Sabtu, 09 Februari 2013

Mau Dibawa Ke Mana Anggaran Kita?

-->
Mau Dibawa Ke Mana Anggaran Kita?
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM premium dari Rp 4.500/liter menjadi Rp 6.000/liter yang akan mulai berlaku pada 1 April 2012 menuai banyak pro dan kontra. Meskipun demikian, pemerintah tetap bersikukuh untuk menaikkan harga BBM mengingat tingkat urgensinya yang tinggi, yaitu berkenaan dengan naiknya harga minyak dunia dan pembengkakan pengeluaran negara untuk subsidi BBM.
Data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menunjukkan bahwa apabila harga BBM tidak dinaikkan maka anggaran subsidi BBM tahun ini akan membengkak menjadi Rp 178,67 triliun dari Rp 123,6 triliun yang dianggarkan dalam APBN 2012. Angka itu terlalu besar untuk hanya dialokasikan ke dalam bentuk subsidi BBM yang notabene tidak tepat sasaran dan tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Maka dari itu, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tingkat harga BBM premium sebesar Rp 1.500/liter sehingga mampu mengurangi pembengkakan anggaran sebesar Rp 41,29 triliun, yaitu dari Rp 178,67 triliun menjadi Rp 137,38 triliun.
Kenaikan harga BBM ke level Rp 6.000/liter tersebut sudah dipastikan. Namun, yang masih menjadi pembahasan para otoritas kebijakan adalah akan dialokasikan ke mana anggaran yang berhasil dihemat dari pencabutan subsidi itu. Akhir-akhir ini, sempat mencuat isu bahwa sebagian besar dana penghematan tadi akan dialokasikan untuk bantuan langsung tunai (BLT) sementara bagi masyarakat miskin. Namun, alokasi yang demikian itu dirasa tidak efektif mengingat masih banyak sektor yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit, selain pembangunan infrastruktur dan transportasi, yaitu sektor pendidikan.
Mengapa pendidikan? Karena, pendidikan merupakan investasi jangka panjang suatu negara dan merupakan salah satu indikator kesuksesan pembangunan nasional. Memang, sudah diamanahkan dalam UUD 1945 bahwa lebih dari 20% pengeluaran negara haruslah dialokasikan ke sektor pendidikan. Namun, realita menunjukkan bahwa 20% tersebut belum mampu mencukupi semua kebutuhan pendidikan dasar di Indonesia yang merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia(berada di belakang China, India dan Amerika Serikat). Kita masih bisa melihat bahwa infrastruktur pendidikan di Indonesia masih buruk, banyak gedung-gedung sekolah yang tidak layak huni. Bahkan di beberapa daerah, pendidikan menjadi sesuatu yang langka dan sulit dijangkau karena keterbatasan akses menuju sekolah-sekolah itu sendiri.
Permasalahan yang lebih pelik adalah masih adanya anak-anak usia sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan karena keterbatasan biaya. Padahal, sudah menjadi kewajiban negara untuk memelihara dan menjamin pendidikan dasar bagi anak-anak tersebut. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan: negara sudah mengalokasikan dana yang besar (lebih dari 20% dari APBN) ke sektor pendidikan, namun mengapa kebutuhan pendidikan dasar pun belum terpenuhi? Hal ini disebabkan oleh pengeluaran itu lebih banyak dialokasikan dalam bentuk gaji pegawai, sehingga investasi dalam infrastruktur dan subsidi pendidikan masih belum maksimal.
Oleh karena itu, merupakan suatu langkah yang tepat apabila negara mengalokasikan dana penghematan subsidi BBM ke sektor pendidikan mengingat peranannya sebagai bentuk investasi jangka panjang. Hal tersebut akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan akses terhadap pendidikan, mengurangi angka putus sekolah, sehingga masyarakat Indonesia mampu mendapatkan tingkat pendidikan yang layak. Mengingat begitu pentingnya peranan pendidikan, sudah seharusnya bahwa pendidikan ini menjadi perhatian utama semua kalangan, terutama pemerintah dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar di sektor ini. (NW)
Subsidi BBM Dicabut, Dunia Pendidikan Meringis
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi berimbas kepada sektor lain seperti dunia pendidikan. Mungkin tidak banyak yang sadar bahwa dunia pendidikan merupakan salah satu sektor yang mengalami imbas paling besar dari kebijakan ini. Karena mengabaikan sektor pendidikan sama saja dengan menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang saat ini sedang dalam tren pertumbuhan yang positif. Jika terus dibiarkan, hal itu akan menurunkan Global Competitivenes Index (GCI). Untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM pada awal April ini terhadap dunia pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh telah menyiapkan dana tambahan pendidikan dalam APBNP senilai Rp 11,2 triliun.
Mendikbud juga telah membuat beberapa peraturan bagi dunia pendidikan di Indonesia diantaranya, sejak akhir 2011, melalui Peraturan Menteri Nomor 60 Tahun 2011 telah dikeluarkan larangan pungutan bagi sekolah di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP negeri) untuk biaya-biaya investasi dan operasional sekolah. Di jenjang pendidikan tinggi, Dirjen Dikti juga telah mengeluarkan edaran tentang imbauan bagi pengelola perguruan tinggi negeri untuk tidak menaikkan SPP pada tahun akademik 2012–2013.
Ini adalah rincian pembagian subsidi tambahan bagi dunia pendidikan, di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) melalui APBN-P diusulkan untuk menambah jumlah sasaran dari 3,5 juta siswa menjadi 9,8 juta siswa yang mendapat subsidi (bantuan operasional sekolah). Adapun nominal jumlah bantuan per siswa pun ditingkatkan dari Rp360.000 per siswa per tahun untuk siswa SD menjadi Rp450.000. Untuk siswa SMP dari 1,3 juta siswa menjadi 2,7 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp550.000 menjadi Rp750.000 per siswa per tahun. Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, SMA dan SMK, dari jumlah 1,2 juta siswa menjadi 1,5 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp780.000 per anak per tahun menjadi Rp1 juta per anak per tahun. Dari penambahan tersebut, Kemendikbud telah meningkatkan jumlah penerima bantuan untuk peserta didik dari keluarga tidak mampu dalam bentuk SSM, baik siswa maupun mahasiswa dari sebelumnya 6 juta orang menjadi 14 juta, dari nilai sebelumnya Rp3,8 triliun menjadi Rp7,6 triliun. Untuk mahasiswa PTN juga akan mendapatkan subsidi pendidikan dalam bentuk subsidi Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Hal ini dilakukan agar PTN di seluruh Indonesia tidak menaikkan biaya kuliah di semester selanjutnya. Subsidi ini mencapai Rp 1,2 triliun yang akan dibagi untuk 92 PTN yang ada di tanah air. Terkait subsidi ini, pemerintah sudah mulai memproses dan bulan depan mulai disalurkan. Jika ada PTN yang tak melaksanakan atau malah menaikkan SPP tentunya Kemdikbud akan memberikan teguran.
Kemendikbud juga me­nam­bah 10 ribu beasiswa Bidik Misi untuk PTN dan mulai tahun ini, ada 2.000 beasiswa ‘Bidik Misi’ untuk PTS. Kuota untuk program Bidik Misi bagi mahasiswa mis­kin yang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) tahun ini men­capai 40 ribu mahasiswa atau bertambah 10 ribu dari tahun lalu. Kebijakan ini, di­tempuh agar tidak ada lagi siswa dari keluarga miskin yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan akibat faktor ekono­mi. Karena pemahaman lebih baik putus sekolah atau tidak sekolah agar bisa membantu orang tua menambah pendapatan atau penghasilan ketimbang tetap bersekolah yang masih sangat melekat di sebagian masyarakat kita. Dan juga untuk melanjutkan tren positif dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bangsa kita yang masih tergolong rendah di kawasan asia.
Mari kita berharap dan yakin bahwa keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi adalah yang terbaik bagi kita dan negara. Karena jika tidak mengurangi subsidi BBM, kestabilan kas negara akan terganggu, dan berakibat kepada sektor lain yang dana APBN nya harus dikurangi untuk menanggulangi pembengkakkan subsidi BBM ini, selain itu kepercayaan bangsa ini di mata internasional jua akan terkikis karena tetap memaksakan untuk mensubsidi BBM dan membahayakan kas negara yang mengancam krisis keuangan di Asia khususnya dan di dunia pada umumnya. Sudah saatnya kita berfikir secara realistis dan menggunakan hati nurani serta moral kita, jangan mau hanya dipermainkan oleh politisasi di sebagian media cetak maupun elektronik yang hanya menampilkan efek negatif dari kebijakan kenaikan BBM ini dan mendoktrin kita semua untuk selalu pesimis dengan keadaan bangsa. Mari pemuda-pemudi bangsa saatnya kita berkarya dengan cara yang terbaik yang kita bisa berikan kepada bangsa ini. Jangan ada lagi pesimisme di hati kita, sudah saatnya kita optimis dengan pemuda-pemudi bangsa kita yang penuh harapan dan semangat mudanya akan membawa indonesia lebih baik di masa mendatang. (FNJ)
Dampak Pengalokasian Subsidi BBM ke Sektor Pendidikan
Kenaikan BBM yang direncanakan akan di berlakukan awal April 2012 sepertinya memang tidak bisa dihindarkan. Kebijakan ini tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi BBM kita, ditambah naiknya harga minyak dunia dan membuat alokasi anggaran meningkat. Mungkin saja upaya pencabutan subsidi BBM ini adalah langkah positif dari pemerintah, tidaklah patut kita berprasangka buruk terlebih dahulu.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat menimbulkan beban untuk masyarakat. Seperti yang kita tahu, BBM merupakan kebutuhan hampir seluruh rakyat Indonesia, mulai dari kebutuhan rumah tangga, transportasi hingga industri, sehingga BBM merupakan hajat hidup orang banyak. Sehingga, alangkah baiknya bila kebijakan tersebut kita kritisi secara mendalam sebelum diimplementasikan, tentunya dapat kita urai dan pertanyakan dari berbagai sisi. Namun, sepintas lalu, alasan pemerintah memang tampak masuk akal.
Harga minyak dunia yang cenderung tidak stabil dan terkadang melambung akan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM. Karena harga jual dipasar dalam negeri harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, maka akibatnya subsidi BBM juga akan membengkak. Untuk tahun 2010 subsidi BBM ditetapkan Rp. 89,29 triliun dan pada tahun 2011 subsidi diperkirakan membengkak Rp. 109 Triliun. Oleh karena itu, Staf Khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Bidang Politik, Sosial, dan Budaya Ganjar Razuni mengatakan, kenaikan BBM harus tetap dilakukan.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa negeri ini ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dari sini bisa kita lihat bahwa negara ini bukan hanya milik kita, tetapi juga miliknya dunia. Oleh karena itu dalam hal ini pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan yang bijak, tentunya yang terpenting untuk masyarakat Indonesia, sesuai dengan sila ke-5 Pancasila "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Artinya, kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah nantinya diharapkan dampak positifnya mampu dirasakan oleh seluruh rakyat negeri ini.
Jika subsidi yang sebesar itu digunakan untuk pendidikan tentunya pendidikan untuk rakyat indonesia akan jauh lebih baik. Kita bisa memperkirakan berapa besar manfaat jika dana penghematan tersebut di alihkan untuk biaya pendidikan, tentunya pendidikan gratis bukanlah hal yang mustahil, yang akibatnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Kita tidak ingin lagi dianggap sebagai bangsa yang hanya bisa “mengekspor” tenaga pembantu rumah tangga, yang dilecehkan dimana-mana. Sudah saatnya kita membangun sumber daya manusia yang handal untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Alangkah indahnya melihat anak-anak bangsa berbondong-bondong menuntut ilmu dengan gratis ketimbang harus merasakan penatnya polusi berbondong-bondong yang datang ke arah kita karena hasil pembakaran BBM murah hasil subsidi di kendaraan bermotor yang begitu merajalela. Akan tetapi, terlalu naif juga bila kita menarik kesimpulan bahwa kebijakan pencabutan tersebut mungkin tidak terlepas dari berbagai kepentingan dan motivasi terselubung. Ditambah lagi, sektor pendidikan adalah lahan yang paling empuk yang dapat dimanfaatkan oleh para pejabat koruptor di negeri ini. Oleh karena itu, perlu persiapan berbagai macam langkah dan strategi.
Ini adalah tugas dan tanggungjawab bersama, tidak hanya pemerintah, tetapi juga oleh seluruh elemen bangsa. Pemberantasan korupsi serta penegakan hukum harus dilaksanakan terlebih dahulu guna melancarkan jalannya suatu kebijakan. Kebijakan pencabutan subsidi BBM haruslah diikuti dengan kebijakan substitusional yang merupakan sebuah kompensasi pemerintah untuk masyarakat luas. Khususnya di sektor pendidikan yang notabene menjadi sarang koruptor terempuk, sehingga pengaruh pengalokasian subsidi BBM tersebut bisa benar-benar dimanfaatkan secara berkala. (AHI)
Pencabutan Subsidi BBM: Insentif Pembangunan Sektor Pendidikan
1 April 2012, Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dari tingkat harga 4.500/liter menjadi 6.000/liter. Berbagai faktor melatarbelakangi pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, mulai dari harga minyak dunia yang meroket tinggi membuat Indonesia sebagai net importer harus melakukan kebijakan penyeseuaian harga minyak dalam negeri, kebijakan subsidi yang ternyata dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang memiliki porsi terbesar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia, serta faktor-faktor lain yang tidak hanya menyangkut analisis ekonomi saja, tetapi juga pertimbangan teknikal, industri, sumberdaya, hingga bumbu-bumbu politis. Pro-kontra mengenai kebijakan seolah tanpa henti bermunculan di media, menjadi tontonan masyarakat setiap harinya. Pandangan anda? Mari kita mencoba untuk berpikir jernih menyikapi kebijakan ini.
Kenaikan harga BBM sebagai salah satu denyut nadi perekonomian, penggerak berbagai sektor kegiatan ekonomi tentu memberikan efek negatif karena secara logika sederhana hal itu dapat meningkatkan biaya yang berhubungan dengan penggunaan BBM tersebut. Ambil contoh ketika BBM naik, biaya transportasi yang harus dikeluarkan kendaraan pedagang yang membawa sayuran yang diperdagangkan di pasar meningkat, sehingga harga sayuran di pasar pun ikut naik karena ada kalkulasi ulang dari pedagang mengenai biaya-keuntungan mereka. Secara makro, hal ini dapat menimbulkan inflasi yang meningkat, penurunan daya beli, dan tentu saja meningkatkan angka kemiskinan karena harga kebutuhan dasar yang meningkat. Isu lain yang dapat diangkat mungkin bagaimana pertumbuhan masyarakat kalangan menengah di Indonesia yang ditopang oleh daya konumsi tinggi akan terhambat karena adanya penurunan daya beli masyarakat. Berhentikah kita dalam bayangan negatif karena adanya perubahan dalam suatu kebijakan? Hal ini yang menjadikan kita bangsa Indonesia sulit keluar dari suatu masalah, stagnan dalam berbagai aspek kehidupan kenegaraan, sehingga lambat berkembang menjadi suatu negara maju yang baru. Berhenti menguras stamina mengomentari pro-kontra, berpikir out of the box menyikapi suatu masalah: it’s time to take an incentive from potential (crisis) caused by a problem. Susun roadmap mengenai hal apa yang bisa kita lakukan selanjutnya, ini kunci sukses dari bagaimana segala masalah dapat berakhir dengan suatu insentif atau keuntungan yang dapat diperoleh. Untuk itu, apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengantisipasi efek negatif dan memperoleh dan memberikan insentif bagi masyarakat dari kenaikan harga BBM ini?
Kita mungkin sama-sama tahu bagaimana dengan kenaikan harga BBM ini akan memberikan kenaikan pendapatan sektor migas kepada pemerintah. Hal inilah yang sepatutnya dapat dikatakan sebagai insentif yang dapat dialirkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Peran pemerintah sebagai penyedia barang publik untuk masyarakat harus dimaksimalkan karena adanya tambahan insentif ini, dan saya mengatakan bahwa sangat penting apabila alokasi subsidi BBM ini dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat yang memberikan multiplier effect yang besar bagi masa depan Indonesia itu sendiri. Sektor pendidikan adalah jawaban bagaimana pemenuhan kebutuhan ini akan sangat penting demi mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia ke depannya. Mengapa sektor pendidikan ini sangat penting? Bangsa Jepang membangun kembali negaranya pasca Perang Dunia II dengan memberikan fasilitas bagi guru dan tenaga pendidik di negara sana untuk belajar ke luar negeri. Lihat juga bagaimana akselerasi kemajuan Malaysia yang lebih tinggi dari Indonesia saat ini justru karena 40 tahun lalu ketika Indonesia lebih superior dari Malaysia menjadi tempat pelatihan bagi guru-guru Malaysia. Mari kita membangun bangsa ini dari pendidikan, bagaimana ekspansi dunia edukasi tanpa batas harus dikedepankan. Setidaknya Pemerintah dalam hal ini tidak hanya memberikan insentif bagi masyarakat dalam bentuk BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang sifatnya pemenuhan kebutuhan konsumsi sesaat saja, tetapi juga mengalokasikannya untuk pembenahan infrastruktur pendidikan. Prinsip ini yang harus dibangun bagaimana peran pemerintah bukan hanya sebagai penyedia kebutuhan masyarakat, tetapi lebih dari itu bagaimana pemerintah menjadi stimulator pembangunan dengan masyarakat yang cerdas dan produktif sebagai agen pembangunan tersebut. Globalisasi yang menjadikan dunia semakin kompetitif menuntut seluruh negara meningkatkan kompetensinya, dan pengembangan sumber daya manusia tetap menjadi pusat pengembangan. Di sinilah pendidikan memiliki peranan penting, bagaimana sektor ini mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bagaimana dari pendidikan ini melahirkan dua hal penting yang disebut-sebut menjadi fokus pengembangan manusia itu sendiri: kewirausahaan dan penguasaan teknologi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana selanjutnya pengembangan pendidikan ini difokuskan?
Ada tiga hal yang menurut saya menjadi dasar bagaimana pendidikan ini dapat dibangun, yaitu: 1) Infrastruktur, 2) Pemerataan, 3) Soft Skill. Infrastruktur adalah salah satu ‘masalah khas’ Indonesia, dimana penyediaan fasilitas memadai selalu menjadi penghambat Indonesia dalam proses menjadi negara maju di dunia. Kesenjangan juga menjadi semacam ‘kultur’, bagaimana di segala aspek kehidupan, ketidak adilan dirasakan dirasakan masyarakat Indonesia. Soft skill, hal ini yang belum disadari oleh pemerintah Indonesia. (AEI)
Pencabutan Subsidi BBM ke Sektor Pendidikan
Pro dan kontra mengenai pencabutan subsidi BBM terus mewarnai kondisi sosial ekonomi di masyarakat kita. Kenaikan harga BBM tinggal menghitung hari setelah ditetapkan bahwa subsidi akan dicabut pada awal bulan April ini. Pemerintah mencabut subsidi BBM disandarkan pada alasan bahwa anggaran APBN yang defisit atas besarnya beban untuk mensubsidi BBM hingga mencapai 40%. Selain itu, pemerintah juga beragumentasi bahwa Indonesia harus mampu menghadapi harga minyak mentah dunia yang saat ini semakin tinggi di akibatkan oleh kondisi politik di Timur Tengah yang belum stabil sehingga menyebabkan supplai minyak dunia turun dan mencapai harga $120/barrel, dan satu-satunya cara agar mampu bertahan dalam kondisi tersebut adalah dengan mengorbankan masyarakat Indonesia yang mau tidak mau harus merogoh kocek lebih untuk setiap liter BBM yang dikonsumsi.
Hal tersebut senada dengan apa yang menjadi alasan dari pihak yang pro terhadap pencabutan subsidi BBM atau kenaikan harga BBM. Mereka juga beralasan bahwa pencabutan subsidi BBM merupakan sesuatu yang inevitable atau tidak dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan besarnya subsidi yang harus ditanggung oleh APBN kita yang menyebabkan defisit anggaran. Selain itu mereka menilai bahwa pemberian subsidi BBM selama ini sudah salah sasaran yang lebih banyak dinikmati oleh orang-orang kelas menengah keatas. Oleh karena itu, pencabutan subsidi BBM harus dilakukan dan dipindahkan untuk menambah subsidi pendidikan yang selama ini masih dianggap terlalu kecil, terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Adapun pihak yang kontra dengan adanya pencabutan subsidi BBM ini adalah bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak berkesinambungan (slippery slope effect) yang hanya akan merugikan masyarakat Indonesia terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Kita bisa ambil contoh bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada tingginya biaya produksi di sektor perusahaan maupun UKM. Dan jika biaya produksinya naik, maka mau tidak mau perusahaan harus menutupinya dengan menaikkan harga produk atau bahkan mengurangi tenaga kerja agar mampu menutupi tingginya biaya produksi. Selain itu mereka yang kontra beranggapan bahwa defisit APBN yang dialami oleh negara tidak diakibatkan oleh besarnya anggaran yang diberikan untuk subsidi BBM, melainkan diakibatkan oleh besarnya hutang pemerintah. Dan fakta membuktikan bahwa selama beberapa periode ini belum adanya langkah konkrit dan nyata yang dilakukan oleh pemerintah kita untuk menanggulangi masalah-masalah kendaraan seperti terhambatnya proyek monorail di ibukota dalam mengatasi kemacetan, belum adanya apresiasi pemerintah terhadap energi-energi alternatif,gagalnya pemerintah dalam merevitalisasi kendaraan umum dan perusahaan biofuel, dan masih banyak lagi kegagalan-kegagalan lainnya. Lalu mengapa pemerintah harus mencabut subsidi BBM???. Ternyata ada yang mensinyalir bahwa keputusan pencabutan subsidi diambil dalam sebuah tekanan yang begitu besar dan disangsikan bahwa kebijakan tersebut penuh dengan kepentingan-kepentingan politik belaka yang kapanpun bisa disalah gunakan untuk memperkaya diri.
Apapun argumentasi yang disampaikan oleh kedua belah pihak, kita harus terus mencermati dan menganalisis keduanya secara lebih detail dan kompleks. Meskipun pencabutan subsidi BBM ini sudah di sahkan sejak beberapa waktu yang lalu bukan berarti tugas pemerintah cukup sampai disitu saja dan bisa lepas tangan dari masalah yang akan timbul dikemudian hari, melainkan pemerintah juga harus profesional untuk memberikan informasi dan keyakinan kepada seluruh masyarakat bahwa kebijakan itu bebas dari tangan-tangan koruptor dan subsidi itu akan benar-benar dialokasikan untuk pendidikan. Dan juga pemerintah harus mampu mengambil langkah antisipatif (preventif action) untuk mencegah segala sesuatunya berdampak negatif setelah harga BBM naik menjadi Rp6000,-. (FD)
Pendidikan Indonesia dan Penyimpangan Penyelenggaraan
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengambil 30% dari APBN tentunya jumlah yang besar. Kenaikan harga minyak dunia yang memang sejak dulu fluktuatif itu seharusnya dan barang tentu telah dipikir oleh pemerintah. Sedangkan subsidi untuk siswa miskin dari SD hingga SMA hanya sebesar 2,9 triliun rupiah.
Wacana soal pengalihan subsidi bbm untuk perbaikan transportasi umum memang langkah yang tepat, namun perlu disadari juga bahwa pendidikan masih butuh suntikan dana untuk perbaikan manajemen, kualitas maupun infrastruktur. Bantuan biaya operasional sekolah (BOS) yang diharapkan dapat membantu juga belum bisa menyentuh secara merata. Karena masih banyak ganjalan agar bantuan itu sampai ke siswa dengan nominal yang sesuai dengan anggaran.
Biaya sekolah yang dijanjikan dapat gratis juga sayangnya masih terjadi kecurangan dalam penyelenggaraannya. Ketika anggaran telah ada untuk biaya sekolah, namun kuota siswa yang lolos dan masuk dalam bagian ‘gratis segala biaya’ juga dikurangi. Lalu kemanakah jatah anggaran dari pemerintah tersebut?
Pihak sekolah yang dengan cerdiknya menutup program reguler –yang seharusnya di gratiskan oleh pemerintah- dan hanya membuka jalur akselerasi dan immersi dengan alasan anggaran pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah siswa hanya dapat menutup biaya sekolah, dan biaya operasional masih belum cukup. Hal lain yang menjadi alasan adalah uang masuk dari siswa imersi dan akselerasi untuk perbaikan infrastruktur dan fasilitas sekolah.
Pengadaan buku sekolah yang gratis pun menyeret petinggi diknas di daerah-daerah. Buku-buku dalam jumlah besar tentu menimbulkan nominal yang besar sehingga amat menggiurkan untuk ‘berbisnis’ diantaranya.
Alokasi pengalihan subsidi BBM ke pendidikan menurut penulis dirasa belum penting, mengingat masih banyak kecurangan di lapangan. Diknas masih harus mengevaluasi dan mengawal prosedur sehingga subsidi pendidikan memang menyentuh masyarakat, tanpa dikurangi. Kalaupun memang pendidikan mendapat tambahan subsidi dari pengalihan subsidi BBM maka besar nominal atau persennya pun harus dipikir matang, apakah Diknas telah siap untuk diamanahi uang hak rakyat tersebut. (DU)
Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►