Senin, 18 Februari 2013

Bagaimana Wajah Birokrasi Kita?

“The only thing that saves us from the bureaucracy is inefficiency. An efficient bureaucracy is the greatest threat to liberty.”
Eugene McCarthy

“Bureaucracy is the art of making the possible impossible.”
Javier Pascual Salcedo

Manusia di dunia ini hidup dalam sebuah sistem. Terbentuknya sistem yang seharusnya memudahkan itu biasanya dijalankan oleh pegawai pemerintah di suatu negara dan amat bergantung pada hirarki atau jenjang jabatan. Itulah yang disebut dengan birokrasi. Salah satu definisi harafiahnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Dari pengertiannya saja birokrasi dapat dikategorikan cukup rumit. Coba perhatikan ungkapan di atas, birokrasi adalah seni membuat sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin, dengan kata lain penuh permainan, kotor, dan tidak beradab. Benarkah seperti itu?

Di Indonesia sendiri, permasalahan birokrasi masih menjadi kendala utama bagi masyarakat dalam mendapatkan kemudahan berusaha, pembuatan identitas, hingga pengurusan perizinan. Semua hal tersebut memerlukan sebuah proses panjang yang bisa dikatakan kurang efisien. Buruknya citra birokrasi Indonesia tercermin dalam rendahnya pelayanan publik dewasa ini. Berbagai program dan langkah telah dilakukan pemerintah, perlahan memang ada kemajuan namun belum signifikan. Bahkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara ditambahkan fungsinya menjadi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi semata untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Sebenarnya, secara kebermanfaatan, birokrasi adalah upaya terbaik dalam mensistematiskan, mempermudah, mempercepat, mendukung, mengefektifkan, dan mengefisienkan pencapaian tujuan-tujuan pemerintahan. Salah satunya dengan memudahkan masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk memperoleh layanan dan perlindungan. Indikator inilah yang nantinya dapat menjelaskan apakah birokrasi menjadi penyebab inefisiensi pemerintah, utamanya pemerintah daerah. Banyak variabel yang diperlukan untuk menjabarkannya. Menurut Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia menempati peringkat ke-155 dari 183 negara untuk memulai sebuah usaha dan peringkat ke-131 dari 183 negara dalam kemudahan pembayaran pajak. Peringkat ini jauh dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Malaysia yang telah bertengger di peringkat dua puluh besar. Selain itu, baru-baru ini World Economic Forum (WEF) mempublikasikan laporan tahunan mengenai daya saing global, yaitu The Global Competitiveness Report 2011-2012, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 4 dari 6 negara di Asia Tenggara yang masuk dalam perhitungan survey. Salah satu kelompok indikatornya adalah kelompok penopang efisiensi, dengan elemen institusi sebagai salah satu di dalamnya.

Jika kita ingin memberikan contoh dimana letak buruknya birokrasi Indonesia, coba tengok proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) di daerah masing-masing. Biaya pembuatan yang seharusnya terjangkau menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dari seharusnya akibat ulah oknum maupun keinginan pengaju untuk menjalani proses yang lebih cepat. Sebenarnya, ada beberapa faktor yang membuat hal ini terjadi, diantaranya: “paksaan” dari petugas untuk mempersingkat proses melalui uang “pelicin” sehingga terjadilah suap. Inilah lemahnya birokrasi, membutuhkan proses yang panjang dan menjadi celah timbulnya KKN; masyarakat sendiri tak ingin bertele-tele dalam proses sehingga rela mengeluarkan biaya lebih untuk menempuh jalur pintas. Kesempatan ini digunakan dengan memposisikan diri sebagai penyuap yang otomatis turut menyuburkan korupsi; dan terakhir lemahnya pengawasan meskipun regulasi yang ada mungkin telah cukup jelas dan rinci. Disitulah letak “kecolongan” kembali birokrasi melalui SDM nya yang masih berkualitas bawah.

Marilah kita kembalikan lagi apa sebetulnya fungsi dari birokrasi. Mengefisienkan sebuah sistem pemerintahan. Terlihat dari indeks persepsi korupsi oleh Transparency International tahun 2011, Indonesia menempati peringkat ke-100 bersama sebelas negara lain dengan nilai 3,0 (skala 0 paling korupsi – 10 paling bersih) yang tergolong masih cukup parah. Dari penilaian ini, korupsi tercipta salah satunya dari proses birokrasi yang sulit dan disengajakan panjang untuk menambah pundi-pundi mereka yang tidak bertanggung jawab. Efisiensi pemerintah daerah perlu ditelaah lebih lanjut, melalui bagaimana penyaluran APBD nya, bagaimana pengelolaan keuangannya, dan lain sebagainya. Birokrasi hanya merupakan salah satu penentu yang diibaratkan kunci dari segala pintu.

Masalah ini tentunya dapat diselesaikan dengan berbagai langkah konkret dan konsisten. Misalnya, pembentukan layanan pengaduan yang lebih efektif, pengefektifan “meja” dalam sebuah alur pengajuan suatu permohonan, hingga tindakan sangat tegas kepada petugas yang berani melakukan tindakan melawan hukum atau di luar undang-undang. Transparansi publik dan akuntabilitas juga merupakan syarat mutlak yang dapat meningkatkan peranan kontrol sosial masyarakat demi menuju terciptanya sistem birokrasi ideal. Negeri ini memang membutuhkan sebuah gebrakan kuat yang tidak bisa lagi memaklumi sana-sini. Perlu dukungan riil dari berbagai pihak terutama masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dunia birokrasi. Dengan tekad, usaha, dan keyakinan yang bulat niscaya perwujudan sebuah negara yang lebih baik dan bersih akan tercipta. Birokrasi bukan masalah waktu ataupun materi tapi perihal kemauan untuk melayani dengan hati.


Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►