Tampilkan postingan dengan label APBN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label APBN. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Januari 2013

ENERGI YANG MEMBEBANI


Oleh: Luluk Permata Sari (Kajian Strategis BEM FEB UGM)

Struktur APBN P 2012 menunjukkan adanya indikasi tidak sehat setelah sebagian besar dari alokasinya digunakan untuk sektor yang kurang produktif, yaitu belanja pegawai dan subsidi energi. Solusi atas kedua permasalahan tersebut sebenarnya telah banyak dihembuskan, namun agaknya permasalahan tentang energi perlu dicermati lebih mendalam, mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya sumber energi.

Subsidi energi untuk BBM dan listrik mengambil 13,1% porsi dari APBN-P 2012, atau sekitar Rp202 triliun. Jumlah ini diprediksikan akan terus meningkat setelah melihat kenaikan harga minyak dunia yang belum berujung, menyebabkan  tingkat disparitas antara  harga minyak mentah dunia dan harga ICP di anggaran melebar. Sekedar informasi, harga minyak dunia saat ini mencapai USD 119/barel , melesat jauh dari perkiraan APBN sebesar USD105 /barel.

Peningkatan harga tersebut pada akhirnya membuat waswas para pembuat kebijakan. Kenaikan ini berkemungkinan besar dapat memacu pertumbuhan defisit dan imbasnya akan memunculkan utang-utang baru. Solusi yang baru digencarkan pemerintah untuk menutup kemungkinan defisit tambahan ini adalah dengan melakukan peningkatan tarif dasar listrik (TDL), yang notabene menggunakan BBM sebagai sumber energi utama, sebesar 15%. Kenaikan tarif ini dipercaya dapat menghemat subsidi sebesar Rp 11,8 triliun. Mengikuti rencana ini, rentetan protes pun bergulir dari berbagai pihak. Mereka, pihak pro subsidi, mengatakan bahwa memberikan subsidi merupakan kewajiban negara yang telah tercantum di UUD 1945, tepatnya di pasal 33 dan 34.

COST BENEFIT SUBSIDI ENERGI
Walaupun energi bukanlah beban utama APBN-P, sektor ini memiliki peluang besar untuk dikaji kebermanfaatannya bila dihubungkan dengan nilai subsidi yang cukup besar, sehingga pengambilan kebijakan benar-benar didasarkan pada cost-benefit-nya.

Harga BBM yang terus ditekan rendah karena disubsidi, cenderung ‘memanjakan’ masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini kemudian diperparah dengan adanya kredit kendaraan yang semakin mudah untuk digapai, membuat ledakan konsumsi bahan bakar minyak tidak terelakkan lagi. Diperkirakan, konsumsi BBM akan melonjak hingga 46 juta kiloliter pada tahun 2013 dari sebelumnya 40 juta kiloliter pada tahun 2012. Kenaikan ini pastinya tidak terlepas dari jumlah kendaraan pribadi yang semakin melonjak.

Bila tahun depan belum ada kebijakan baru terkait subsidi energi, maka Bank Dunia memperkirakan defisit subsidi BBM mampu menembus 70% dari subsidi energi di RAPBN 2013. Peningkatan ini secara pasti akan diikuti dengan kenaikan defisit APBN, yang diperkirakan muncul di sekitar angka 2,4 % atau sekitar Rp202 T (dari sebelumnya 2,23% atau Rp194,5 triliun di 2012). Jumlah defisit sebesar ini turut berkontribusi dalam pembatasan ruang gerak fiskal yang dapat dilakukan pemerintah, terutama untuk menangani sektor-sektor yang lebih produktif., seperti investasi publik pada pembangunan infrastruktur.  Saat tingkat pertumbuhan Indonesia dapat dicapai di atas digit 6%, pembangunan infrastruktur penunjuang belum dilakukan secara berkesinamabungan. Dikhawatirkan, hal ini dapat memacu overheating di dalam perekonomian yang pada akhirnya dapat menyeret tingkat pertumbuhan ekonomi ke level bawah, seperti yang sedang terjadi pada perekonomian India saat ini. Setidaknya, untuk menambah ruang gerak fiskal, subsidi energi, BBM khususnya, perlu diturunkan sebesar 30%.

Bila dilihat dari sasarannya, subsidi energi terlihat sudah bergeser jauh dari tujuan awal pemberian subsidi. Awalnya, subsidi energi diberikan atas dasar tujuan mulia, yaitu membantu rakyat miskin terhadap perubahan harga minyak dunia. Nyatanya, subsidi BBM hanya dinikmati kurang dari 10 % masyarakat miskin. Sisanya? Bisa ditebak sendiri. Melihat ironi seperti ini, subsidi energi tidak memiliki alasan yang kuat untuk terus dipertahankan dengan formatnya yang sama. Agar dapat digunakan secara efisien dan efektif, perlu dilakukan restrukturisasi subsidi, seperti yang dicanangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, beberapa waktu yang lalu. Adanya restrukturisasi dimaksudkan agar pengadaan subsidi dilakukan secara tepat sasaran. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan ketegasan dari pihak pemerintah serta keberanian untuk mengambil keputusan tanpa banyak intervensi dari pihak luar.

Solusi lain untuk mengatasi permasalahan subsidi ini adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan lainnya. Indonesia bukanlah negara yang miskin sumber daya, tapi harus diakui, Indonesia salah satu negara yang belum bisa memanfaatkan kekayaannya secara maksimal. Energi yang terpaku pada sumber BBM, pada akhirnya membuat nasib negeri ini terombang-ambing pada pergerakan harga minyak dunia. Bila saja energi-energi alternatif seperti panas bumi, energi matahari, ataupun angin dapat dikelola secara maksimal, bukan tidak mungkin kesejahteraan dapat terus meningkat, tanpa harus membebani APBN dengan defisit yang membengkak setiap tahunnya.

Sabtu, 05 Januari 2013

Subsidi Energi: Polemik yang Tak Pernah Mati

Oleh: Nadia Firstzky Cipta Mardieta (Kajian Strategis BEM FEB UGM)

Energi seakan telah menjadi trending topicIndonesia sepanjang tahun 2012. Betapa tidak, problematika terkait dengan energi silih berganti mewarnai kehidupan sehari hari terutama mengenai subsidi. Hal ini menjadi polemik tersendiri yang tak pernah lepas dari sorotan publik.

Hal tersebut bukan tanpa alasan, subsidi energi telah menyedot kurang lebih 13,1% dari total APBN 2012 terdiri dari Rp123 triliun untuk subsidi BBM dan Rp45 triliun untuk subsidi listrik. Ditambah lagi pada Maret 2012, tercapai kesepakatan antara Pemerintah bersama Badan Anggaran DPR mengenai postur APBN-P 2012 dengan anggaran subsidi energi yang melonjak menjadi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp137 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp64,9 triliun disertai cadangan risiko fiskal energi ditetapkan Rp23 triliun dan dana kompensasi kenaikan BBM Rp30,6 triliun. 

Namun, subsidi energi ini rupanya masih belum mencukupi. Realisasi subsidi energi per 5 Oktober 2012 sebesar Rp 174,8 triliun atau 86,4% dari pagu anggaran APBN-P 2012 menyebabkan realisasi subsidi BBM tahun ini diproyeksi bengkak Rp79,39 triliun dari pagu APBN-P 2012 menjadi Rp216,77 triliun. Penyebabnya, harga ICP naik menjadi sekitar US$110 per barel dari asumsi US$105 per barel disertai peningkatan volume BBM bersubsidi yang membengkak menjadi 43,5 juta-44,04 juta kiloliter dari asumsi 40 juta kiloliter.

Menteri Keuangan menetapkan bahwa pembengkakan pengeluaran itu akan ditutup dari hasil penghematan belanja dan optimalisasi penerimaan APBN-P 2012 berupa tambahan penerimaan migas Rp11,9 triliun, penghematan subsidi nonenergi Rp1,7 triliun, dan anggaran kompensasi kenaikan harga jual BBM bersubsidi Rp30,6 triliun yang tidak digunakan.

Angka belanja subsidi energi masih akan terus meningkat. Dalam RAPBN 2013, subsidi energi dialokasikan Rp274,7 triliun (subsidi BBM 193,8 triliun dan listrik Rp80,9 triliun), meningkat 35,7 persen dari belanja subsidi yang dialokasikan dalam APBN-P 2012 (Rp202,4 triliun) dengan asumsi harga minyak (ICP) USD100 per barel, dan lifting minyak 900 ribu barel per hari (BPH)

Penyebab utama tingginya subsidi energi disinyalir karena saat ini konsumsi energi di Indonesia masih bergantung pada BBM. Bukan hanya konsumsi rumah tangga saja, bahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih menggunakan bahan bakar konvensional. Sedangkan harga minyak dunia cukup tinggi dan diprediksi akan terus menerus naik. Hal ini tentu menjadi alasan mengapa angka subsidi energi selalu bertambah. 

Pengambilan kebijakan populer, penundaan kenaikan harga BBM yang terjadi pada bulan Maret 2012 juga turut andil dalam melonjaknya angka subsidi BBM. Tentu hal ini sangat disayangkan. Padahal, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi dan menjadi solusi dalam kenaikan harga minyak dunia agar tidak membebani APBN-P 2012.

Sekarang, hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengembangkan penggunaan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar konvensional. Sesungguhnya sudah banyak penemuan tentang pemanfaatan energi alternatif. Namun tampaknya pemerintah lebih banyak memilih untuk menambah anggaran subsidi energi konvensional dan belum memfokuskan diri ke dalam proses pengembangannya. Diharapkan kedepannya pemerintah dapat memaksimalkan pemanfaatan energi alternatif di Indonesia sehingga polemik subsidi energi yang tak pernah mati ini dapat mulai teratasi.


Rabu, 02 Januari 2013

Sampai Kapan Kita Harus Bertahan?


Oleh: Lundu Manurung (Staf Departemen Kajian Strategis BEM FEM IPB)

Bila dilihat dari perkembangan dari tahun ke tahun jumlah anggaran yang dipakai untuk subsidi energi meningkat tajam. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk subsidi untuk dalam RAPBN 2013 direncanakan Rp316,1 T, meningkat 18% dari belanja subsidi dalam APBNP 2012 sebesar Rp268,1 T (termasuk cadangan risiko energi Rp23 T pada belanja lain-lain), atau naik lebih dari 2 kali lipat dibanding realisasi tahun 2007 (Rp150,2 T). Jumlah anggaran subsidi pada RAPBN 2013  dialokasikan untuk subsidi BBM dan Gas Rp193,8 T; subsidi listrik Rp80,9 T; dan subsidi non-energi Rp41,4 T. Di dalam RAPBN 2013 adanya subsidi untuk gas padahal pada APBN 2012 tidak dimasukkan yang menambah beban anggaran negara . Ini sungguh sangat miris dan bertolak belakang dengan program yang telah dibuat oleh pemerintah. Dapat dikatakan pemerintah gagal menekan atau mengurangi jumlah subsidi energi khususnya di bidang migas dimana terjadi peningkatan yang signifikan setiap tahunnya tetapi tidak diikuti dengan alternatif atau solusi yang tepat dan efisien. Padahal untuk menjaga APBN yang sehat dan meningkatkan dana pembangunan, maka perlu pengurangan subsidi energi.
Sebenarnya jumlah anggaran untuk subsidi dapat dialihkan guna meningkatkan dana pembangunan dan sektor-sektor riil yang menyentuh langsung ke masyarakat. Contohnya, penambahan dana guna menggulangi dan mengurangi kemisikinan, layanan kesehatan murah untuk masyarakat, dan meningkatkan ketahanan pangan. Bila melihat Malaysia, 5% anggaran pembangunan sektor sosial pemerintah adalah untuk kesehatan masyarakat dimana untuk memperbaiki rumah sakit yang ada, membangun dan melengkapi rumah sakit baru, pertambahan klinik umum, perbaikan pelatihan dan perluasan pelayanan jarak jauh, dan biaya kesehatan murah bagi masyarakat. Program seperti ini lebih berdampak riil kepada masyarakat daripada membiayai subsidi energi migas yang hanya terbuang percuma tanpa adanya nilai tambah ouput nasional. Subsidi energi juga dapat dialihkan ke sektor pertanian dimana jumlah tenaga kerja diserap dan tingkat kemisikinan juga sangat tinggi melanda sektor pertanian. Oleh sebab itu pemerintah dapat mengalihkan dana untuk membentuk karakter petani yang mandiri dan solutif dengan mendorong kemajuan UMKM yang bekerjasama dengan petani  dan pembangunan desa mandiri sehingga meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia.
Ada beberapa hal yang dilakukan guna mengurangi dan mengalihkan subsidi energi khususnya BBM. Dari 3 tahun yang lalu sudah mulai dilakukan yaitu menaikkan harga BBM. Hal ini akan memberikan dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif dari kenaikan ini terjadi pada jangka pendek yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi yang nantinya turut menaikkan harga barang baku dan umum sehingga daya beli masyarakat menurun dan tingkat pengangguran bertambah. Akan tetapi menurut Gever (1991), meningkatnya harga BBM akan mengurangi beban pemerintah sehingga pemerintah dapat dengan bebas membuat kebijakan fiscal untuk mengejar target distribusi manfaat yang tepat sasaran sehingga menggairakan perekonomian demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu akan mendorong investasi penggunaan serta produksi yang efisien.

MASIHKAHKITA HANYA BERDIAM DIRI MELIHAT KONDISI PEREKONOMIAN KITA?

Kamis, 29 Januari 2009

Memahami Asumsi Makro dan APBN 2009-MCB

Berikut tulisan saya di Bisnis Indonesia, tanggal 29 januari 2009, hal 1


Memahami asumsi makro dan APBN 2009

oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur LPEM-FEUI)


"Jika indikator kinerja makroekonomi baik, kinerja secara mikro juga mestinya baik. Namun, nyatanya kinerja makro baik, di tingkat mikro kita masih babak belur. Apa indikator makro masih ada gunanya?" Inilah pertanyaan yang saya terima dalam face book. Tak salah. Selengkapnya

Selasa, 15 Januari 2008

Obligasi Indonesia di pasar yang bergejolak-MCB

Berikut tulisan saya yang terbit tanggal 15 Januari 2008 di Harian Bisnis Indonesia hal 1


Obligasi Indonesia di pasar yang bergejolak

10 Januari 2008 mungkin tercatat sebagai tanggal di mana Indonesia menerbitkan obligasi pemerintah (sovereign bond) negara berkembang yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir ini.

Penawaran yang berjumlah US$2 miliar ini terdiri dari dua tahap. Senilai US$1 miliar tranche berjangka waktu 10 tahun dengan tingkat bunga sebesar 6,875% (pada harga 99,466%) dan US$1 miliar tranche berjangka waktu 30 tahun dengan tingkat bunga 7,75% pada harga 100,00%.

Penawaran obligasi ini menarik hampir 200 permintaan (orders) dari investor institusi di seluruh dunia dan terjadi oversubscribe sebesar 1,5 kali. Barclays Capital, HSBC, and Lehman Brothers bertindak selaku lead managers dan joint bookrunners dalam penawaran ini.

Bagaimana kita membaca penerbitan obligasi ini? Selengkapnya
Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: APBN Template by Bamz | Publish on Bamz Templates