Selasa, 15 Januari 2008

POLEMIK APBN 2008
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang menjadi salah satu penggerak laju perekonomian nasional. APBN menjadi penjabaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja ekonomi. Oleh karena itu, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang cukup penting dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.

APBN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perekonomian secara agregat. Setiap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel ekonomi makro akan berpengaruh pada besaran-besaran APBN. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan APBN pada gilirannya juga akan mempengaruhi aktivitas perekonomian.

Pada prinsipnya APBN merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap aktivitas perekonomian dalam rangka menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Adapun fungsi pokok kebijakan anggaran Pemerintah adalah; (i) fungsi alokasi, (ii) fungsi distribusi, dan (iii) fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan kebijakan anggaran Pemerintah dalam rangka memberikan stimulasi kepada perekonomian baik melalui instrumen penerimaan (insentif) maupun belanja (anggaran sektoral). Fungsi distribusi berkaitan dengan upaya Pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat (pemerataan). Sementara itu fungsi stabilisasi berkaitan dengan peran kebijakan anggaran Pemerintah dalam rangka mengurangi gejolak perekonomian (counter-cyclical) yang dilakukan baik melalui kebijakan belanja maupun penerimaan negara. Hal ini terkait erat dengan fungsi kebijakan fiskal sebagai instrumen pengelolaan ekonomi makro (macroeconomic management) dari sisi permintaan agregat (aggregate demand).

Mengingat kebijakan anggaran negara melalui APBN merupakan bagian integral dari perilaku perekonomian secara keseluruhan, maka besaran-besaran pada APBN secara langsung maupun tak langsung akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum, dampak kebijakan APBN terhadap ekonomi makro dapat diamati dari pengaruhnya terhadap tiga besaran pokok berikut ini:
(i) sektor riil (permintaan agregat)
(ii) moneter, dan
(iii) neraca pembayaran (cadangan devisa)

Selain mengacu pada RKP tahun 2008, penyusunan RAPBN Tahun 2008 dilakukan dengan mempertimbangkan: (i) faktor-faktor eksternal, seperti kinerja perekonomian internasional dan harga minyak mentah internasional yang mempengaruhi perkembangan berbagai indikator ekonomi makro sehingga pada gilirannya berpengaruh terhadap besaran pendapatan nasional, belanja negara, dan pembiayaan anggaran, (ii) berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi, (iii) penilaian (assessment) terkini atas kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam negeri pada tahun berjalan, serta perkiraan prospek pada tahun mendatang, serta (iv) perkiraan realisasi pelaksanaan APBN tahun berjalan.

Prospek kinerja perekonomian nasional dalam tahun 2008 khususnya beberapa indikator utama ekonomi makro, merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penentuan besaran-besaran RAPBN tahun 2008. Indikator-indikator utama ekonomi makro tersebut yang mendasari perhitungan besaran-besaran RAPBN Tahun 2008 adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan volume lifting minyak mentah Indonesia.

Berikut adalah hasil kajian internal BEM FE Unpad terhadap RAPBN 2008 yang diajukan oleh pemerintah, terutama mengkritisi beberapa hal “aneh” yang terkait dengan gejolak harga minyak dunia:

Dalam sebuah reportase, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan bahwa lonjakan harga minyak mentah dunia yang terus mendekati level US$ 100 per barel telah mendongkrak Pajak Penghasilan (PPh) migas tahun ini sebesar 4 –5 triliun rupiah. Menurut Darmin Nasution, kenaikan harga minyak mentah otomatis mendorong kenaikan PPh migas, khususnya pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Soalnya, kenaikan harga minyak dunia turut mengangkat harga komoditas lain seperti batubara, gas, dan minyak sawit mentah (CPO). "Penerimaan PPh migas tahun ini bisa naik Rp 4 – 5 triliun dari target APBN-P 2007. Peningkatan paling besar terjadi pada PNBP," tuturnya. Dia menambahkan, besaran penerimaan negara dari PPh migas dan pungutan ekspor (PE) CPO tetap lebih besar dibanding subsidi BBM dan listrik yang naik akibat tekanan harga minyak dunia. "Walaupun subsidi BBM dan listrik naik akibat pelonjakan harga minyak mentah, penerimaan migas masih lebih tinggi dari kenaikan subsidi," ujarnya.

Mungkin itulah yang mendasari pemerintah tetap menggunakan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barel pada RAPBN 2008. Mungkin pemerintah menggunakan data tersebut sehingga dengan hitungan matematis kenaikan penerimaan migas masih lebih tinggi dibandingkan kenaikan subsidi akibat “selisih yang disengaja”. Dikatakan demikian karena walaupun harga minyak dunia masih berada di level tinggi bahkan mencapai US$ 98 per barel, pemerintah tetap keukeuh menggunakan asumsi US$ 60 per barel.
Ini adalah sebuah hal yang aneh karena pemerintah tidak belajar dari pengalaman tahun 2007. Data di sebuah media menyebutkan bahwa dengan asumsi yang sama (US$ 60 per barel), tahun 2007 kemarin pemerintah harus mengeluarkan subsidi BBM tambahan dari Rp 55,6 triliun menjadi Rp 91 triliun, dan subsidi listrik dari Rp 32,4 triliun menjadi Rp 50 triliun. Sekarang mari kita bandingkan dengan pernyataan ditjen pajak yang mengatakan kenaikan penerimaan PPh migas sebesar Rp 4 – 5 triliun. Sudah jelas ada hal yang sangat kontradiktif terjadi di sini. Bagaimana mungkin angka satu digit dapat dikatakan lebih besar dari angka dua digit?
Dan semakin aneh lagi, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa walaupun Indonesia adalah negara pengekspor minyak, namun ironinya saat ini kita adalah tergolong negara net-importir minyak. Ya, hal ini karena kita walaupun memang mengekspor minyak mentah, tetapi mengimpor minyak siap konsumsi yang harganya tentu lebih mahal. Lalu dimanakah keuntungan yang didapat dari kenaikan harga minyak tersebut? Kemudian pemerintah dalam nota keuangan 2008 mengatakan: Harga rata-rata minyak ICP dalam tahun 2008 diperkirakan berada pada US$60 per barel. Harga ini tidak berbeda apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi rata-rata harga minyak ICP dalam RAPBN-P Tahun 2007 yang mencapai US$60 per barel. Perkiraan harga minyak mentah ICP dalam RAPBN Tahun 2008 terkait dengan perkiraan menurunnya permintaan minyak mentah internasional sejalan dengan perkiraan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 2008 dan masih tingginya harga minyak mentah internasional dalam tahun 2007.

NAMUN dalam nota keuangan yang sama di halaman yang berbeda, dikatakan: Relatif masih kondusifnya kinerja perekonomian internasional memberikan harapan positif bagi prospek perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia, harga minyak mentah internasional yang relatif stabil, serta kecenderungan kebijakan moneter global yang cenderung bias netral. Ada 2 hal yang patut dikritisi:

1. Di satu sisi pemerintah mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat. Namun di sisi lain ternyata pemerintah pun menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia masih menguat. Hal ini menjadi paradoks, karena tentu saja pemerintah tetap bertahan di angka US$ 60 per barel adalah karena asumsi pertama. Tapi hal tersebut langsung dipatahkan oleh asumsi ke dua. Mana yang sebenarnya lebih dipercaya oleh pemerintah? Jika memang yang ke dua, maka pemerintah tidak boleh bertahan di asumsi US$ 60 per barel, karena pertumbuhan ekonomi dunia yang kuat tentunya akan membutuhkan konsumsi energi yang tetap tinggi.
2. Pemerintah mengatakan bahwa asumsi US$ 60 per barel adalah ada hubungannya dengan tingginya harga minyak mentah internasional tahun2007. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa harga minyak mentah internasional relatif stabil. Bila demikian, seharusnya asumsi US$ 60 per barel tidak digunakan, karena harga di tahun 2007 mendekati angka US$ 100 per barel. Akan lebih wajar dan konsisten bila pemerintah menggunakan asumsi yang lebih dekat dengan harga minyak mentah di tahun 2007 tersebut.

Sekarang, mari kita lihat dari tinjauan logika ilmu ekonomi. Secara logika ekonomi, kenaikan harga suatu komoditi bisa disebabkan permintaan yang meningkat melebihi persediaan. Naiknya permintaan minyak dunia disebabkan karena meningkatnya kebutuhan minyak bumi untuk konsumsi maupun produksi. Di sisi persediaan, secara global cadangan minyak bumi sudah mulai menipis. Amerika bahkan mengumumkan cadangannya menurun sebesar 800 juta barel. Demikian juga dengan negara – negara produsen minyak lainnya, termasuk Indonesia.
Pemerintah jelas berharap permintaan energi dunia akan berkurang di tahun 2008 sehingga mampu menurunkan harga minyak, namun tidakkah seharusnya kita menyadari bahwa justru konsumsi energi akan banyak digunakan di tahun 2008. Sebutlah event olimpiade dunia yang akan diselenggarakan di China, sementara kita mengetahui bahwa China banyak menggunakan sumber energi dari luar negaranya. Begitu pula akan ada event euro di eropa yang juga tentunya akan menyerap energi banyak. Belum lagi siklus musim dingin dan salju yang akan tetap hadir rutin setiap tahunnya di eropa, amerika, rusia, maupun berbagai belahan dunia lainnya (dan ini disinyalir cukup membawa pengaruh kuat dalam peningkatan harga minyak).
Jika kita berbicara faktor dalam negeri, dampaknya diperparah menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia (sisi supply) yang tidak diikuti oleh menurunnya sisi permintaan (konsumsi minyak). BAHKAN pemerintah (Bappenas) pun BELUM begitu yakin apakah TARGET PRODUKSI MINYAK Indonesia sebesar 1.034 juta barel per hari bisa diwujudkan untuk meningkatkan sisi penerimaan dari pos ekspor minyak bumi. Data yang ada menunjukkan bahwa bahkan dalam APBN-P 2007 sekalipun yang menggunakan asumsi lifting sebesar 950 ribu barel per hari, ternyata hanya dapat terealisasi 910 ribu barel per hari. Lalu dari mana pemerintah mendapatkan keyakinan produksi 1 juta barel per hari?
Patut juga dicermati apa yang dikatakan oleh ekonom Faisal Basri, yang mengatakan “ Setiap kenaikan harga minyak US$ 10 per barel akan meningkatkan defisit Rp 0,4 – 0,5 triliun. Kalau tahun 2008 lifting minyak dinaikkan menjadi 1,034 juta barel per hari, akan memicu defisit yang lebih besar lagi.” Di samping itu, meningkatnya penjualan otomotif (akibat sinergi perusahaan otomotif dengan perusahaan leasing) malah makin meningkatkan konsumsi minyak bumi Indonesia. Data dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menyebutkan pada tahun 2007 sekitar 80% - 90% pembelian kendaraan dilakukan secara kredit. Hal ini berarti akan memudahkan setiap orang untuk memiliki motor ataupun mobil dan selanjutnya meningkatkan konsumsi BBM.
Pemerintah pun tampaknya harus berpikir ulang tentang inflasi yang akan terjadi. Asumsi penurunan inflasi yang terus terjadi tampaknya harus dikaji ulang. Banyak hal memang yang terkait dengan inflasi. Namun jika ditinjau dari hubungannya dengan gejolak harga minyak dunia, maka kita dapat melihat bahwa program konversi minyak tanah ke gas merupakan salah satu pemicu inflasi. Dan program tersebut merupakan tindakan pemerintah mengamankan anggaran karena tentunya akan mengurangi konsumsi minyak bumi dalam negeri dan subsidi yang diberikan. Namun ironisnya justru hal ini akan menjadi penyebab inflasi dan ketidakmakmuran masyarakat yang telah lama bergantung pada minyak tanah.
Sebagai penutup, ada beberapa hal yang pada akhirnya BEM FE Unpad sarankan:
1. Mengubah asumsi – asumsi APBN dalam besaran yang lebih realitis, terutama yang terkait dengan gejolak harga minyak dunia. Dengan mengambil asumsi yang lebih realitis, pemerintah dapat mempersiapkan rencana pemasukan dan alternatif sumber pembiayaan dengan lebih baik dan lebih awal, sehingga tidak akan menimbulkan kepanikan nantinya ketika defisit anggaran tiba – tiba membengkak.
2. Alternatif sumber pembiayaan hendaknya tidak memberatkan masyarakat. Dan tidak juga dengan merekayasa sesuatu yang pada akhirnya pun merugikan masyarakat. Tidak juga dengan memperbesar hutang berlebihan yang suatu saat nanti justru akan merugikan generasi masa depan.
3. Tingkatkan kemampuan teknologi anak bangsa sehingga minyak Indonesia tidak berharga murah di pasar internasional.
4. Tingkatkan produksi komoditas pertanian, karena ternyata saat harga minyak melambung, harga komoditas pertanian Indonesia pun melambung di pasaran dunia. Tantangan Indonesia adalah mendorong produktivitas komoditas unggulan ini.
5. Tingkatkan efisiensi pasar dan hapus ekonomi biaya tinggi. Jika efisiensi pasar baik dan supremasi hukum berjalan dengan baik, maka dampak dari kenaikan harga minyak tidak akan sebesar kalau efisiensi pasar tidak dijalankan serta berbagai pungutan liar dibiarkan begitu saja.
6. Tutup kebocoran anggaran. Pemerintah mengatakan akan melakukan penghematan anggaran departemen / lembaga pemerintah sebesar Rp 11,7 triliun, tapi tahun 2003 BPK melaporkan bahwa kebocoran APBN mencapai 150 trilliun.

JAYALAH INDONESIAKU....

- BEM FE UNPAD -

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara Template by Bamz | Publish on Bamz Templates