningkat, dan tentu saja tidak ada lagi situasi negatif dan stigma kepentingan pengusaha selalu berada di atas buruh dapat hilang.
Dampak Pemberian Upah Terhadap Kesejahteraan Buruh Nasional
Dalam menjalin hubungan kerja yang baik, mengenai masalah upah pihak buruh hendaknya memikirkan pola keadaan dalam perusahaannya, dalam keadaan perusahaan itu belum berkembang adanya upah yang layak yang diberikan perusahaan itu yang sesuai dengan upah untuk pekerjaan sejenis di perusahaan-perusahaan lainnya, hendaknya disyukuri dengan jalan memberikan imbalan-imbalannya berupa kegiatan kerja yang efektif dan efisien dan turut melakukan penghematan. Kenyataannya, pihak pemerintah juga sering menganjurkan kepada pengusaha-pengusaha yang ada di Tanah Air agar kepada para buruhnya diberikan upah yang wajar dan memberikan gambaran-gambaran tentang upah minimum Pada umumnya, dengan berpadunya peranan pengusaha dan peranan organisasai buruh, keduanya dapat melakukan musyawarah dan mufakatnya sehingga telah berhasil mempertemukan pertimbangan-pertimbangannya hingga terwujudnya upah yang wajar.
Ada satu faktor yang membuat kesejahteraan buruh menjadi semakin menurun, yaitu pungutan liar. Direktur Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, sehingga para pengusaha sulit untuk memberikan upah yang layak bagi kesejahteraan para buruh. Padahal bagi organisasi buruh, upah mencerminkan berhasil tidaknya saran dan tujuan serta merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahankan adanya organsasi tersebut.
Seharusnya pengusaha membeberkan biaya-biaya yang dia keluarkan untuk pungli-pungli itu, sayangnya pengusaha tidak mau secara terbuka menyebutkan itu. Pihak pengusaha atau badan/perusahaan yang mempekerjakan para buruhnya, dalam hal ini bagi pihak pengusaha atau badan usaha/perusahaan upah itu merupakan unsur pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan komponen harga pokok yang sangat menentukan kehidupan perusahaan.
Padahal, upah yang ada dapat mensejahterakan para buruh beserta keluarganya, sehingga berdampak pada peningkatan keterampilan dan kecakapan buruh agar kehidupan buruh dapat lebih meningkat. Oleh karena itu, upah sangat penting melibatkan peran pemerintah karena kewajibannya dalam mengatur tata kehidupan dalam segala bidang, yang dalam hal ini pihak pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum, perundang-undangan dan segala peraturan pelaksanaannya, sehingga pihak yang satu tidak akan dirugikan oleh pihak yang lain.
Terlepas dari hal tersebut, makna yang penting yang harus diperhatikan baik oleh pengusaha maupun oleh para buruhnya adalah bukan keuntungan sebesar-besarnya yang harus dijadikan tujuan utama dalam berusaha, melainkan yang menjadi sasaran utama dalam berusaha maksa kini ialah memperoleh keuntungan yang wajar dengan sedapat mungkin menghindari kerugian Keuntungan-keuntungan yang wajar itu dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan manajemen termasuk biaya-biaya operasiona, seperti upah, perawatan mesin dan lain-lain.
Dengan menggunakan prinsip bahwa dengan pemberian upah yang bertambah, maka akan meningkatkan produktifitas pabrik tersebut. Kemudian harga menjadi turun, sehingga permintaan pasar pun meningkat dan mengakibatkan profit pabrik pun menjadi bertambah. Namun, kenaikan upah yang tidak disertai dengan peningkatan dalam produksi dapat berakibat pada kenaikan harga produk yang dihasilkan dalam perusahaan, yang mungkin pula ada kaitannya dengan peningkatan arga-harga produk lain, sehingga nilai upah yang dinaikkan itu tidak ada artinya baik dipandang dari segi ekonomi, maupun bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan beserta keluarganya.
Jadi peningkatan upah haruslah disertai adanya peningkatan produk, dan hal ini hendaknya diresapkan oleh para buruh, tanpa adanya kesadaran untuk meningkatkan produktifitas atau usaha untuk meiningkatkan produk, selain perusahaan itu akan menjadi lemah karena penghasilan yang kurang selalu tersedot dengan adanya pembengkakan upah, modal untuk operasi makin lama akan makin berkurang dan pada akhirnya perusahaan akan menderita secara terus menerus, perusahaan yang bersangkutan akan menjadi tidak tahan dana perusahaan terpaksa harus ditutup. Dalam keadaan demikian, pihak buruh pula yang pada akhirnya akan menderita, ke mana pula mereka akan mencari kerja, padahal pengangguran sudah sangat tidak diharapkan oleh mereka.
Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM

Sabtu, 09 Februari 2013

Mau Dibawa Ke Mana Anggaran Kita?

-->
Mau Dibawa Ke Mana Anggaran Kita?
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM premium dari Rp 4.500/liter menjadi Rp 6.000/liter yang akan mulai berlaku pada 1 April 2012 menuai banyak pro dan kontra. Meskipun demikian, pemerintah tetap bersikukuh untuk menaikkan harga BBM mengingat tingkat urgensinya yang tinggi, yaitu berkenaan dengan naiknya harga minyak dunia dan pembengkakan pengeluaran negara untuk subsidi BBM.
Data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menunjukkan bahwa apabila harga BBM tidak dinaikkan maka anggaran subsidi BBM tahun ini akan membengkak menjadi Rp 178,67 triliun dari Rp 123,6 triliun yang dianggarkan dalam APBN 2012. Angka itu terlalu besar untuk hanya dialokasikan ke dalam bentuk subsidi BBM yang notabene tidak tepat sasaran dan tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Maka dari itu, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tingkat harga BBM premium sebesar Rp 1.500/liter sehingga mampu mengurangi pembengkakan anggaran sebesar Rp 41,29 triliun, yaitu dari Rp 178,67 triliun menjadi Rp 137,38 triliun.
Kenaikan harga BBM ke level Rp 6.000/liter tersebut sudah dipastikan. Namun, yang masih menjadi pembahasan para otoritas kebijakan adalah akan dialokasikan ke mana anggaran yang berhasil dihemat dari pencabutan subsidi itu. Akhir-akhir ini, sempat mencuat isu bahwa sebagian besar dana penghematan tadi akan dialokasikan untuk bantuan langsung tunai (BLT) sementara bagi masyarakat miskin. Namun, alokasi yang demikian itu dirasa tidak efektif mengingat masih banyak sektor yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit, selain pembangunan infrastruktur dan transportasi, yaitu sektor pendidikan.
Mengapa pendidikan? Karena, pendidikan merupakan investasi jangka panjang suatu negara dan merupakan salah satu indikator kesuksesan pembangunan nasional. Memang, sudah diamanahkan dalam UUD 1945 bahwa lebih dari 20% pengeluaran negara haruslah dialokasikan ke sektor pendidikan. Namun, realita menunjukkan bahwa 20% tersebut belum mampu mencukupi semua kebutuhan pendidikan dasar di Indonesia yang merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia(berada di belakang China, India dan Amerika Serikat). Kita masih bisa melihat bahwa infrastruktur pendidikan di Indonesia masih buruk, banyak gedung-gedung sekolah yang tidak layak huni. Bahkan di beberapa daerah, pendidikan menjadi sesuatu yang langka dan sulit dijangkau karena keterbatasan akses menuju sekolah-sekolah itu sendiri.
Permasalahan yang lebih pelik adalah masih adanya anak-anak usia sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan karena keterbatasan biaya. Padahal, sudah menjadi kewajiban negara untuk memelihara dan menjamin pendidikan dasar bagi anak-anak tersebut. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan: negara sudah mengalokasikan dana yang besar (lebih dari 20% dari APBN) ke sektor pendidikan, namun mengapa kebutuhan pendidikan dasar pun belum terpenuhi? Hal ini disebabkan oleh pengeluaran itu lebih banyak dialokasikan dalam bentuk gaji pegawai, sehingga investasi dalam infrastruktur dan subsidi pendidikan masih belum maksimal.
Oleh karena itu, merupakan suatu langkah yang tepat apabila negara mengalokasikan dana penghematan subsidi BBM ke sektor pendidikan mengingat peranannya sebagai bentuk investasi jangka panjang. Hal tersebut akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan akses terhadap pendidikan, mengurangi angka putus sekolah, sehingga masyarakat Indonesia mampu mendapatkan tingkat pendidikan yang layak. Mengingat begitu pentingnya peranan pendidikan, sudah seharusnya bahwa pendidikan ini menjadi perhatian utama semua kalangan, terutama pemerintah dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar di sektor ini. (NW)
Subsidi BBM Dicabut, Dunia Pendidikan Meringis
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi berimbas kepada sektor lain seperti dunia pendidikan. Mungkin tidak banyak yang sadar bahwa dunia pendidikan merupakan salah satu sektor yang mengalami imbas paling besar dari kebijakan ini. Karena mengabaikan sektor pendidikan sama saja dengan menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang saat ini sedang dalam tren pertumbuhan yang positif. Jika terus dibiarkan, hal itu akan menurunkan Global Competitivenes Index (GCI). Untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM pada awal April ini terhadap dunia pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh telah menyiapkan dana tambahan pendidikan dalam APBNP senilai Rp 11,2 triliun.
Mendikbud juga telah membuat beberapa peraturan bagi dunia pendidikan di Indonesia diantaranya, sejak akhir 2011, melalui Peraturan Menteri Nomor 60 Tahun 2011 telah dikeluarkan larangan pungutan bagi sekolah di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP negeri) untuk biaya-biaya investasi dan operasional sekolah. Di jenjang pendidikan tinggi, Dirjen Dikti juga telah mengeluarkan edaran tentang imbauan bagi pengelola perguruan tinggi negeri untuk tidak menaikkan SPP pada tahun akademik 2012–2013.
Ini adalah rincian pembagian subsidi tambahan bagi dunia pendidikan, di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) melalui APBN-P diusulkan untuk menambah jumlah sasaran dari 3,5 juta siswa menjadi 9,8 juta siswa yang mendapat subsidi (bantuan operasional sekolah). Adapun nominal jumlah bantuan per siswa pun ditingkatkan dari Rp360.000 per siswa per tahun untuk siswa SD menjadi Rp450.000. Untuk siswa SMP dari 1,3 juta siswa menjadi 2,7 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp550.000 menjadi Rp750.000 per siswa per tahun. Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, SMA dan SMK, dari jumlah 1,2 juta siswa menjadi 1,5 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp780.000 per anak per tahun menjadi Rp1 juta per anak per tahun. Dari penambahan tersebut, Kemendikbud telah meningkatkan jumlah penerima bantuan untuk peserta didik dari keluarga tidak mampu dalam bentuk SSM, baik siswa maupun mahasiswa dari sebelumnya 6 juta orang menjadi 14 juta, dari nilai sebelumnya Rp3,8 triliun menjadi Rp7,6 triliun. Untuk mahasiswa PTN juga akan mendapatkan subsidi pendidikan dalam bentuk subsidi Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Hal ini dilakukan agar PTN di seluruh Indonesia tidak menaikkan biaya kuliah di semester selanjutnya. Subsidi ini mencapai Rp 1,2 triliun yang akan dibagi untuk 92 PTN yang ada di tanah air. Terkait subsidi ini, pemerintah sudah mulai memproses dan bulan depan mulai disalurkan. Jika ada PTN yang tak melaksanakan atau malah menaikkan SPP tentunya Kemdikbud akan memberikan teguran.
Kemendikbud juga me­nam­bah 10 ribu beasiswa Bidik Misi untuk PTN dan mulai tahun ini, ada 2.000 beasiswa ‘Bidik Misi’ untuk PTS. Kuota untuk program Bidik Misi bagi mahasiswa mis­kin yang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) tahun ini men­capai 40 ribu mahasiswa atau bertambah 10 ribu dari tahun lalu. Kebijakan ini, di­tempuh agar tidak ada lagi siswa dari keluarga miskin yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan akibat faktor ekono­mi. Karena pemahaman lebih baik putus sekolah atau tidak sekolah agar bisa membantu orang tua menambah pendapatan atau penghasilan ketimbang tetap bersekolah yang masih sangat melekat di sebagian masyarakat kita. Dan juga untuk melanjutkan tren positif dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bangsa kita yang masih tergolong rendah di kawasan asia.
Mari kita berharap dan yakin bahwa keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah yang terbaik bagi kita dan negara. Karena jika tidak mengurangi subsidi BBM, kestabilan kas negara akan terganggu, dan berakibat kepada sektor lain yang dana APBN nya harus dikurangi untuk menanggulangi pembengkakkan subsidi BBM ini, selain itu kepercayaan bangsa ini di mata internasional jua akan terkikis karena tetap memaksakan untuk mensubsidi BBM dan membahayakan kas negara yang mengancam krisis keuangan di Asia khususnya dan di dunia pada umumnya. Sudah saatnya kita berfikir secara realistis dan menggunakan hati nurani serta moral kita, jangan mau hanya dipermainkan oleh politisasi di sebagian media cetak maupun elektronik yang hanya menampilkan efek negatif dari kebijakan kenaikan BBM ini dan mendoktrin kita semua untuk selalu pesimis dengan keadaan bangsa. Mari pemuda-pemudi bangsa saatnya kita berkarya dengan cara yang terbaik yang kita bisa berikan kepada bangsa ini. Jangan ada lagi pesimisme di hati kita, sudah saatnya kita optimis dengan pemuda-pemudi bangsa kita yang penuh harapan dan semangat mudanya akan membawa indonesia lebih baik di masa mendatang. (FNJ)
Dampak Pengalokasian Subsidi BBM ke Sektor Pendidikan
Kenaikan BBM yang direncanakan akan di berlakukan awal April 2012 sepertinya memang tidak bisa dihindarkan. Kebijakan ini tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi BBM kita, ditambah naiknya harga minyak dunia dan membuat alokasi anggaran meningkat. Mungkin saja upaya pencabutan subsidi BBM ini adalah langkah positif dari pemerintah, tidaklah patut kita berprasangka buruk terlebih dahulu.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat menimbulkan beban untuk masyarakat. Seperti yang kita tahu, BBM merupakan kebutuhan hampir seluruh rakyat Indonesia, mulai dari kebutuhan rumah tangga, transportasi hingga industri, sehingga BBM merupakan hajat hidup orang banyak. Sehingga, alangkah baiknya bila kebijakan tersebut kita kritisi secara mendalam sebelum diimplementasikan, tentunya dapat kita urai dan pertanyakan dari berbagai sisi. Namun, sepintas lalu, alasan pemerintah memang tampak masuk akal.
Harga minyak dunia yang cenderung tidak stabil dan terkadang melambung akan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM. Karena harga jual dipasar dalam negeri harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, maka akibatnya subsidi BBM juga akan membengkak. Untuk tahun 2010 subsidi BBM ditetapkan Rp. 89,29 triliun dan pada tahun 2011 subsidi diperkirakan membengkak Rp. 109 Triliun. Oleh karena itu, Staf Khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Bidang Politik, Sosial, dan Budaya Ganjar Razuni mengatakan, kenaikan BBM harus tetap dilakukan.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa negeri ini ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dari sini bisa kita lihat bahwa negara ini bukan hanya milik kita, tetapi juga miliknya dunia. Oleh karena itu dalam hal ini pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan yang bijak, tentunya yang terpenting untuk masyarakat Indonesia, sesuai dengan sila ke-5 Pancasila "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Artinya, kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah nantinya diharapkan dampak positifnya mampu dirasakan oleh seluruh rakyat negeri ini.
Jika subsidi yang sebesar itu digunakan untuk pendidikan tentunya pendidikan untuk rakyat indonesia akan jauh lebih baik. Kita bisa memperkirakan berapa besar manfaat jika dana penghematan tersebut di alihkan untuk biaya pendidikan, tentunya pendidikan gratis bukanlah hal yang mustahil, yang akibatnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Kita tidak ingin lagi dianggap sebagai bangsa yang hanya bisa “mengekspor” tenaga pembantu rumah tangga, yang dilecehkan dimana-mana. Sudah saatnya kita membangun sumber daya manusia yang handal untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Alangkah indahnya melihat anak-anak bangsa berbondong-bondong menuntut ilmu dengan gratis ketimbang harus merasakan penatnya polusi berbondong-bondong yang datang ke arah kita karena hasil pembakaran BBM murah hasil subsidi di kendaraan bermotor yang begitu merajalela. Akan tetapi, terlalu naif juga bila kita menarik kesimpulan bahwa kebijakan pencabutan tersebut mungkin tidak terlepas dari berbagai kepentingan dan motivasi terselubung. Ditambah lagi, sektor pendidikan adalah lahan yang paling empuk yang dapat dimanfaatkan oleh para pejabat koruptor di negeri ini. Oleh karena itu, perlu persiapan berbagai macam langkah dan strategi.
Ini adalah tugas dan tanggungjawab bersama, tidak hanya pemerintah, tetapi juga oleh seluruh elemen bangsa. Pemberantasan korupsi serta penegakan hukum harus dilaksanakan terlebih dahulu guna melancarkan jalannya suatu kebijakan. Kebijakan pencabutan subsidi BBM haruslah diikuti dengan kebijakan substitusional yang merupakan sebuah kompensasi pemerintah untuk masyarakat luas. Khususnya di sektor pendidikan yang notabene menjadi sarang koruptor terempuk, sehingga pengaruh pengalokasian subsidi BBM tersebut bisa benar-benar dimanfaatkan secara berkala. (AHI)
Pencabutan Subsidi BBM: Insentif Pembangunan Sektor Pendidikan
1 April 2012, Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dari tingkat harga 4.500/liter menjadi 6.000/liter. Berbagai faktor melatarbelakangi pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, mulai dari harga minyak dunia yang meroket tinggi membuat Indonesia sebagai net importer harus melakukan kebijakan penyeseuaian harga minyak dalam negeri, kebijakan subsidi yang ternyata dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang memiliki porsi terbesar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia, serta faktor-faktor lain yang tidak hanya menyangkut analisis ekonomi saja, tetapi juga pertimbangan teknikal, industri, sumberdaya, hingga bumbu-bumbu politis. Pro-kontra mengenai kebijakan seolah tanpa henti bermunculan di media, menjadi tontonan masyarakat setiap harinya. Pandangan anda? Mari kita mencoba untuk berpikir jernih menyikapi kebijakan ini.
Kenaikan harga BBM sebagai salah satu denyut nadi perekonomian, penggerak berbagai sektor kegiatan ekonomi tentu memberikan efek negatif karena secara logika sederhana hal itu dapat meningkatkan biaya yang berhubungan dengan penggunaan BBM tersebut. Ambil contoh ketika BBM naik, biaya transportasi yang harus dikeluarkan kendaraan pedagang yang membawa sayuran yang diperdagangkan di pasar meningkat, sehingga harga sayuran di pasar pun ikut naik karena ada kalkulasi ulang dari pedagang mengenai biaya-keuntungan mereka. Secara makro, hal ini dapat menimbulkan inflasi yang meningkat, penurunan daya beli, dan tentu saja meningkatkan angka kemiskinan karena harga kebutuhan dasar yang meningkat. Isu lain yang dapat diangkat mungkin bagaimana pertumbuhan masyarakat kalangan menengah di Indonesia yang ditopang oleh daya konumsi tinggi akan terhambat karena adanya penurunan daya beli masyarakat. Berhentikah kita dalam bayangan negatif karena adanya perubahan dalam suatu kebijakan? Hal ini yang menjadikan kita bangsa Indonesia sulit keluar dari suatu masalah, stagnan dalam berbagai aspek kehidupan kenegaraan, sehingga lambat berkembang menjadi suatu negara maju yang baru. Berhenti menguras stamina mengomentari pro-kontra, berpikir out of the box menyikapi suatu masalah: it’s time to take an incentive from potential (crisis) caused by a problem. Susun roadmap mengenai hal apa yang bisa kita lakukan selanjutnya, ini kunci sukses dari bagaimana segala masalah dapat berakhir dengan suatu insentif atau keuntungan yang dapat diperoleh. Untuk itu, apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengantisipasi efek negatif dan memperoleh dan memberikan insentif bagi masyarakat dari kenaikan harga BBM ini?
Kita mungkin sama-sama tahu bagaimana dengan kenaikan harga BBM ini akan memberikan kenaikan pendapatan sektor migas kepada pemerintah. Hal inilah yang sepatutnya dapat dikatakan sebagai insentif yang dapat dialirkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Peran pemerintah sebagai penyedia barang publik untuk masyarakat harus dimaksimalkan karena adanya tambahan insentif ini, dan saya mengatakan bahwa sangat penting apabila alokasi subsidi BBM ini dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat yang memberikan multiplier effect yang besar bagi masa depan Indonesia itu sendiri. Sektor pendidikan adalah jawaban bagaimana pemenuhan kebutuhan ini akan sangat penting demi mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia ke depannya. Mengapa sektor pendidikan ini sangat penting? Bangsa Jepang membangun kembali negaranya pasca Perang Dunia II dengan memberikan fasilitas bagi guru dan tenaga pendidik di negara sana untuk belajar ke luar negeri. Lihat juga bagaimana akselerasi kemajuan Malaysia yang lebih tinggi dari Indonesia saat ini justru karena 40 tahun lalu ketika Indonesia lebih superior dari Malaysia menjadi tempat pelatihan bagi guru-guru Malaysia. Mari kita membangun bangsa ini dari pendidikan, bagaimana ekspansi dunia edukasi tanpa batas harus dikedepankan. Setidaknya Pemerintah dalam hal ini tidak hanya memberikan insentif bagi masyarakat dalam bentuk BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang sifatnya pemenuhan kebutuhan konsumsi sesaat saja, tetapi juga mengalokasikannya untuk pembenahan infrastruktur pendidikan. Prinsip ini yang harus dibangun bagaimana peran pemerintah bukan hanya sebagai penyedia kebutuhan masyarakat, tetapi lebih dari itu bagaimana pemerintah menjadi stimulator pembangunan dengan masyarakat yang cerdas dan produktif sebagai agen pembangunan tersebut. Globalisasi yang menjadikan dunia semakin kompetitif menuntut seluruh negara meningkatkan kompetensinya, dan pengembangan sumber daya manusia tetap menjadi pusat pengembangan. Di sinilah pendidikan memiliki peranan penting, bagaimana sektor ini mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bagaimana dari pendidikan ini melahirkan dua hal penting yang disebut-sebut menjadi fokus pengembangan manusia itu sendiri: kewirausahaan dan penguasaan teknologi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana selanjutnya pengembangan pendidikan ini difokuskan?
Ada tiga hal yang menurut saya menjadi dasar bagaimana pendidikan ini dapat dibangun, yaitu: 1) Infrastruktur, 2) Pemerataan, 3) Soft Skill. Infrastruktur adalah salah satu ‘masalah khas’ Indonesia, dimana penyediaan fasilitas memadai selalu menjadi penghambat Indonesia dalam proses menjadi negara maju di dunia. Kesenjangan juga menjadi semacam ‘kultur’, bagaimana di segala aspek kehidupan, ketidak adilan dirasakan dirasakan masyarakat Indonesia. Soft skill, hal ini yang belum disadari oleh pemerintah Indonesia. (AEI)
Pencabutan Subsidi BBM ke Sektor Pendidikan
Pro dan kontra mengenai pencabutan subsidi BBM terus mewarnai kondisi sosial ekonomi di masyarakat kita. Kenaikan harga BBM tinggal menghitung hari setelah ditetapkan bahwa subsidi akan dicabut pada awal bulan April ini. Pemerintah mencabut subsidi BBM disandarkan pada alasan bahwa anggaran APBN yang defisit atas besarnya beban untuk mensubsidi BBM hingga mencapai 40%. Selain itu, pemerintah juga beragumentasi bahwa Indonesia harus mampu menghadapi harga minyak mentah dunia yang saat ini semakin tinggi di akibatkan oleh kondisi politik di Timur Tengah yang belum stabil sehingga menyebabkan supplai minyak dunia turun dan mencapai harga $120/barrel, dan satu-satunya cara agar mampu bertahan dalam kondisi tersebut adalah dengan mengorbankan masyarakat Indonesia yang mau tidak mau harus merogoh kocek lebih untuk setiap liter BBM yang dikonsumsi.
Hal tersebut senada dengan apa yang menjadi alasan dari pihak yang pro terhadap pencabutan subsidi BBM atau kenaikan harga BBM. Mereka juga beralasan bahwa pencabutan subsidi BBM merupakan sesuatu yang inevitable atau tidak dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan besarnya subsidi yang harus ditanggung oleh APBN kita yang menyebabkan defisit anggaran. Selain itu mereka menilai bahwa pemberian subsidi BBM selama ini sudah salah sasaran yang lebih banyak dinikmati oleh orang-orang kelas menengah keatas. Oleh karena itu, pencabutan subsidi BBM harus dilakukan dan dipindahkan untuk menambah subsidi pendidikan yang selama ini masih dianggap terlalu kecil, terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Adapun pihak yang kontra dengan adanya pencabutan subsidi BBM ini adalah bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak berkesinambungan (slippery slope effect) yang hanya akan merugikan masyarakat Indonesia terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Kita bisa ambil contoh bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada tingginya biaya produksi di sektor perusahaan maupun UKM. Dan jika biaya produksinya naik, maka mau tidak mau perusahaan harus menutupinya dengan menaikkan harga produk atau bahkan mengurangi tenaga kerja agar mampu menutupi tingginya biaya produksi. Selain itu mereka yang kontra beranggapan bahwa defisit APBN yang dialami oleh negara tidak diakibatkan oleh besarnya anggaran yang diberikan untuk subsidi BBM, melainkan diakibatkan oleh besarnya hutang pemerintah. Dan fakta membuktikan bahwa selama beberapa periode ini belum adanya langkah konkrit dan nyata yang dilakukan oleh pemerintah kita untuk menanggulangi masalah-masalah kendaraan seperti terhambatnya proyek monorail di ibukota dalam mengatasi kemacetan, belum adanya apresiasi pemerintah terhadap energi-energi alternatif,gagalnya pemerintah dalam merevitalisasi kendaraan umum dan perusahaan biofuel, dan masih banyak lagi kegagalan-kegagalan lainnya. Lalu mengapa pemerintah harus mencabut subsidi BBM???. Ternyata ada yang mensinyalir bahwa keputusan pencabutan subsidi diambil dalam sebuah tekanan yang begitu besar dan disangsikan bahwa kebijakan tersebut penuh dengan kepentingan-kepentingan politik belaka yang kapanpun bisa disalah gunakan untuk memperkaya diri.
Apapun argumentasi yang disampaikan oleh kedua belah pihak, kita harus terus mencermati dan menganalisis keduanya secara lebih detail dan kompleks. Meskipun pencabutan subsidi BBM ini sudah di sahkan sejak beberapa waktu yang lalu bukan berarti tugas pemerintah cukup sampai disitu saja dan bisa lepas tangan dari masalah yang akan timbul dikemudian hari, melainkan pemerintah juga harus profesional untuk memberikan informasi dan keyakinan kepada seluruh masyarakat bahwa kebijakan itu bebas dari tangan-tangan koruptor dan subsidi itu akan benar-benar dialokasikan untuk pendidikan. Dan juga pemerintah harus mampu mengambil langkah antisipatif (preventif action) untuk mencegah segala sesuatunya berdampak negatif setelah harga BBM naik menjadi Rp6000,-. (FD)
Pendidikan Indonesia dan Penyimpangan Penyelenggaraan
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengambil 30% dari APBN tentunya jumlah yang besar. Kenaikan harga minyak dunia yang memang sejak dulu fluktuatif itu seharusnya dan barang tentu telah dipikir oleh pemerintah. Sedangkan subsidi untuk siswa miskin dari SD hingga SMA hanya sebesar 2,9 triliun rupiah.
Wacana soal pengalihan subsidi bbm untuk perbaikan transportasi umum memang langkah yang tepat, namun perlu disadari juga bahwa pendidikan masih butuh suntikan dana untuk perbaikan manajemen, kualitas maupun infrastruktur. Bantuan biaya operasional sekolah (BOS) yang diharapkan dapat membantu juga belum bisa menyentuh secara merata. Karena masih banyak ganjalan agar bantuan itu sampai ke siswa dengan nominal yang sesuai dengan anggaran.
Biaya sekolah yang dijanjikan dapat gratis juga sayangnya masih terjadi kecurangan dalam penyelenggaraannya. Ketika anggaran telah ada untuk biaya sekolah, namun kuota siswa yang lolos dan masuk dalam bagian ‘gratis segala biaya’ juga dikurangi. Lalu kemanakah jatah anggaran dari pemerintah tersebut?
Pihak sekolah yang dengan cerdiknya menutup program reguler –yang seharusnya di gratiskan oleh pemerintah- dan hanya membuka jalur akselerasi dan immersi dengan alasan anggaran pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah siswa hanya dapat menutup biaya sekolah, dan biaya operasional masih belum cukup. Hal lain yang menjadi alasan adalah uang masuk dari siswa imersi dan akselerasi untuk perbaikan infrastruktur dan fasilitas sekolah.
Pengadaan buku sekolah yang gratis pun menyeret petinggi diknas di daerah-daerah. Buku-buku dalam jumlah besar tentu menimbulkan nominal yang besar sehingga amat menggiurkan untuk ‘berbisnis’ diantaranya.
Alokasi pengalihan subsidi BBM ke pendidikan menurut penulis dirasa belum penting, mengingat masih banyak kecurangan di lapangan. Diknas masih harus mengevaluasi dan mengawal prosedur sehingga subsidi pendidikan memang menyentuh masyarakat, tanpa dikurangi. Kalaupun memang pendidikan mendapat tambahan subsidi dari pengalihan subsidi BBM maka besar nominal atau persennya pun harus dipikir matang, apakah Diknas telah siap untuk diamanahi uang hak rakyat tersebut. (DU)
Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM

Minggu, 13 Januari 2013


Kedaulatan di Ujung Tanduk, Diperlukan Renegosiasi Kontrak Migas

Berbagai kalangan cendekia silih berganti membicarakan tentang Kedaulatan Republik Indonesia di bidang energi dan migas yang makin dipertanyakan eksistensinya. Hal yang paling mereka soroti adalah tentang pengelolaan migas di Indonesia yang terlampau banyak dikuasai kontraktor asing, sehingga kekuasaan negara atas migas pun diragukan.

Bagaimana tidak? Proporsi pengelolaan Migas di Indonesia sebagian besar lebih dikuasai kontraktor asing seperti Chevron, Exxon daripada Pertamina. Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi mengingat industri migas adalah industri yang padat teknologi, padat modal, dan sangat beresiko dan Indonesia belum sepenuhnya memiliki kapabilitas dalam mengelola industri yang seperti itu. Dari kerjasama itulah, kita mengharapkan adanya alih teknologi sehingga ke depannya, kita mampu mengelola sumber daya minyak dan gas yang kita miliki secara mandiri. Namun, yang kita lihat sekarang malah justru Indonesia semakin lama semakin kehilangan kendali atas pengelolaan migas. Padahal, penerimaan negara yang berasal dari migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah, maka, sektor ini haruslah mendapatkan perhatian lebih. Jangan sampai ada kesalahan pengelolaan yang justru menyebabkan kerugian besar pada negara.

Saat ini, Indonesia menerapkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) sebagai perjanjian dalam pengelolaan migas, di mana persentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). namun, perolehan tersebut harus terlebih dahulu dikurangi dengan biaya-biaya produksi dan segala macam cost recovery sehingga pada akhirnya, pemerintah hanya memperoleh porsi 51% sedangkan kontraktor mendapatkan 49%. Hal ini tentunya semakin merugikan Indonesia karena hasil perolehan minyak yang sebesar 49% lari ke kantong asing. Akan lebih menguntungkan tentunya apabila pengelolaan minyak ini diserahkan kepada kontraktor dalam negeri atau negara. Bagaimana menyikapinya?

Sebagian kalangan menyarankan untuk mencabut kontrak yang telah disepakati dengan para kontraktor asing tersebut agar pengelolaan migas sepenuhnya dikuasai oleh negara. Namun, mungkinkah kita melakukan itu? kemungkinannya sangat kecil. Pertama, karena kita menyadari bahwa di satu sisi kita masih membutuhkan modal dan teknologi mereka guna mengelola ekstraksi migas. Yang kedua, kita tidak bisa membatalkan kontrak yang sudah disepakati begitu saja karena hal ini menyangkut komitmen negara dan mempengaruhi kepercayaan negara lain terhadap Indonesia.

Meskipun demikian, masih ada hal bisa kita lakukan dalam menyikapi kontrak yang sudah terlanjur disepakati itu, salah satunya adalah dengan cara renegosiasi kontrak di mana kita mempunyai peluang untuk melakukan negosiasi ulang dengan para kontraktor mengenai perihal harga, jangka waktu, proporsi bagi hasil, dan lain-lain. Kita bisa melakukan negosiasi agar jangka waktu kontrak diperpendek, atau proporsi bagi hasil pemerintah dibuat lebih besar agar kontrak kerjasama ini lebih menguntungkan Indonesia.

Satu lagi hikmah yang dapat kita petik di sini adalah bahwa kita harus bisa belajar dari masa lalu, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama dengan cara menggadaikan sumber daya minyak dan gas kita kapada kontraktor asing secara sembarangan sehingga membuat kita merugi dan kehilangan kendali terhadap pengelolaan minyak dan gas di negeri sendiri. Dibutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan control Indonesia terhadap sumber daya nya sendiri, termasuk untuk bisa mengelola kekayaannya tanpa terlalu mengandalkan kekuatan asing. Untuk bisa mandiri dan berdaulat, kita perlu waktu dan usaha. (NW)

Nurul Wakhidah


Renegosiasi Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas

Renegosiasi kontrak pertambangan minyak dan gas dinilai masih jalan di tempat. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, pemerintah hanya fokus pada pelarangan ekspor bahan tambang mentah oleh perusahaan kecil saja, sedangkan untuk renegosiasi kontrak minyak dan gas tidak pernah disentuh. Pemerintah tak kunjung menyelesaikan renegosiasi kontrak minyak dan gas dengan sejumlah perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Padahal pemerintah bekerja serius dalam program kerja renegosiasi kontrak minyak dan gas dengan membentuk tim renegosiasi kontrak yang dilindungi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012. Timnya diberi nama Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang dibentuk pada Januari 2012.

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, bertindak sebagai ketua tim renegosiasi kontrak karya perusahaan pertambangan beserta Menteri ESDM Jero Wacik sebagai ketua harian merangkap anggota. Sedangkan Anggota tim terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kehutanan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kepala BPKP, dan Kepala BKPM.

Namun pemerintah memang belum menyampaikan perkembangan renegosiasi kepada publik. Hal ini disebabkan belum dicapai kesepakatan final dan penandatanganan poin renegosiasi antara kedua belah pihak dalam pembicaraan renegosiasi. Prinsip yang dijaga pemerintah dalam proses renegosiasi adalah menjaga kerahasiaan poin-poin kontrak renegosiasi masing-masing perusahaan yang diharapkan dapat memuluskan proses renegosiasi.

Tujuan dari renegosiasi kontrak minyak dan gas atau kontrak karya adalah untuk mengubah kebijakan agar hasil sumber daya alam tersebut dapat diolah di dalam negeri sehingga industri hilir dapat berkembang, yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat.

Enam isu krusial yang akan direnegosiasikan pemerintah kepada perusahaan tambang baik batubara maupun mineral adalah luas wilah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara/royalti, kewajiban pengelolaan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambang dari dalam negeri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tharmin Sihite dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada Senin, 19 Maret 2012 lalu mengatakan terdapat 37 kontrak karya (KK) yang harus direnegosiaskan sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Dari 37 KK tersebut baru lima KK yang sudah selesai dinegosiasikan.

Perkembangan akhir 2011, untuk kontrak karya, secara prinsip sembilan kontrak karya yang telah setuju seluruhnya, 23 kontrak minyak dan gas menyetujui sebagian poin renegosiasi, dan lima kontrak karya belum menyetujui seluruhnya. Perkembangan Mei 2012, 60 PKP2B telah menyetujui seluruh poin-poin renegosiasi, dan 14 PKP2B setuju sebagian. Kondisi tersebut jauh lebih baik ketimbang perkembangan pada Desember 2010 lalu, dengan hanya empat kontrak minyak dan gas yang menyetujui seluruh poin renegosiasi. (NFCM)

Nadia Firstzky Cipta Mardieta

Renegosiasi Kontrak Sebagai Solusi atas Kedaulatan Migas

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang banyak. Hal ini dapat kita lihat dari besarnya potensi sumber daya alam kita seperti minyak bumi, timah, panas bumi, kayu, dan lain-lain. Seharusnya negara yang memiliki kekayaan alam seperti negara Indonesia mampu untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun faktanya sampai saat ini negara kita masih jauh dari kata sejahtera. Masih banyak rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan membuktikan bahwa kekayaan alam yang ada tidak mampu dinikmati oleh rakyat. Rakyat seakan menjadi konsumen atas barang yang mereka miliki sendiri. Mereka harus membayar dengan harga yang semakin hari semakin tinggi untuk sekedar mendapatkan 1 liter minyak. Padahal negara kita yang kaya akan sumber daya alam khususnya minyak bumi seharusnya dapat menyediakan pasokan yang besar sehingga minyak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan memang menjadi sebuah kewajiban bagi negara untuk mengelola kekayaan alamnya semaksimal mungkin untuk kemakmuran masyarakat. Yang menjadi pokok permasalahan saat ini adalah negara tidak mampu mengelola sumber daya alam yang dimiliki dan seakan telah kehilangan kontrol atas sumber daya minyak bumi dan gas. Semua sumber daya itu kini justru dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan asing yang sebetulnya profit oriented dan tidak memprioritaskan pada kemakmuran masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari sejumlah perusahaan asing yang ada di Indonesia yang bebas mengeksploitasi sumber minyak bumi dan gas seperti Chevron, Total, Exxon, CNOOC, Conoco-philips, Petro China, dan lain-lain. Dan semua perusahaan tersebut sudah beroperasi sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Hal ini menjadikan harga minyak dan gas semakin hari semakin tinggi yang membebani masyarakat. Negara kita telah kehilangan Hak Milik Negara (HMN) atas minyak bumi dan gas sehingga pasokan dan penerimaan dari minyak dan gas semakin sedikit. Akibatnya negara kita justru mengimpor minyak dan gas dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas dalam negeri. Selain itu isu pencabutan subsidi BBM semakin membuktikan bahwa negara ini tidaklah pro rakyat melainkan pro asing dan melanggar konstitusi. Jika negara ini pro rakyat semestinya negara berani mengelola sumber daya alam tanpa ada intervensi asing semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Meskipun pemerintah sudah berusaha untuk mengelola sumber daya alamnya secara mandiri namun itu belumlah cukup, selain itu masih besarnya tekanan dan pengaruh dari asing menyebabkan negara ini semakin lemah. Melihat kontrak perusahaan-perusahaan asing tersebut akan habis dalam 6 tahun kedepan maka solusi terbaik untuk mendapatkan ketahanan dan kedaulatan atas sumber daya minyak bumi kita adalah dengan cara renegosiasi kontrak. Negara mampu mengambil alih kepemilikan asing atas pengelolaan minyak bumi ataupun nasionalisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela dan Argentina. Argentina sukses melakukan nasionalisasi atas perusahaan minyak YPF yang sebelumnya dikuasai oleh Repsol milik Spanyol. Meskipun awalnya negara tersebut mendapatkan kecaman dari pihak barat seperti dari Uni Eropa, IMF, dan Bank Dunia namun semua itu hanyalah bersifat sementara. Dan semua itu sudah dibuktikan oleh negara-negara tersebut yang saat ini mampu mengelola sumber daya alamnya secara mandiri. Negara kita sebetulnya mampu mengimplementasikan langkah nasionalisasi ini mengingat kasus yang terjadi tidaklah berbeda antara Indonesia dengan Argentina. Ketakutan akan larinya investor asing sebagai dampak dari nasionalisasi tidaklah sepenuhnya terbukti, karena pada akhirnya investor-investor tersebut masih akan terus berdatangan dan bahkan mereka ingin melakukan renegosiasi. Untuk melakukan nasionalisasi dibutuhkan kerjasama pemerintah, rakyat, parlemen, serta undang-undang. Selain itu kita juga harus menghilangkan kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok yang hanya akan merugikan bangsa. Solusi selanjutnya adalah melakukan renegosiasi kontrak seperti pemutusan kontrak jika kontraknya telah habis, merenegosiasi lamanya kontrak supaya lebih dipersingkat waktunya, merenegosiasi kepemilikan perusahaan supaya negara tidak lepas kendali atas perusahaan tersebut, dan berbagai bentuk renegosiasi lainnya. Meskipun saat ini pemerintah telah berusaha untuk melakukan renegosiasi namun hal itu masih dirasa sangat lamban dan kurang tegas serta tidak transparan sehingga masyarakat tidak mengetahui kemajuan renegosiasi kontrak dengan perusahaan asing. Jika pemerintah memang berniat untuk menjaga ketahanan sumber daya minyak dan gas maka pemerintah harus serius melakukan renegosiasi dan tidak boleh takut dengantekanan dan kecaman pihak barat seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara di Amerika Latin. (FDA)

Fikri Dzikrian A.

RENEGOSIASI KONTRAK MIGAS, PERLUKAH?
Bukan rahasia umum lagi bila kedaulatan akan migas di Indonesia telah didominasi oleh pihak asing. Lihat saja persentase perusahaan-perusahaan raksasa pengebor minyak yang ada di negeri ini, 74% perusahaan berlabel asing, 22% perusahaan nasional, dan sisanya digunakan oleh konsorsium asing dan lokal. Dengan komposisi seperti ini, apakah kekayaan alam, terutama migas sebagai sumber energi utama negeri ini, berhasil digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya?

Dominasi perusahaan asing atas pengelolaan minyak tidak terlepas dari peran UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, dimana liberalisasi akan sektor tersebut sangat terlihat di beberapa pasalnya, contoh pasal 28 ayat (2) dan pasal 12 ayat (3). Kekuatan liberisasi yang kental di UU ini ditengarai merupakan implementasi dari Letter of Intent (LoI) dengan IMF (International Monetary Fund) pada tahun 1998 dan pemberian utang dari Amerika Serikat melalui USAID bekerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) dan World Bank. Adanya campur tangan pihak-pihak tersebut dalam memberikan bantuan, ternyata juga berefek pada campur tangan lain dalam pembuatan draft UU Migas. Hasil dari campur tangan tersebut dapat dilihat dari isi UU tersebut yang cenderung menekankan pada liberalisasi migas.

Adanya liberalisasi tersebut secara perlahan-lahan menghilangkan Hak Menguasai Negara (HMN) atas tambang migas. HMN diperlukan untuk memastikan penggunaan migas benar-benar ditujukan sebesar-besarnya pada negara. Untuk mengembalikan kembali HMN, pemerintah mulai mengadakan renegosiasi dengan para kontraktor, baik pihak nasional ataupun asing.

Renegosiasi pemerintah yang baru saja dilakukan ditujukan khusus pada sektor gas. Perlu diketahui, harga gas alam cair (LNG) yang dijual secara domestik di Indonesia hanya sekitar 3,5 dollar Amerika per juta British thermal unit (mmbtu), jauh dibawah tingkat harga pasar gas yang mencapai lebih dari 15 dollar Amerika per mmbtu. Renegosiasi yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan harga jual beli. Hasilnya, kesepakatah harga jual beli pun dicapai dengan lima kontraktor kontrak kerja sama melalui kenaikan yang cukup signifikan mencapai 5 – 6 dollar Amerika per mmbtu untuk penjualan ke PGN, PLN, dan Malaysia.

Untuk sektor minyak secara khusus, belum ada renegosiasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kontraktor-kontraktor kontrak kerjasama. Padahal, renegosiasi terhadap minyak sendiri merupakan suatu upaya sangat penting mengingat minyak menjadi sumber energi yang lebih krusial penggunaannnya di Indonesia daripada gas. Liberalisasi migas melalui UU Migas membuat pihak asing lebih berkuasa atas kekayaan minyak yang dimiliki negara ini. Dominasi tersebut kemudian akan memicu pada kelangkaan minyak untuk kebutuhan nasional, apalagi setelah hak monopoli Pertamina sebagai pemenuh kebutuhan minyak nasional dicabut. Kelangkaan ini pun dapat menular pada pencabutan subsidi BBM yang mana merupakan bantuan supply energi dari negara untuk kalangan-kalangan menengah ke bawah. Selama pemerintah belum dapat menciptakan energi terbarukan dan melakukan pencabutan subsidi BBM secara bersamaan, maka dapat dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat, terutama pada kalangan menengah ke bawah, akan menurun. Maka dari itu, segera diperlukan peran pemerintah untuk melakukan renegosiasi terhadap para kontraktor kontrak kerja sama demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat sebagai pemilik mutlak kekayaan alam tersebut. (LPS)

Luluk Permata Sari



Kontrak Migas dan Kompleksitasnya

Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah industri migas dikatakan industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan. Oleh karena itu 72 blok wilayah nya dikontrakkan dan bekerja sama dengan pihak asing maupun lokal untuk investasi dan menambah total penerimaan pemerintah.

Metode pengelolaan migas di Indonesia adalah menggunakan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dimana hasil produksi akan dibagi dalam prosentase yang telah disepakati pada kontrak. Namun mengejutkan ketika kontrak-kontrak tersebut masih lebih menguntungkan pihak tertentu tapi masih juga terus diperpanjang, tanpa perbaikan untuk lebih menguntungkan negara. Tentu menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah kalangan. Sampai kapankah Indonesia kehilangan kedaulatan.

Untuk diketahui bersama bahwa bagi hasil biasanya sekitar 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas. Dalam hal ini, masih besar untuk negara yaitu sebesar 85 dan 70, namun ternyata negara masih harus membayar cost recovery dari produksi tersebut. Atau lebih simpel dikatakan prosentase tersebut dalam gross. Pada tahun ini misalnya baru 50 persen produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri, sementara 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Diusahakan kedepannya 35 persen tersebut dapat diambil untuk diolah lagi menjadi BBM dan dapat memenuhi kebutuhan domestik. Perlu ada optimisme dan support dari berbagai pihak, bahwa suatu saat Indonesia mampu mengolah sendiri hasil buminya.

Angin segar bagi orang-orang yang merindukan kedaulatan negara di negaranya sendiri dengan potensi alam yang dimilikinya. Dalam waktu dekat, 29 blok akan habis masa kontraknya. Dan pada tahun 2017 akan ada 4 blok yang akan habis. 4 blok yang akan habis masa kontraknya dijanjikan oleh ESDM agar ketika perpanjangan kontrak migas lebih menguntungkan Indonesia. Tidak hanya kepada asing, namun juga perusahaan dalam negeri. Tentunya perlu bagi ESDM untuk membuat regulasi secepatnya bagi wilayah blok migas ketentuan dan aturan main, agar kedepannya lebih terjamin.

Regulasi juga harus berkaitan dengan CSR, karena diberitakan BP Migas kurang dalam hal CSR karena BP Migas tidak diperkenankan memberikan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk natura jadi seringkali tidak terlihat jumlah nominalnya. Hal ini tentu membuat rumit, dan terkesan tidak transparan. Perlu ada kejelasan dari ESDM maupun BPMIGAS untuk segera membuat rancangan undang-undang sebagai jalan tengah banyaknya investor migas di Indonesia.

Sekali lagi, kontrak-kontrak baru ataupun perpanjangan tersebut masih berdasar pada income yang akan didapatkan perusahaan. Contohnya saja perusahaan Elnusa target pendapatan tahun ini adalah Rp5,6 triliun (US$599 juta) naik dari Rp4,71 triliun pada 2011 seiring dengan bertambahnya kontrak baru yang diperkirakan mencapai Rp2,8 triliun (US$321 juta). Meskipun tentunya setiap perusahaan Migas memiliki CSR namun perlu diperhitungkan pula bagaimana keadaan serta kondisi potens minyak dan gas di Indonesia.

Hal lain yang perlu ditilik dari perpanjangan kontrak ini adalah ribetnya birokrasi dan luasnya blok wilayah migas yang dikontrakkan. 72 blok wilayah yang dikontrakkan tentu bukan jumlah yang sedikit. Perlu ada bantuan dari daerah ataupun provinsi untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan guna memperpanjang kontrak migas tersebut. Tiap daerah seyogyanya mau membantu pusat dengan berinisiatif menyerahkan dokumen kontrak migas di daerahnya. Hal ini untuk arsip dan kelengkapan karena kita tahu mengumpulkan dokumen pada 72 blok bukan hal yang mudah.

Kontrak migas dengan semua kompleksitasnya tentu membutuhkan waktu cukup lama untuk terus memperbaiki hingga keadaan yang terbaik. Namun, Indonesia sudah terlalu lama disentil kedaulatannya utamanya pada migas. Langkah terbaik saat ini adalah koreksi dan benahi. Kedaulatan kami terlalu lama diusik. (ZD)

Zidnie Dzakya

Memperkuat Posisi Tawar Negeri dalam Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia

Tiga bulan pasca isu kenaikan Bahan Bakar Minyak(BBM), perhatian publik mengenai kebijakan pemerintah terkait minyak dan gas (migas) masih cukup tinggi. Diskusi publik, kajian komprehensif, serta opini masyarakat masih saja muncul sampai saat ini untuk menilai sudah cukup baikkah pemerintah dalam mengelola kekayaan negara yang menjadi hajat hidup orang banyak. Mulai dari pro-kontra kenaikan harga BBM, ketersediaan cadangan migas sebagai BBM,masalah kontrak kerjasama, hingga efisiensi pengelolaan migas itu sendiri diurai secara utuh dan komprehensif. Banyaknya aspek yang dapat diperbincangkan mengenai migas menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan itu di Indonesia. Kalau ditarik menjadi satu, maka permasalahan pengelolaan migas di Negara kita bermuara pada satu hal, lemahnya posisi tawar kita dengan negara lain, khususnya ketika dihadapkan pada kontrak perjanjian pemanfaatan migas dalam negeri. UU Migas No.22 Tahun 2001 menjadi bukti nyata bagaimana campurtangan asing begitu kuat dalam perumusan aturan tersebut, sehingga banyak sekali muncul kontroversial mengenai pasal-pasal yang memberikan kebebasan lebih bagi perusahaan migas asing untuk mengelola migas kita.

Kenyataan di lapangan dan data statistik menunjukkan kecilnya proporsi perusahaan nasional dalam pengelolaan migas dalam negeri, sehingga menyebabkan lemahnya posisi tawar Indonesia sendiri dalam perjanjian kontrak maupun perumusan kebijakan bersama berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya strategis ini. Untuk target produksi minyak rata-rata 970 ribu barel per hari tahun 2011, BUMN Pertamina EP hanya memegang peranan sekitar 13,61% atau sekitar 132 ribu barel per hari. Selebihnya adalah kontraktor asing dan swasta di mana korporasi AS Chevron ditargetkan berkontribusi sebesar 38,14% atau 370 ribu barel per hari (DetikFinance, 23/12/2010). Hanya 13% dari cadangan minyak nasional, tentu bukan prosentase yang cukup besar, dan logikanya ketika pihak Pertamina bersama kontraktor swasta asing lain berkumpul merumuskan suatu perjanjian, tentu pihak Pertamina lebih banyak menjadi pengikut, dibanding kontraktor swasta asing lain yang berusaha menjadikan perjanjian itu mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Peraturan induk UU Migas No.22 tahun 2001 menjadi contoh nyata besarnya pengaruh swasta asing, ketika landasan perundangan mengenai Minyak dan Gas itu bukan saja memberi keleluasaan lebih dan kemudahan untuk mengelola migas nasional, tetapi juga bagaimana “keberhasilan” mereka mendorong pemerintah melakukan reformasi energi, dengan langkah kontroversial untuk menghapus subsidi BBM sehingga harga BBM nantinya diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat (pasal 28 UU No.22 tahun 2001). Lebih lanjut dipaparkan, pada saat UU Migas disahkan, pemerintah telah membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk beroperasi di sektor migas tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Pemerintah juga memberikan izin kepada perusahaan asing membuka SPBU lebih dari 40 perusahaan. Masing-masing perusahaan diperbolehkan membuka sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia. Jika di kalkulasi, sedikitnya 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah ketika harga BBM nantinya sama dengan minyak dunia dan dibuat menyesuaikan itu, bersamaan dengan semakin banyaknya SPBU asing di Indonesia, masyarakat Indonesia tentu beralih ke SPBU asing dengan kualitas migas yang lebih baik. Hal lain yang membuat kita menggeleng-gelengkan kepala adalah bagaimana penjualan gas tangguh kita di pasar internasional. Kontrak penjualan gas Tangguh ke Fujian, China, sangat rendah, hanya US$ 3,35 per mmBtu. Sedangkan harga internasional sekarang berkisar US$ 15 – 20 per mmBtu. Hal kontradiktif yang sangat miris sekali, di saat pemerintah berupaya “mengejar” harga BBM dalam negeri menyesuaikan pada harga minyak dunia, di sisi lain pada sector gas kita seolah-olah secara cuma-Cuma menjual gas kita dengan harga jauh di bawah harga gas internasional. Indonesia seakan-akan dianggap “sangat baik” bagi pihak asing yang bertransaksi dan berinvestasi menggunakan migas kita, mereka mendapatkan “iklim kompetitif dengan adu kualitas”pada sektor minyak dengan mekanisme harga minyak pada pasar, di sector gas mereka memperoleh gas berlimpah dari Indonesia dengan harga yang sangat murah. Fakta mengejutkan lain adalah bagaimana kita melihat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) Migas kita, mulai dari penetapan harga, pajak, bagi hasil, dll. menunjukkan betapa lemahnya bargaining power kita, kekuatan untuk melindungi kepentingan dalam negeri sehingga poin-poin kontrak yang ada lebih banyak memberi keuntungan bagi perusahaan asing. Jenis kontrak PSC (Production Sharing Contract) dengan menggunakan system bagi hasil yang disepakati dari jumlah produksi merupakan cara dan bentuk kontrak yang diambil, tetapi pada penerapannya, keuntungan besar masih menjadi monopoli asing dalam pemanfaatam migas nasional. Adanya cost recovery sebagai biaya produksi yang diganti pemerintah kepada pihak swasta asing tentu memberikan proporsi keuntungan lebih, dan itu menjadi insentif bagi mereka untuk tetap berinvestasi di Indonesia. Durasi kontrak yang diambil antara 10-30 tahun juga memunculkan masalah sendiri karena waktu yang lama itu memberi kesempatan bagi swasta asing untuk memaksimalkan pengurasan migas kita. Masalah lain adalah bagaimana perbedaan perhitungan antara pemerintah dan kontraktor tambang dapat mempengaruhi penerimaan migas kita,Catatan saja, beberapa waktu lalu berdasarkan hasil audit KPK ditemukan tunggakan pajak dari 14 perusahaan tambang migas asing senilai Rp 1,6 triliun yang disebabkan adanya perbedaan tax treaty (perjanjian pajak) dengan beberapa kontraktor kerjasama (KKKS). Akibat perbedaan tax treaty ini, porsi bagi hasil migas pemerintah dengan beberapa KKKS menjadi berkurang. Kompleksnya masalah akibat buruknya posisi tawar Indonesia dalam kontrak pengelolaan migas menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia itu sendiri, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pihak swasta asing, potensi penerimaan negara pun tak bisa dimaksimalkan akibat penetapan harga di bawah harga pasar dalam kontrak tersebut.

Kemudian kita bertanya-tanya, mengapa kita tidak cukup kuat dalam pembahasan maupun negosiasi kontrak pengelolaan migas kita? Bukankah itu adalah kekayaan alam kita? Ada dua hal yang bisa menjawab dan itu menjadi kelemahan Indonesia itu selama ini sehingga negara yang kaya akan sumber daya alam ini justru banyak merana ditimpa masalah kemiskinan dan serba kekurangan. Kendala pertama adalah kendala teknis yaitu masalah infrastruktur dan kesiapan teknologi kita sebagai “senjata”pemanfaatan migas kita. Industri migas memiliki karakteristik padat modal, teknologi, dan analogi keduanya adalah bagaimana kita harus mengukur kekuatan infrastruktur yang ada dan teknologi yang kita pakai. Bukan rahasia lagi Indonesia menggunakan peralatan berumur tua, “belum rusak belum dibuang” dan itu menghambat akselerasi pemanfaatan Pertamina sendiri dalam hal ini sebagai perusahaan migas nasional untuk memproduksi minyak. Masalah klasik dapat dikategorikan bahwa problem utama Indonesia dalam pembangunan ekonominya adalah masalah infrastruktur, baik itu kualitas, pemerataan pembangunannya, sehingga kendala ini selalu menajdi penghambat Indonesia dalam langkah-langkah strategis menyelamatkan migas dalam negeri. Teknologi juga, bagaimana Indonesia berada dua tiga langkah di belakang dunia internasional sehingga Indonesia hanya mampu menjadi follower, dan tertinggal beberapa langkah. Transfer teknologi tentu diharapkan untuk mendukung percepatan Indonesia mengikuti trend technology yang berkembang saat ini. Kendala kedua adalah berupa non teknis, bagaimana birokrasi, penyimpangan wewenang, serta korupsi menjadi ancaman yang dapat menganggu stabilitas perusahaan dalam berinvestasi jangka panjang, dan itu menjadi disinsentif investor dalam negeri untuk mengembangkan usaha dan berinvestasi pada pemanfaatan migas nasional. Berbelit-belitnya pengajuan izin pimpinan daerah, konfrontasi antara pemimpin daerah dengan perusahaan yang akan berinvestasi, serta segala bentuk korupsi menjadi hal yang sangat menganggu dan memberikan efek multiplier negatif bagi Indonesia itu sendiri. Baik secara teknis maupun non teknis, kedua hal ini harus menjadi perhatian bagaimana lemahnya Indonesia pada posisi tawar dalam perjanjian kontrak pengelolaan migas, sebagai bahan koreksi untuk diperbaiki.

Akhir yang harus membawa optimisme, demikian ucapan salah satu tokoh besar yang kami coba representasikan dengan memberi solusi ataupun masukan untuk memperkuat posisi tawar dalam negeri dalam kontrak pengelolaan migas Indonesia. Pertama adalah bagaimana konsolidasi internal itu penting, koordinasi sebagai satu tim, di mana perhatian utama untuk memperbaiki infrastruktur dan mengejar disparitas pemanfaatan teknologi harus segera diimplementasikan dalam bentuk kebijakan dan praktik ke lapangan. Kedua adalah bagaimana kita berusaha untuk menanamkan semangat “Berdikari” yaitu bertekad untuk berdiri di atas kaki sendiri, berusaha, berjuang demi kepentingan nasional sebagai hal yang harus diutamakan, dan itu dapat diimplementasikan dengan memperkuat posisi nasional sendiri sehingga layak dan mampu memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alam milik sendiri, tanpa harus melibatkan peran besar dan campur tangan dari swasta asing. Bolivia, Venezuela sudah membuktikan hal tersebut, tetapi penekanannya adalah bukan secara ekstrim kita menasionalisasikan perusahaan asing dalam negeri, seolah tidak membutuhkan mereka, tetapi bagaimana memperkuat posisi kita, menjadi pihak yang lebih diakomodasi kepentingannya. Ketiga adalah bagaimana kita berusaha untuk berpikir “out of the box” dalam berbagai hal, sebagai stimulus yang dapat melahirkan produk serta terobosan baru. Indonesia sudah lekat akan stigma sebagai “follower” dalam berbagai hal, sehingga kita harus merevolusi pandangan itu dan berusaha menjadi cracker ataupun inventor yang melahirkan hal-hal baru. Ketiga solusi yang diberikan terlihat sangat general, tetapi penekanan kami bagaimana kita Indonesia harus berusaha lebih cerdas dan tegas dalam pembuatan kesepakatan, apalagi berkait dengan kekayaan dan sumber daya alam yang memyangkut hajat hidup orang banyak. Hanya dengan solusi dan karakteristik prinsip cerdas dan tegas, keyakinan dan optimism harus ditanamkan, bagaimana negeri kita, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara kaya akan sumber daya alam, punya cadangan migas yang luas, tetapi juga mampu menjadi pihak dengan bargaining power lebih tinggi pada perumusan kebijakan atapun perjanjian kontrak kerjasama migas. (AEI)

Aldo Egi Ibrahim

 
Renegosiasi Kontrak? Semua Harus Terlibat

Jika bicara soal pengelolaan Migas, kita akan bicara dalam dua hal: sektor hulu dan hilir. Sektor hulu berkenaan dengan eksplorasi dan eksploitasi, sementara sektor hilir mengatur proses pengolahan hingga perniagaan migas (UU 22/2001, pasal 5). Sektor hulu merupakan sektor fundamental yang berkaitang dengan penerimaan negara dan hajat hidup masyarakat, hal ini karena dalam UU jelas dijelaskan bahwa sumber daya alam ialah milik negara dan harus digunakan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Proyek hulu migas adalah proyek Negara kontraktor adalah pekerjanya. Di Indonesia, pengelolaan sektor hulu migas dikelola oleh Badan Pelaksana migas (BP MIGAS). Wewenang BP MIGAS menurut Alfonsus Rinto Pudyantoro, corporate secretary unit BP Migas dalam kuliah umum di UGM ialah:

* Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk BPMIGAS untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu.

* Untuk melakukan Kegiatan Usaha Hulu, Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap (didefiniskan dalam UU 22/2001) wajib mengadakan KKS dengan BPMIGAS.

* Pengendalian Kegiatan Usaha Hulu oleh BPMIGAS dilakukan lewat manajemen operasi KKS yang dipegang oleh BPMIGAS.

* Kegiatan yang yang dikendalikan oleh BPMIGAS adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana didefinisikan dalam UU 22/2001 dan aktivitas (pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan hasil produksi) yang merupakan kelanjutan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut seperti diatur dalam Pasal 26 UU 22/2001.

Salah satu tugas BPMIGAS yang kini menjadi perhatian serius para ahli migas dan ekonom ialah penjualan lahan produksi maupun hasil produksinya. Banyak sekali kerjasama dalam hal eksplorasi MIGAS dengan asing yang sejujurnya isi perjanjian tersebut sudah kadaluarsa. Karena dibuat 20 ataupun 30 tahun yang lalu, sehingga sudah tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini. Kerja sama dalam bidang migas memang selalu dalam jangka waktu yang relatif lama, karena sulitnya eksplorasi dan besarnya risiko yang akan dihadapi oleh kontraktor migas. Namun dalam perjanjian terdahulu tidak terdapat klausul yang menyatakan perjanjian dapar di renegosiasi di tengah kontrak dengan menyesuaikan keadaan yang ada agar tidak ada yang dirugikan. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam perdagangan internasional harus mengutamakan keadilan untuk kedua pihak yang bekerjasama.

Saat ini BP Migas sedang mengupayakan adanya renegosiasi dengan perusahaan asing yang nilai kontraknya dalam perjanjian dianggap terlalu kecil. Hal ini dilakukan untuk menambah pemasukan negara, serta ditegakkannya asas keadilan dalam pembagian hasil bisnis. Baru-baru ini BP Migas sukses memperbaharui dua kontrak perjanjian jual-beli gas bumi ke Perusahaan Gas Negara (PGN) dari lapangan grissik, blokcorridor yang dioperasikan Conoco Phillips dan Pertamina EP di Sumatera Selatan.

Kini BP Migas menggandeng kementerian keuangan dalam renegosiasi kontrak Migas dengan perusahaan asing maupun lokal. Hal ini seharusnya dilakukan sejak awal agar tidak terjadi salah persepsi antara pemerintah dan BP Migas, maupun perusahaan kontraktor tentang berapa besar bagian pemasukan negara sebagai pemilik ‘harta karun’ dalam kontrak tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya renegosiasi mengalami beberapa hambatan, diantaranya tidak ada itikad baik dari sebagian kontraktor untuk duduk bersama meneliti ulang untuk merubah beberapa butir dalam kesepakatan, karena mereka menganggap bahwa di awal kontrak tidak tertulis akan adanya renegosiasi, maka mereka menganggap renegosiasi hanya akan merugikan pihak kontraktor saja, karena mereka tentu tidak ingin keuntungan mereka berkurang. Selain itu dengan diperbolehkannya renegosiasi akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum. Jika harga berubah mungkin harga bisa menyesuaikan, namun jikalau ada kerugian dan resiko besar, maka pihak kontraktor dapat menuntut pemerintah untuk ikut membantu mengatasi permasalahan mereka walaupun seharusnya resiko adalah tanggung jawab kontraktor secara penuh.

Jadi dalam merenegosiasi kontrak migas yang lama harus melibatkan berbagai pihak agar tidak terjadi kerancuan dan salah persepsi di masa mendatang. Dan tetap harus menganut berdasarkan UU yang kita miliki. Jangan mau lagi kita dibodohi oleh asing ataupun oknum yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri. Sudah saatnya kita semua ikut mengawasi jalannya renegosiasi kontrak migas ini. Mari kita jaga dan awasi prosesnya serta kita lindungi alam kita jika terjadi hal-hal yang tidak seharusnya pihak kontraktor lakukan.

Fikri Nuru Jaman


Renegosiasi Kontrak Pertambangan Migas


Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengklaim sukses renegosiasi harga gas domestik untuk lima kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Menurut BP Migas, harga gas domestik lima KKKS ini sudah naik menjadi 5 dollar AS sampai 6 dollar AS per juta british thermal unit (mmbtu).

Deputi Pengendali Operasi BP Migas, Rudi Rubiandini mengatakan, adapun KKKS yang berhasil mendapatkan kenaikan harga gas itu adalah Santos Indonesia (Lapangan Maleo), HESS Indonesia (Lapangan Ujung Pangkah), JOB Pertamina-Talisman (Lapangan Jambi Merang), PT Medco E&P Indonesie dan ConocoPhilips.

"Dengan kenaikan harga gas ini, diharapkan bisa menambah penerimaan negara dan disparitas dengan harga ekspor tidak terlalu besar," ujar Rudi Rubiandini, Kamis (3/5/2012).

Rudi mengaku, revisi harga gas akan menjamin pasokan produsen gas dari hulu sampai hilir. Dengan kenaikan harga gas tersebut, produsen gas bisa tetap hidup dan mengembangkan lapangan yang mereka miliki.

Selanjutnya, produsen gas juga bisa memperbanyak produksi dan pasokan gas ke hilir. Adapun harga gas yang sudah naik itu adalah; harga gas untuk PGN, PLN dan Malaysia. Menurut Rudi, PGN sepakat menaikkan harga gas dari Lapangan Maleo dari 2,4 dollar AS mmbtu menjadi 5 dollar AS per mmbtu.

Begitu juga dengan harga beli gas PLN yang dari Hess Indonesia dan PT Medco Energy di Jawa Timur naik dari 2,38 dollar AS per mmbtu menjadi 5,1 dollar AS per mmbtu.

Kemudian, pasokan dari Medco Energy untuk PLTGU Borang naik dari 2,42 dollar AS per mmbtu menjadi 4,45 dollar AS per mmbtu. Sedangkan gas dari PLTGU Inderalaya naik dari 2,68 dollar AS per mmbtu menjadi 4,3 dollar AS per mmbtu

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kebijakannya pekan lalu juga menyoroti masalah renegosiasi kontrak tambang migas ini. Ia bilang kontrak tambang yang sudah dibuat puluhan tahun yang lalu ini sudah tidak relevan dengan kondisi yang berkembang saat ini. "Etikanya seluruh bangsa harus menghormati kontrak, menurut saya jika kontrak itu tidak adil, kita harus bicara baik-baik agar dibikin adil dan tepat," ungkapnya.

Ia juga mendorong Kementerian terkait untuk menindaklanjuti upaya pembaruan kontrak migas dengan cara melakukan renegosiasi. Perbedaan perhitungan bagi hasil tambang migas antara pemerintah dan kontraktor tambang mendorong pemerintah untuk melakukan renegosiasi kontrak tambang migas. Nantinya, Kementerian Keuangan yang akan terlibat dalam renegosiasi kontrak migas ini.

Yang menjadi kekeliruan mendasar dalam pengelolaan minyak bumi Indonesia hari ini adalah hilangnya Hak Menguasai Negara (HMN) atas tambang minyak mulai dari sumur, kilang, dan tangki, yang berdampak pada berkurangnya penerimaan negara dan pasokan minyak bumi sehingga tidak mampu melindungi tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu yang dibutuhkan adalah renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan Migas dan perubahan Undang-Undang Migas. (AHA)

Abdul Hafizh Asri








Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: FEB UGM Template by Bamz | Publish on Bamz Templates