Tampilkan postingan dengan label buruh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buruh. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Oktober 2007

Apa yang akan terjadi pada para pendatang (di Jakarta)?-AAP

Kita mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan Model Todaro (Todaro, 1969, 1997; Corden-Findlay, 1975) seperti ditunjukkan oleh gambar di sebelah.

Permintaan tenaga kerja di sektor formal di Jakarta ditunjukkan oleh kurva berwarna biru, sementara permintaan di luar Jakarta oleh kurva merah (kita asumsikan saja bahwa "luar" Jakarta adalah satu daerah yang cenderung homogen -- tentunya ini hanya penyederhanaan). Sumbu mendatar adalah jumlah total tenaga kerja di mana alokasi untuk daerah di luar Jakarta mulai dari OL dan alokasi untuk Jakarta mulai dari OJ. Kedua kurva permintaan tenaga kerja berkemiringan negatif karena semakin tinggi upah, semakin sedikit permintaan terhadap tenaga kerja. Jika upah bersifat fleksibel sempurna, maka upah di Jakarta akan sama dengan upah di luar Jakarta (UL* = UJ*) dengan OLBL* adalah jumlah tenaga kerja yang diserap daerah luar Jakarta dan OJBJ* adalah mereka yang bekerja di Jakarta. Keseimbangan ditunjukkan oleh titik A, di mana tidak ada pengangguran.

Masalahnya, upah sektor formal di Jakarta tunduk kepada peraturan upah minimum. Ia bisa dikatakan tidak mungkin turun. Misalkan saja upah minimum itu adalah UJmin (yang lebih tinggi daripada UJ*). Apabila pengangguran tetap tidak ada, maka tenaga kerja yang terserap di sektor formal Jakarta hanyalah OJBJ, sementara bagian terbesar tenaga kerja, OLBJ "terpaksa "kembali ke daerahnya masing-masing, untuk bekerja dengan upah sebesar UL** (yang lebih rendah daripada UL*). Akibatnya, tercipta kesenjangan upah sebesar UJmin-UL*.

Sekali lagi, kenyataannya tidak demikian. Mereka yang sudah terlanjur ke Jakarta biasanya tidak akan serta-merta pulang ketika menemukan bahwa mereka tidak bisa masuk ke sektor formal yang kaku. Mereka lalu bekerja di sektor non formal (asongan, dsb.) atau menjadi penganggur di Jakarta. Dalam istilah teknisnya, mereka disebut indifferent antara Jakarta dan luar Jakarta. Posisi mereka dalam gambar di atas diwakili oleh kurva berwarna hitam. Jika ini yang terjadi, maka keseimbangan baru terjadi pada titik B, di mana kesenjangan upah menjadi UJmin-UL (yang lebih kecil daripada UJmin-UL*, karena tidak semua tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal Jakarta kembali ke daerah asalnya). Di titik ini, tenaga kerja berjumlah OLBL kembali ke kampung halamannya (dengan upah UL), OJBJ bekerja di sektor formal di Jakarta, dan BLBJ tetap di Jakarta dengan upah di bawah upah minimum (di sektor non-formal) atau bahkan menjadi penganggur.

Kamis, 11 Oktober 2007

Migrasi menolong buruh miskin?-MCB



Dalam buku Memoirs of an Unregulated Economist, pemenang nobel ekonomi George J. Stigler dari University of Chicago menulis:
(You won't agree to this). Because Political Economists have really done more for the labouring classes by their advocacy of free trade , etc. , than all the philathropists put together.
Seperti diduga Stigler, kita tak percaya. Walau begitu,baiklah kita mencoba melihat argumen ini dengan lebih hati-hati.

Grafik di kiri atas menunjukkan analisa tentang migrasi buruh. Tentu, ini adalah penyederhanaan persoalan, tetapi baik untuk membantu melakukan analisa. Sebelum migrasi, jumlah buruh yang bekerja di domestik adalah sebesar OL1( dilihat dari kiri ke kanan), sedangkan buruh di negara asing O*L2 (kanan ke kiri). Dalam kondisi ini upah riil di domestik adalah dititik C dan upah di luar negeri ada di titik B. Disini upah domestik lebih rendah dibanding luar negeri. Jika terjadi migrasi, maka tingkat upah riil keseimbangan terjadi di dititik A, dimana upah di kedua negara sama. Pada titik itu, jumlah buruh domestik adalah OL2 dan buruh asing O*L2. Apa yang bisa disimpulkan dari grafik ini?

Pertama, akan terjadi konvergensi dari upah riil, dimana upah buruh domestik naik dan buruh asing turun (secara riil). Dalam kenyataan, buruh domestik dan asing bukanlah substitusi sempurna, karena itu kesamaan upah praktis tak sepenuhnya terjadi karena hambatan perdagangan, perbedaan teknologi dan juga sumber daya. Namun ada kecenderungan bahwa konvergensi terjadi --walau tak membuat upah domestik sama dengan luar. Williamson (1995) menunjukkan bagaimana upah riil di negara tujuan migrasi menurun dan di negara asal migran meningkat.
Kedua, Buruh domestik diuntungkan karena upahnya naik, buruh asing akan rugi karena upahnya turun secara riil. Pemilik modal (capitalists) di luar negeri akan untung, karena upah buruh riil yang relatif lebih murah dibanding sebelum migrasi, sedang capitalists domestik akan rugi karena upah buruh lebih tinggi setelah terjadinya migrasi.

Analisa ini menunjukkan: yang dirugikan dengan migrasi sebenarnya adalah buruh asing dan kapitalis domestik. Benarkah begitu?

Mari kita lihat dalam kasus Indonesia. Jika pasar tenaga kerja dibuka, dapatkah kita membayangkan bahwa pekerja dari Singapura, Malaysia, Jepang, Australia akan datang ke Indonesia dan mengambil alih pekerjaan tenaga kerja tak terampil (pekerjaan yang dilakukan oleh buruh miskin)? Rasanya agak sulit membayangkan itu. Tapi bisakah kita membayangkan bahwa pekerjaan tenaga kerja tak terampil di Singapura, Malaysia, Jepang, Australia diambil oleh pekerja Indonesia dan mereka mendapat upah lebih tinggi? Tak sulit untuk membayangkannya, karena hal itu telah terjadi pada buruh migran kita di Singapura, Malaysia. Persoalannya adalah perlindungan terhadap buruh migran kita yang lemah, sehingga mereka diperlakukan dengan buruk di luar. Jadi soalnya bukanlah upah yang makin buruk, atau kesejahteraan yang buruk, tetapi perlindungan yang buruk, yang membuat mereka tak memperoleh manfaat yang seharusnya. Artinya jika perlindungan buruh migran dilakukan, maka buruh migran Indonesia sebenarnya diuntungkan dengan liberalisasi tenaga kerja. Itu artinya pula bahwa buruh miskin sebenarnya dapat memperoleh pekerjaan dan manfaat dari migrasi.

Bagaimana dengan pekerja terampil? Kita dapat menduga bahwa pekerja terampil (umumnya berpendidikan lebih baik dan relatif lebih kaya) akan mendapat saingan yang ketat dari Malaysia dan Singapura misalnya. Posisi pengacara, akuntan, arsitek, dokter di dalam negeri mungkin akan terancam --walau belum tentu juga, karena mungkin tak banyak dokter, akuntan, pengacara, ekonom asing yang mau bekerja dengan upah yang lebih rendah. Untuk sementara anggaplah mereka mau, analisis ini menunjukkan bahwa yang paling kuatir dengan liberalisasi pasar kerja adalah kelas menengah. Merekalah yang dirugikan. Sedangkan buruh tak terampil di untungkan. Pola yang sama juga terjadi di Eropa dan Amerika. Itu sebabnya Amerika Serikat tak mau membuka diri terhadap tenaga kerja dari Meksiko. Amerika Serikat, Australia cenderung proteksionis, karena pekerja tak terampil mereka dirugikan.

Jika benar demikian, apakah ini berarti bahwa liberalisasi pasar kerja ternyata baik bagi buruh miskin? Apakah proteksi pasar kerja hanya membela kelas menengah? Bisa jadi begitu. Jangan-jangan yang kita lakukan dengan menutup pasar tenaga kerja dari luar adalah upaya membela kelas menengah dengan mengatasnamakan buruh miskin. Jika benar begitu, proteksi ternyata justru membela yang relatif kaya dan bukan yang miskin.

Rabu, 03 Oktober 2007

Apakah kapitalis asing menghisap pekerja lokal? - AAP


Paling tidak, Marx percaya itu? Begitupula para pengikutnya. Dan berbagai aksi demo dan gerakan mahasiswa, buruh, atau yang mengatasnamakan buruh seringkali mengangkat isu betapa perusahaan multinasional asing dianggap melakukan eksploitasi berlebihan atas buruh di Indonesia. Paling tidak, poster-poster mereka berkata begitu.

Apakah betul perusahaan multinasional asing menzalimi pekerja lokal? Tentu ada berbagai metode untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Salah satunya adalah membandingkan tingkat upah yang dibayarkan oleh perusahaan asing dan yang dibayarkan perusahaan domestik. Logikanya, jika jawaban atas pertanyaan di atas adalah ’ya’, maka seharusnya upah pekerja di perusahaan asing lebih rendah daripada jika ia bekerja di perusahaan domestik.

Grafik-grafik di sebelah (data dari Lipsey dan Sjöholm, dalam Ramstetter dan Sjöholm, 2006 - klik grafik untuk perbesar) menunjukkan rasio antara upah rata-rata di perusahaan asing dan perusahaan domestik di sektor manufaktur. Dalam hampir semua subsektor, rasio tersebut lebih dari satu. Artinya, tingkat upah di perusahan asing lebih tinggi daripada tingkat upah di perusahaan yang dimiliki swasta domestik.

Mungkin kita lalu bertanya: boleh jadi perbedaan upah itu dikarenakan oleh perbedaan tingkat pendidikan, teknologi di perusahaan, dan sebagainya. Ternyata, setelah faktor-faktor ini dikeluarkan, tingkat upah di perusahaan asing tetap lebih tinggi 25-50 persen di atas tingkat upah di perusahaan swasta domestik (Lipsey dan Sjöholm, 2004, J. of Dev.Econ 73:415-22).

Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: buruh Template by Bamz | Publish on Bamz Templates