Rabu, 13 Februari 2013

Jaminan Penghidupan yang Layak bagi Buruh

-->
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat (2)
Sudah diamanahkan dalam konstitusi dasar negara kita bahwa pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak setiap warga negara. Namun, fakta menunjukkan masih banyak ketidaksesuaian antara idealita dan realita, terutama terkait dengan kelayakan penghidupan. Hal ini dapat kita soroti dari salah satu indikator pengukur penghidupan yang layak, yaitu kesejahteraan buruh.
Dewasa ini, telah terjadi penyempitan makna kata “buruh” itu sendiri. Setiap mendengar kata buruh, yang terpikirkan oleh kebanyakan orang adalah para pekerja kasar yang tidak berpendidikan dan bertaraf hidup rendah. Tetapi sebenarnya, menurut UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, buruh itu sendiri didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi, istilah buruh di sini tidak hanya mencakup golongan pekerja kasar melainkan juga termasuk buruh professional yang bekerja tidak menggunakan otot melainkan dengan otak.
Sudah menjadi kewajiban pemberi kerja untuk memenuhi hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesem­patan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Namun, yang terjadi akhir-akhir ini dengan semakin maraknya kasus demo buruh dan aksi mogok menunjukkan bahwa masih banyak buruh yang hak-hak nya tidak terpenuhi, entah itu dalam hal jaminan sosial maupun dalam hal pengupahan. Kebijakan pemerintah dalam menentukan upah minimum regional (UMR) belum cukup mampu menjamin kesejahteraan para pekerja. Upah minimum yang ditentukan pemerintah tersebut hanya mampu menutupi biaya hidup sehari-hari saja, belum mampu meningkatkan taraf hidup pekerja. Padahal, mengingat jumlah buruh yang tidak sedikit dan peranan mereka yang crucial, kesejahteraan mereka merupakan suatu indikator penting yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan nasional.
Meskipun sudah banyak Undang-Undang dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) yang mengatur tentang hal itu, namun dalam praktiknya regulasi-regulasi itu belum diterapkan dengan semestinya dan belum mampu memberikan jaminan bahwa taraf hidup pekerja akan meningkat dan mereka akan mendapatkan penghidupan yang layak. Penghidupan layak yang dimaksud di sini tidak hanya diukur dari pengupahan di atas UMR namun juga hal-hal lain, misalnya: jaminan pendidikan, jaminan keselamatan, tidak eksploitatif, dan masih banyak lagi. Pihak pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk memenuhi hal-hal tersebut, namun fakta yang terlihat di lapangan menunjukkan masih adanya tindak penyimpangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur kembali regulasi, melakukan pengawasan, dan memberikan jaminan yang lebih terkait dengan kesejahteraan buruh.
SINERGI = KESEJAHTERAAN BURUH!
Baru-baru ini kita mendengar berita mengenai kasus mogoknya buruh PT Freeport yang menuntut kenaikan gaji dan peningkatakn kesejahteraan bagi mereka. Selain itu, konflik antara buruh dan asosiasi pengusaha juga terjadi di Bekasi ketika pengadilan memenangkan gugatan asosiasi pengusaha mengenai upah buruh. Keprihatinan mungkin berlangsung semakin panjang melihat di dunia internasional, buruh Indonesia seakan menjadi sosok yang terzalimi melihat berulangkali munculnya kasus hukuman mati bagi buruh Indonesia. Berbagai masalah yang menimpa buruh ini patut kita cermati sebagai masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Mereka adalah tulang punggung penggerak perekonomian industrial, potensi sumber daya manusia mereka adalah penopang roda perekonomian riil di Indonesia. Kesejahteraan adalah hak mutlak yang harus mereka dapatkan, sebagai insentif untuk mereka berperan membangun ekonomi bangsa.
Zaman globalisasi yang modern ini, di mana orientasi perekonomian telah bergeser dari sektor ekstraktif(mengambil dari alam) ke sektor industri(mengolah alam menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi), ada komponen pelaku ekonomi tambahan selain petani dan nelayan yang menjadi tanggungjawab negara mengingat status mereka yang selalu direndahkan, yaitu buruh sebagai sektor yang perlu atensi lebih karena kuantitas mereka yang besar namun sering menjadi pihak yang kalah oleh kepentingan pengusaha. Padahal, mereka adalah tenaga vital dalam menggerakkan sektor industri, bukan hanya karena nilai lebih dalam hal jumlah tenaga, tetapi juga bagaimana
Lingkar perekonomian industrial menunjukkan ada tiga pelaku utama penggerak sektor tersebut. Pengusaha, sebagai enterpreneur, pemilik dan pengelola utama perusahaan yang bergerak dalam sektor industri tersebut. Kedua adalah buruh sebagai penggerak, mereka yang bekerja pada perusahaan untuk menggerakkan komponen mesin dan peralatan lainnya sehingga menghasilkan suatu produk yang bernilai jual di pasaran. Pemerintah sebagai stakeholder, berperan dalam mewujudkan iklim usaha kondusif, termasuk pada perekonomian industrial sehingga menghasilkan multiplier effect positif dan maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Sudah sinergikah ketiga pelaku utama penggerak perekonomian industrial? Pertanyaan itu yang menjadi pangkal dari masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh saat ini, yaitu bagaimana selalu ada kepentingan salah satu pihak yang harus dikorbankan demi kepentingan pihak lain, dan buruh selalu menjadi cinderella yang kepentingannya diinjak-injak demi keuntungan dari pengusaha maupun pemerintah. Inilah yang selalu memicu ‘pergerakan’ dari buruh yang meminta pemenuhan haknya sehingga seringkali berujung kerusuhan dan berhentinya aktivitas operasi perusahaan. Situasi yang sebenarnya tidak harus terjadi apabila pemerintah dan pengusaha sadar bahwa bergeraknya ekonomi industri ini tidak lepas dari peran buruh. Sinergitas ini menekankan bagaimana dua pihak yaitu pengusaha dan buruh mendapat posisi yang setara dan seimbang, di mana pemerintah sebagai pihak lain yang aktif memediasi dan mengakomodir pertemuan antara mereka untuk mencapai kesepakatan terbaik. Penekanan di sini adalah bagaimana kesetaraan antara pengusaha dan buruh dalam memperjuangkan kepentingannya, sehingga dihasilkan keputusan yang bukan ‘satu pihak menginjak-injak pihak lain’. Apabila hal tersebut dapat terwujud, seluruh pihak merasa nyaman dengan situasi yang berjalan sehingga roda penggerakkan ekonomi industri dapat berjalan dengan baik, produktivitas meningkat, dan tentu saja tidak ada lagi situasi negatif dan stigma kepentingan pengusaha selalu berada di atas buruh dapat hilang.
Dampak Pemberian Upah Terhadap Kesejahteraan Buruh Nasional
Dalam menjalin hubungan kerja yang baik, mengenai masalah upah pihak buruh hendaknya memikirkan pola keadaan dalam perusahaannya, dalam keadaan perusahaan itu belum berkembang adanya upah yang layak yang diberikan perusahaan itu yang sesuai dengan upah untuk pekerjaan sejenis di perusahaan-perusahaan lainnya, hendaknya disyukuri dengan jalan memberikan imbalan-imbalannya berupa kegiatan kerja yang efektif dan efisien dan turut melakukan penghematan. Kenyataannya, pihak pemerintah juga sering menganjurkan kepada pengusaha-pengusaha yang ada di Tanah Air agar kepada para buruhnya diberikan upah yang wajar dan memberikan gambaran-gambaran tentang upah minimum Pada umumnya, dengan berpadunya peranan pengusaha dan peranan organisasai buruh, keduanya dapat melakukan musyawarah dan mufakatnya sehingga telah berhasil mempertemukan pertimbangan-pertimbangannya hingga terwujudnya upah yang wajar.
Ada satu faktor yang membuat kesejahteraan buruh menjadi semakin menurun, yaitu pungutan liar. Direktur Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, sehingga para pengusaha sulit untuk memberikan upah yang layak bagi kesejahteraan para buruh. Padahal bagi organisasi buruh, upah mencerminkan berhasil tidaknya saran dan tujuan serta merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahankan adanya organsasi tersebut.
Seharusnya pengusaha membeberkan biaya-biaya yang dia keluarkan untuk pungli-pungli itu, sayangnya pengusaha tidak mau secara terbuka menyebutkan itu. Pihak pengusaha atau badan/perusahaan yang mempekerjakan para buruhnya, dalam hal ini bagi pihak pengusaha atau badan usaha/perusahaan upah itu merupakan unsur pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan komponen harga pokok yang sangat menentukan kehidupan perusahaan.
Padahal, upah yang ada dapat mensejahterakan para buruh beserta keluarganya, sehingga berdampak pada peningkatan keterampilan dan kecakapan buruh agar kehidupan buruh dapat lebih meningkat. Oleh karena itu, upah sangat penting melibatkan peran pemerintah karena kewajibannya dalam mengatur tata kehidupan dalam segala bidang, yang dalam hal ini pihak pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum, perundang-undangan dan segala peraturan pelaksanaannya, sehingga pihak yang satu tidak akan dirugikan oleh pihak yang lain.
Terlepas dari hal tersebut, makna yang penting yang harus diperhatikan baik oleh pengusaha maupun oleh para buruhnya adalah bukan keuntungan sebesar-besarnya yang harus dijadikan tujuan utama dalam berusaha, melainkan yang menjadi sasaran utama dalam berusaha maksa kini ialah memperoleh keuntungan yang wajar dengan sedapat mungkin menghindari kerugian Keuntungan-keuntungan yang wajar itu dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan manajemen termasuk biaya-biaya operasiona, seperti upah, perawatan mesin dan lain-lain.
Dengan menggunakan prinsip bahwa dengan pemberian upah yang bertambah, maka akan meningkatkan produktifitas pabrik tersebut. Kemudian harga menjadi turun, sehingga permintaan pasar pun meningkat dan mengakibatkan profit pabrik pun menjadi bertambah. Namun, kenaikan upah yang tidak disertai dengan peningkatan dalam produksi dapat berakibat pada kenaikan harga produk yang dihasilkan dalam perusahaan, yang mungkin pula ada kaitannya dengan peningkatan arga-harga produk lain, sehingga nilai upah yang dinaikkan itu tidak ada artinya baik dipandang dari segi ekonomi, maupun bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan beserta keluarganya.
Jadi peningkatan upah haruslah disertai adanya peningkatan produk, dan hal ini hendaknya diresapkan oleh para buruh, tanpa adanya kesadaran untuk meningkatkan produktifitas atau usaha untuk meiningkatkan produk, selain perusahaan itu akan menjadi lemah karena penghasilan yang kurang selalu tersedot dengan adanya pembengkakan upah, modal untuk operasi makin lama akan makin berkurang dan pada akhirnya perusahaan akan menderita secara terus menerus, perusahaan yang bersangkutan akan menjadi tidak tahan dana perusahaan terpaksa harus ditutup. Dalam keadaan demikian, pihak buruh pula yang pada akhirnya akan menderita, ke mana pula mereka akan mencari kerja, padahal pengangguran sudah sangat tidak diharapkan oleh mereka.
Departemen Kajian Strategis BEM FEB UGM

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►