Senin, 14 Januari 2008

Perbuatan baik dan analisa biaya-manfaat -- Akhmad Rizal Shidiq

Di bagian majalah yang terbit tiap akhir pekan, harian New York Times, 13 Januari 2008, menurunkan tulisan amat menarik, walaupun agak panjang, dari Steven Pinker, Professor Psikologi dari Harvard. Judulnya “The Moral Instinct”.

Isi tulisan tersebut kira-kira mengurai bagaimana soal moral (perbuatan baik) diterangkan secara positivistik (alih-alih normatif) melalui pendekatan interdisiplin game theory, neuroscience, dan evolutionary biology --saya agak repot menerjemahkan ketiganya dalam Bahasa Indonesia, jadi biarlah seperti itu.

Dari situ saya belajar banyak hal baru. Misalnya bagaimana ilmu saraf menjelaskan secara fisiologis reaksi bagian otak tertentu ketika dihadapkan pada dilema moral, juga antropologi dan psikologi sosial memetakan beberapa nilai moral yang kurang lebih universal dan juga asal usulnya (genealogy).

Dengan segala keterbatasan terhadap ilmu-ilmu di atas, yang paling menarik buat saya adalah dengan bantuan penjelasan interdisiplin sekalipun --terutama evolutionary biology dan game theory--; soal moral (atau kenapa orang berbuat baik untuk orang lain) ternyata tidak terlalu jauh dari pertimbangan biaya-manfaat.

Bagaimana ceritanya? Pinker, mengutip biolog Robert Trivers, menyatakan bahwa dalam seleksi alam, strategi paling maksimal (tit-for-tat game, bagi yang familiar dengan game theory) bagi manusia adalah berbuat baik pada pihak lain (menjadi moralis). Dalam setting interaksi tersebut, si pelaku kebaikan tentu tidak mau dibalas dengan kejahatan, sehingga lebih memilih partner sesama pelaku kebaikan. Karena ada potensi keuntungan (gain) dalam interaksi resiprositas, maka orang berkompetisi untuk masuk dalam interaksi tersebut, alias menjadi baik.

Dalam jangka pendek, orang bisa saja pura-pura baik, tetapi dalam jangka panjang (repetitive game), strategi yang paling efektif, ya benar-benar berbuat baik.

Ini soal maksimisasi dan analisa biaya manfaat, bukan?

Di bagian lain, ketika mempertanyakan apakah soal moral ini cuma sesuatu yang semu dan sifatnya subjektif, Pinker menggunakan pendekatan filsafat Plato: ada suatu realitas abstrak (Plato realm) yang bernama kebenaran moral, seperti hal nya kebenaran matematika, yang harus digali. Manusia terlahir dilengkapi konsep mentah moral, --seperti halnya angka atau bilangan--, yang bila dilakukan operasi tertentu (reasoning), --misalnya operasi matematika--, akan menghasilkan kebenaran (truths) yang sifatnya objektif.

Soalnya kemudian bagaimana caranya kemudian manusia sampai pada kebenaran moral yang objektif tersebut --alias ada sesuatu yang baik dan buruk yang ditentukan secara objektif? Operasi atau reasoning seperti apa yang dilakukan?

Pinker, lagi-lagi, menggunakan logika game theory di atas. Dalam kehidupan, yang sebagian besar bukan zero sum game, berbuat baik untuk orang lain adalah strategi yang paling optiman. Inilah reasoning --sesuatu yang identik dengan operasi matematika dalam kasus konsep bilangan-- yang membawa kita pada realitas objektif moral

Oh ya, logika game theory tersebut di atas berangkat dari premis bahwa manusia mengoptimalkan utilitasnya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian berbuat baik.

Demikian.

** Akhmad Rizal Shidiq adalah dosen FEUI, peneliti LPEM, dan anggota Cafe Salemba. Rizal menulis dari George Mason University.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►