Tampilkan postingan dengan label mikroekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mikroekonomi. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Oktober 2007

Melacak mahasiswa bohong -- AAP

Cerita di bawah diambil/diadaptasi dari Dixit dan Skeath (Games of Strategy, 1999).

Ujian mikroekonomi akan diadakan hari Senin. Ada dua orang mahasiswa yang kebetulan diundang oleh kawan-kawan mereka dari fakultas lain untuk sebuah pesta di hari Sabtu, dua hari sebelum ujian. Kedua mahasiswa ini yakin bisa membaca materi ujian di hari Minggu.

Namun, pesta hari Sabtu itu betul-betul all-out hingga Minggu dini hari. Setiba di rumah, kedua mahasiswa kita ini sudah teler dan hanya bisa tidur panjang sehari penuh. Akibatnya, mereka tidak bisa mempersiapkan diri untuk ujian. Mereka lalu sepakat untuk minta dispensasi untuk ujian susulan.

Besoknya, Senin, mereka datang ke dosen mereka. Dengan wajah sedih mereka bilang bahwa mereka mendapatkan 'musibah'. Mereka cerita, mereka pergi ke Bandung untuk menghadiri pernikahan seorang sahabat pada hari Sabtu dan berniat kembali ke Jakarta siang itu juga. Namun ban mobil mereka pecah menginjak paku dan mereka tidak punya ban cadangan. Mereka menunggu lama sebelum mendapatkan bantuan, dan alhasil sampai rumah sudah malam sekali, dan lebih parah lagi, mereka kehabisan tenaga untuk belajar pada hari Minggu. Karena itu, mereka meminta pengertian Pak Dosen agar mereka dibolehkan ujian susulan pada hari Selasa.

Pak Dosen setuju. Besoknya, Selasa, mereka ditempatkan di dua ruangan terpisah. Masing-masing diharuskan menjawab 2 pertanyaan saja. Soal pertama yang diberikan di satu kertas terpisah, sangat mudah, dan bobotnya cuma 10 persen. Dalam waktu kurang dari 15 menit, mereka sudah menyelesaikannya. Lantas mereka mengumpulkannya. Pak Dosen kemudian memberikan kertas kedua berisi pertanyaan berikutnya. Bobot soal kedua ini 90 persen. Soal itu berbunyi:

Ban mana yang bocor?

Update: A.p. dari Cafe Salemba baru saja memberitahu saya bahwa Yudo di Ruang 413 telah menulis varian dari cerita ini.

Update: A.p. frustrasi dengan betapa tidak elegannya cara mahasiswa menipu dosen (Catatan: Tentu saja dosen hanya bisa mengamati mereka yang gagal menipu alias ketahuan; sementara yang berhasil tidak pernah terdeteksi. Dalam riset, persoalan ini harus di-sterilkan dari apa yang disebut "selection bias" ini: kita mengamati sebagian saja dari sampel yang relevan, sehingga kesimpulan yang ditarik harus dikualifikasi).

Update: Fik dari Youthful Insight melihat dari sudut pandang mahasiswa. Jangan lewatkan.

Selasa, 16 Oktober 2007

Bagaimana ekonomi melihat kejahatan? - AAP

Seseorang melakukan tindak kejahatan atau kriminalitas karena ia melihat manfaat yang akan ia peroleh melebihi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukannya. Bagi pencuri barang (mis. arloji, baju, dsb.), "manfaat" meliputi mulai barang yang ia berhasil curi sampai bahkan ketenaran dan respek di kalangan pencuri. "Biaya"-nya mungkin mencakup pengeluaran untuk membeli alat congkel, topeng, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain, serta kemungkinan tertangkap berikut hukumannya.

Solusi untuk mengurangi tindak kejahatan seperti di atas relatif “sederhana”. Buat biayanya lebih besar daripada manfaatnya. Namun dari daftar manfaat dan biaya bagi si pencuri di atas, hampir semuanya berada dalam kendali pencuri itu sendiri. Yang paling bisa diintervensi adalah yang biaya yang terakhir, yaitu “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya”.

Meningkatkan “kemungkinan tertangkap” dapat dilakukan dengan polisi yang efektif, sistem pengamanan yang handal, dsb. Sementara itu, hukuman harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil insentif bagi calon pencuri. Jika kemungkinan tertangkap kecil (misalnya karena polisi tidak dapat diandalkan) maka paket hukuman harus dibuat lebih berat lagi (ya, ini membutuhkan sistem pengadilan efektif). Karena, “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya” adalah “perkalian”: untuk mendapatkan hasil yang sama, penurunan di salah satunya harus dikompensasi oleh peningkatan di yang lain.

Hukuman tidak harus berarti penjara. Denda berupa uang adalah pilihan yang lain. Penjara dalam banyak hal mempunyai kelemahan: ia tidak memberikan pemasukan kepada negara dan jumlahnya yang terbatas tidak memadai untuk wilayah yang penjahatnya melimpah. Denda, di lain pihak, memberikan pemasukan dan tidak memerlukan ruang fisik. Kelemahan dari denda adalah ia lebih sulit dalam administrasi dan stigma yang diberikannya kepada terhukum lebih kecil daripada penjara (”Si X adalah mantan napi” lebih berat stigma sosialnya daripada ”Si Y sudah membayar denda Rp 3 milar atas korupsinya yang Rp 1.5 miliar itu”).

Intinya dengan demikian adalah, buat hukuman dalam konteks sistem insentif dan disentif. Seorang pengendara mobil yang melanggar batas kecepatan mungkin saja punya justifikasi yang bisa dibenarkan (ada penumpang yang mau melahirkan, dsb). Karena itu, akan lebih efisien jika semua pengendara tahu apa konsekuensi dari pelanggaran mereka atas batas kecepatan maksimal. Lebih bagus lagi kalau ia dibuat bertahap. Misalnya: Batas kecepatan maksimum adalah 100 km/jam; setiap kelebihan sampai 110 km/jam diganjar denda Rp 100 ribu, antara 110-120 km/jam Rp 250 ribu, dan seterusnya. Dengan demikian, setiap orang bisa ”membeli hukuman yang pantas” bagi keperluannya, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Beberapa negara bagian di Kanada menerapkan sistem seperti ini. (Mungkin yang lebih baik lagi adalah memasukkan faktor penghasilan si pelanggar dalam formula, untuk mengakomodai efek pendapatan: ”Karena saya kaya -- bukan: karena saat ini istri saya bukaan dua-- , saya ngebut”, misalnya).

Dengan logika seperti di atas, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa karena semakin berat ancaman hukuman, semakin kecil insentif untuk melakukan kejahatan dan bahwa hukuman paling berat adalah hukuman mati (jika denda, berapa denda yang sama nilainya dengan hukuman mati? – kita akan coba diskusikan ini lain kali), maka ancaman hukuman mati tentunya ampuh untuk meminimalkan potensi tindak kejahatan pembunuhan. Jawabnya adalah: ya dan tidak.

”Ya”, jika efek pematah semangat (deterrence effect) dari hukuman mati bagi para calon pembunuh berikutnya memang berjalan sesuai harapan. Namun, beberapa studi sampai saat ini belum bisa membuktikan hipotesis ini secara konklusif.

”Tidak”, bagi para pembunuh yang tidak melihat hukuman mati sebagai ”bad”, tapi justru sebagai ”good”. Misalnya mereka yang membunuh sembari mengatasnamakan ”jihad” dan karenanya memang berharap mati. Untuk orang-orang seperti ini (misalnya pelaku pemboman Bali 1 dan 2, Marriott, dsb.), dihukum mati justru sesuatu yang mereka inginkan. Bagaimana solusi agar baik efek hukuman dan efek deteren bisa terlaksana? Salah satunya adalah menghukum mereka seberat-beratnya -- namun tidak sampai mati. Misalnya -- sekali lagi, misalnya -- memotong tangan dan kaki mereka satu demi satu, sembari memastikan mereka tetap hidup.

Kesimpulannya, kita perlu berhati-hati dalam mendesain mekanisme untuk memastikan berjalannya sistem yang dibangun berdasarkan insentif-disinsentif.

Catatan: Bacaan yang bagus untuk topik ini misalnya adalah Economic Analysis of Law (Richard Posner) dan Law's Order (David Friedman).

Senin, 15 Oktober 2007

Desain mekanisme - AAP

Dalam sebuah ujian di FEUI, saya menanyakan soal sebagai berikut
Bayangkan bahwa pemerintah bermaksud memberikan ijin kepada sebuah perusahaan gas untuk melakukan eksplorasi di Sidoarjo. Hal ini ditentang oleh masyarakat. Karena itu, pemerintah merencanakan untuk memungut pajak khusus dari perusahaan tersebut, yang uangnya akan digunakan untuk mengkompensasikan eksternalitas. Untuk mengambil keputusan, pemerintah lalu meminta para wakil masyarakat untuk menghitung dan melaporkan besarnya costs yang akan mereka hadapi jika perusahaan tersebut jadi melakukan pengeboran sumur. Di samping itu pemerintah juga meminta pihak perusahaan untuk menghitung dan melaporkan besarnya benefits dari proyek mereka. Asumsikan Anda adalah staf ahli pemerintah. Desain sebuah mekanisme untuk memastikan bahwa truth-telling adalah strategi yang optimal bagi kedua belah pihak.
Persoalan di atas adalah apa yang kita kenal dengan masalah desain mekanisme (mechanism design problem). Tahun ini, Nobel untuk ilmu ekonomi diberikan kepada Hurwicz, Maskin, dan Myerson atas jasa mereka mengembangkan alat analsis untuk desain mekanisme.

Catatan: Ini contoh sederhana penerapan desain mekanisme, dari Cafe Salemba. Yang ini dari Reason.

Senin, 08 Oktober 2007

Efficient grease-MCB



Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) (Ari Kuncoro, Thia Jasmina, Isfandiarni, Siti Budi Wardhani, Ainul Huda, Deasy and Anton Hendranata) tentang iklim investasi Indonesia menunjukkan: ada perbaikan dalam proses import clearance di beberapa pelabuhan utama di Indonesia dalam pertengahan 2007 dibanding tahun sebelumnya. Namun menariknya, disisi lain, studi ini menemukan bahwa prosentase mereka yang tidak pernah membayar suap dalam proses import clearance juga menurun. Prosentase mereka yang membayar suap meningkat dari 88% (pertengahan tahun 2006) menjadi 91% (pertengahan tahun 2007). Artinya suap semakin sering. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini, dimana proses makin cepat, tetapi suap makin sering ini?

Salah satu kemungkinan penjelasnya adalah adanya efficient grease atau pelicin untuk mempermudah proses.

Keputusan dunia usaha untuk menyuap adalah keputusan ekonomi rasional. Keputusan ini akan selalu didasarkan kepada perhitungan manfaat (benefit) dan biaya (cost) dari aktifitas penyuapan. Artinya, seandainya suap dapat melancarkan urusan dengan birokrasi atau memungkinkan memperoleh proteksi--sehingga memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan besarnya suap yang harus dibayar—maka ada insentif untuk menjadi pemasok suap.

Grafik diatas dapat menjelaskan pola ini. Manfaat yang dapat diperoleh pengusaha dengan menyuap ditunjukkan oleh grafik berwarna merah. Manfaat yang diperoleh pengusaha dengan menyuap, semakin lama semakin kecil karena ada batas manfaat dari suap, karena itu kurva manfaat semakin lama semakin datar.

Untuk menyuap, tentu ada biaya yang harus dikeluarkan, mulai dari besarnya suap, proses lobby dsb. Semakin besar fasilitas/proteksi atau kemudahan yang akan diperoleh dari suap, maka semakin besar pula biaya suap. Itu sebabnya kurva biaya suap yang berwarna biru semakin lama semakin tajam kenaikannya.

Tingkat optimum suap terjadi ketika slope dari kurva manfaat sejajar dengan kurva biaya. Pada titik ini, tambahan manfaat (marginal benefit) dari menyuap akan sama dengan tambahan biaya (marginal cost) dari menyuap. Lewat dari titik optimum ini ke kanan, tambahan manfaat dari menyuap akan lebih kecil ketimbang tambahan biaya yang muncul dari menyuap. Karena itu insentif bagi pengusaha untuk menyuap sudah mulai menurun. Bagian dari titik otimum ke sebelah kiri adalah bagian yang disebut sebagai eficient grease.

Jadi, seringnya penyuapan yang dilakukan seperti temuan LPEM mungkin mencerminkan area disebelah kiri dari titik optimum. Dalam kondisi ini bagi dunia usaha pilihan menyuap --sayangnya-- adalah pilihan rasional. Secara konseptual korupsi atau penyuapan (bribery) adalah semacam pajak tak resmi untuk dunia usaha (MacLeod, 2001). Bagi dunia usaha tak ada bedanya antara membayar suap dengan membayar pajak (buat mereka adalah biaya). Perbedaannya ada disisi pemerintah. Pajak resmi masuk kas negara, sedang suap masuk kantong aparat. Karena itu selama suap masih menguntungkan, dunia usaha akan melakukannya.

Studi yang dilakukan oleh Lui (1985) misalnya, menunjukkan bahwa dalam beberapa hal korupsi malah bisa meningkatkan efisiensi. Argumen Lui memang terkesan mengejutkan, tetapi ada alasan teoritis yang cukup kuat dibelakang argumen ini. Perspektif ini dikenal dengan nama efficient grease atau pelumas yang efisien. Pola ini dapat terjadi dari bentuk yang sederhana, seperti membayar uang rokok atau uang mengurus KTP, sampai bentuk yang canggih seperti lobby dan aktifitas ekonomi rente.

Mengapa itu bisa terjadi? Penyebabnya adalah adanya pasar untuk jual beli masalah yang pada gilirannya membuka pasar bagi suap. Kita kenal adagium : uang tak menjadi masalah, tetapi masalah bisa menjadi uang. Dalam kondisi ini dunia usaha terpaksa menjadi supplier suap karena “masalah“ yang diciptakan pejabat pemerintah.

Bagaimana mengatasinya? Upaya penyelesaiannya suap dapat dilakukan dengan mengurangi insentif untuk menyuap dan mengurangi ruang untuk memperoleh suap. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan memudahkan peraturan (deregulasi dan debirokratisasi ekonomi) dan mengurangi pertemuan antara aparat dengan pengusaha melalui on line system. Tentu yang ideal adalah penegakan hukum, di mana penyuap dan yang disuap diberikan hukuman yang berat. Sayangnya, di negeri ini, justru hukum amat rawan suap. Karena itu, walau ideal, mungkin tak efektif.

Penyuapan memang sebuah proses interaksi antara pengusaha dengan aparat pemerintah. Beberapa tahun lalu (2003) saya pernah menulis artikel yang berdjudul Tutu Tango di Harian Kompas. Ironisnya, empat tahun setelah itu, artikel itu masih relevan.

Kamis, 04 Oktober 2007

Penurunan tingkat bunga - AAP


Dalam posting sebelumnya, Dede menjelaskan mengapa penurunan SBI tidak diikuti oleh turunnya tingkat bunga perbankan. Akibatnya, sektor riil tidak bergerak banyak seperti yang diharapkan. Penyebabnya adalah ketidakmampuan bank-bank membedakan peminjam berdasarkan risikonya. Karena bank bersifat menghindari risiko (risk averse) maka mereka akan cenderung menggabungkan keseimbangan tingkat bunga bagi "debitur nakal" dan "debitur baik". Ini yang disebut pooling equilibrium.

Gambar di sebelah ini meminjam konsep Rothschild-Stiglitz tentang seleksi yang meleset (adverse selection), yang biasanya diterapkan di pasar asuransi. Kita meletakkan tingkat bunga pada sumbu horisontal dan pinjaman di sumbu vertikal. Kurva merah menunjukkan perilaku "debitur nakal" dan kurva biru "debitur baik" (ditunjukkan oleh kurva utility). Garis lurus merah dan biru menunjukkan pinjaman ("balas jasa") masing-masing tipe debitur ini, jika bank dapat membedakan mereka dengan baik. Garis lurus ini adalah tingkat bunga yang dikenakan dikali dengan probabilita macetnya kredit. Karena kredit macet lebih mungkin terjadi pada debitur nakal, maka garis merah lebih datar daripada garis biru.

Jika bank bisa membedakan debitur, maka ia akan mengenakan tingkat bunga iB untuk debitur nakal dan iA untuk debitur baik. Ini bersesuaian dengan satu tingkat pinjaman yang diharapkan. Maka, keseimbangan terjadi di titik A untuk debitur baik dan B untuk debitur nakal.

Kenyataannya, informasi bersifat asimetrik. Bank tidak bisa membedakan debitur. Di sisi lain, debitur nakal maupun debitur baik lebih menyukai titik A ketimbang titik B (karena tingkat bunga yang rendah). Debitur nakal akan selalu mencoba tampil sebagai debitur baik, agar bisa terhindar dari membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.

Untuk meminimalkan risiko, bank tidak akan mengenakan tingkat bunga di iA. Tetapi, meletakkannya di iB juga akan berisiko kehilangan sebagian besar debitur baik. Karena itu, bank akan mencari satu keseimbangan gabungan di antara A dan B. Pada akhirnya, di pasar biasanya akan lebih banyak debitur nakal ketimbang debitur baik.

Jadi, jika Bank Indonesia menurunkan tingkat bunga ke iA, belum tentu perbankan akan mengikutinya, seperti kesimpulan Dede di bawah. Implikasinya, upaya menggerakkan sektor riil tidak bisa hanya mengandalkan penurunan suku bunga acuan. Permasalahannya justru di informasi yang asimetrik. Di sinilah perlunya membangun biro kredit yang meminimumkan risiko adverse selection.

Rabu, 03 Oktober 2007

Myanmar: otoritarian adalah subsidi bagi kekerasan - MCB



Sebagian dari kita yang membaca Les Justes, drama yang ditulis Albert Camus tahun 1959, mungkin teringat ucapan Stepan Fedorov -wajah telanjang dari terorisme atau kekerasan-. Saat Yanek tak jadi melemparkan bom kepada si bangsawan karena ada dua anak kecil dalam kereta si bangsawan, Stepan meradang:
“Tidakkah kau mengerti, karena Yanek tidak membunuh dua anak kecil itu, maka ribuan anak-anak Russia akan mati dimasa depan, karena kelaparan”
Menyedihkan, terorisme atau kekerasan selalu memiliki filsafatnya sendiri. Kadang ideologi, kadang ekonomi.

Dan hari-hari ini di Myanmar kita melihat bagaimana opresi dan kekerasan dilakukan oleh rezim otoritarian terhadap gerakan pro demokrasi.
Otoritarian, sebenarnya adalah sebuah subdisi bagi kekerasan. Dalam sistem otoritarian, harga dari kekerasan begitu murah karena tak ada check and balances . Untuk apa repot repot dengan peradilan, dengan hukum, jika masalah dapat diselesaikan dengan efisien melalui cara represi. Paling tidak begitu rasionalitas dari sebuah sistem otoritarian seperti di Myanmar.

Mungkin menarik untuk melihat bagimana otoritarian merupakan sebuah subsidi bagi kekerasan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini?

Bayangkan sebuah model maksimisasi kepuasan sederhana. Tentu untuk abstraksi yang lebih tepat, analisis ini harus dikembangkan lebih jauh. Namun setidaknya ia mampu menjelaskan mengapa permintaan terhadapa kekerasan akan selalu meningkat dalam sistem otoritarian.

Anggaplah bahwa junta militer Myanmar ingin memaksimumkan aspirasi politiknya dengan dua kombinasi pilihan: kekerasan (violence) atau tanpa kekerasan (non violence). Jika kita menganggap bahwa 2 pilihan itu adalah barang normal yang bisa dikonsumsi, maka pilihan atas kedua tindakan tersebut akan sangat tergantung kepada harga dari masing-masing pilihan.
Titik keseimbangan awal terjadi di titik A, dimana konsumsi violence adalah sebesar V1 dan non-violence adalah NV1. Dalam sistem otoritarian, harga violence menjadi relatif lebih murah, hal ini tercermin dari bergesernya budget line. Kondisi keseimbangan baru terjadi pada titik C, dimana permintaan kekerasan menjadi lebih banyak (meningkat dari V1 ke V3) dan konsumsi non-violenc menurun dari NV1 ke NV3. Efek substitusi akibat perubahan harga ini dicerminkan dari perpindahan A ke B.

Analisis sederhana ini menunjukkan jika harga dari tindak violence itu menjadi murah secara relatif terhadap harga tindakan non violence, maka konsumen akan mengkonsumsi tindak kekerasan. Dan begitu pula sebaliknya. Lalu apa arti permainan analisis diatas ? Sebenarnya analisis ini membawa kita untuk mengupas masalah ini secara mendasar , karena harga dari kekerasan sebenarnya mencerminkan pengorbanan yang harus diberikan jika pilihan itu diambil. Dengan kata lain ketika institusi politik menjadi begitu tak berdayanya dan mandek, serta tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi begitu murahnya- dalam arti dapat terjadi dengan leluasa dilakukan oleh negara-- maka “permintaan akan violence” akan meningkat. Atau sebaliknya jika jalan non violence dapat memberikan hasil yang lebih baik atau hanya menuntut pengorbanan yang relatif kecil dibandingkan cara-cara violence, maka tindakan non violence akan menjadi pilihan yang lebih menarik. Disinilah kita berbicara tentang pentingnya aspek pelembagaan politik dan pentingnya penghargaan terhadap hak-hak manusia. Dan disini pula kita melihat bahwa masalah kekerasan , baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat adalah resultante dari pelembagaan politik. Bila kekerasan masih kerap terjadi, maka hal ini sebenarnya merefleksikan bagaimana masih lemahnya dan terkebelakangnya aspek institusi politik yang menunjang demokratisasi. Semakin otoriter sistem, maka semakin mahal harga non violence atau semakin murah harga violence. Sehingga secara tidak langsung sistem politik yang otoriter sebenarnya adalah sebuah “subsidi bagi pilihan kekerasan”. Itu sebabnya, sikap represif junta militer Myanmar adalah resultante dari pilihan rasional sistem otoritarian.

Sabtu, 29 September 2007

Ideologi kebijakan ekonomi : sebab atau akibat? - MCB



Kita kerap begitu terpukau dengan hal-hal besar, dengan motif-motif besar. Mungkin karena itu banyak hal dicoba dijelaskan dengan motif politik. Kita kerap berpikir: ada permainan politik dibalik setiap sikap. Segala sesuatu harus punya motif. Ia harus bisa diterjemahkan dalam konteks: atau kiri atau kanan.

Satu hal yang kerap dicoba diterjemahkan dalam konteks ideologi adalah kebijakan ekonomi di Indonesia. Penjelasan kebijakan ekonomi kerap dikungkung dalam dikotomi atau "kiri" atau "kanan", atau neo liberal atau sosialis. Salah satu yang menarik dilihat adalah deregulasi ekonomi di Indonesia. Dalam pertengahan tahun 1980 an misalnya kita melihat deregulasi ekonomi dilakukan. Pertanyaannya: apakah ini pertanda kemenangan ideologi liberal yang ditunjukkan dengan menguatnya peran teknokrat? Atau transformasi ideologi kaum teknokrat yang tahun 1970an lebih cenderung sejalan dengan Keynesian menjadi pro pasar?

Saya kira kita harus berhati-hati menyimpulkan. Saya sepakat dengan apa yang ditulis Walter Falcon dari Stanford University tentang Widjojo Nitisastro, yang dianggap sebagai tokoh utama kelompok teknokrat. Ia menulis : Profesor Widjojo jelas bukan penganut aliran Chicago School, terutama dalam pandangannya tentang subsidi. Ia sangat pragmatis dan tidak dogmatis, bahkan kadang-kadang ia mendorong perlunya penggunaan subsidi input seperti pupuk. Jika teknokrat yang kala itu dipimpin Widjojo dianggap bukan penganut Chicago School yang merupakan garda terdepan libertarian, bagaimana kita menjelaskan aspek ideologi liberal dibelakang deregulasi ekonomi di Indonesia kala itu?

Saya punya dugaan bahwa aspek perdebatan ideologis dalam kebijakan ekonomi di Indonesia belumlah sedemikian matangnya. Yang terjadi sebenarnya hanyalah satu proses keputusan ekonomis rasional tentang pilihan kebijakan yang paling menguntungkan bagi target pemerintah. Menguntungkan disini harus diterjemahkan dalam artian memiliki biaya ekonomi dan politik yang paling murah.

Kita dapat menjelaskan argumentasi ini dengan menggunakan teori optimisasi produksi. Bayangkan sebuah pemerintah yang ingin memproduksi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan lapangan kerja dan menjaga inflasi yang rendah (dicerminkan dengan isoquant IC), dengan menggunakan dua input kebijakan: mekanisme pasar (M) dan intervensi pemerintah (G).

Dalam era 70 –an ketika dana minyak tersedia , pilihan kebijakan non-pasar dan proteksionis -- dengan intervensi pemerintah-- adalah input yang relatif murah secara ekonomi dan politik dibading mekanisme pasar. Hal ini disebabkan karena tersedianya dana minyak, sehingga proyek yang tak efisien dan tak kompetitif dalam persaiangan pasar pun dapat diproteksi dan disubsidi. Karena itu pemerintah cenderung lebih bersifat intervensionis. Titik keseimbangan terjadi pada titik A dimana input kebijakan yang bersifat meknaisme pasar adalah sebesar M1 dan Intervensi pemerintah sebesar G1.

Namun dalam pertengahan tahun 1980 an ketika harga minyak jatuh dibawah $ 10 per barrel pemerintah tak lagi punya uang. Akibatnya kebijakan yang bersifat proteksionis tidak bisa sepenuhnya dipertahankan. Implikasinya input dalam bentuk kebijakan intervensionis menjadi relatif lebih mahal ketimbang kebijakan yang pro pasar --yang berkonotasi liberal-- Disini terjadi perubahan harga relatif dari input intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar, dimana mekanisme pasar menjadi relatif lebih murah.

Bagaimana caranya pemerintah dapat mempertahankan targetnya dalam situasi seperti ini? Jawabannya: untuk output yang tetap (isoquant IC yang sama) harus dicari kombinasi input yang lebih murah. Perubahan harga relatif ini tercermin dari bergesernya iscost, sehingga titik keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana peran dari mekanisme pasar menjadi meningkat (dari M1 ke M2) sedang peran intervensi pemerintah menurun (dari G1 ke G2).

Dengan penjelasan ini kita dapat melihat bahwa ‘peran ideologis’ seperti liberalisme dengan segala accessories nya hanyalah sebagai "akibat" pilihan kebijakan dan bukan merupakan "sebab". ‘Peran ideologi’ menjadi kurang relevan disini. Yang ada hanyalah sebuah upaya mempertahankan sasaran pembangunan -- pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja dan inflasi yang rendah -- dengan input mekanisme pasar dan intervensi pemerintah yang paling murah.

Kita ingat: sebelum konprensi APEC, tahun 1994 di Bogor, liberalisasi adalah kata yang tabu dalam ekonomi Indonesia. Tetapi setelah Soeharto sendiri menggunakan kata itu dalam konprensi APEC di Bogor, maka kata itu menjadi resmi di terima. Namun ketika reformasi ekonomi yang terjadi tahun 1998 menuntut liberalisasi lebih jauh, dimana harga yang harus dibayar oleh reformasi menjadi demikian mahalnya karena menyentuh berbagai ekonomi rente dari para crony capitalist dan tersudutnya kepentingan ekonomi kelompok yang mengindentifikasikan dirinya sebagai ‘nasionalis’, maka kita kemudian mendengar berbagai pernyataan yang mengejutkan mengenai tidak cocoknya paket liberalisasi dengan jiwa ekonomi Indonesia.

Disini kita melihat: sulit untuk mendapatkan kesimpulan tunggal tentang apsek ideologis dari kebijakan ekonomi Indonesia. Yang terjadi tidak lebih sekedar tarik menarik kelompok kepentingan dalam pilihan kebijakan. Bingkai ideologi tidak berperan dalam bentuk keyakinan berdasarkan argumen filosofis yang dalam. Yang terjadi hanyalah bagaimana upaya mempertahankan legitimasi regim dengan pelbagai alasan ideologis. Dengan kata lain masalah nya bukanlah soal "liberal" atau "bukan liberal", tetapi lebih kepada seberapa jauh kelompok kepentingan terancam oleh meknaisme pasar atau terproteksi oleh intervensi pemerintah. Jika benar begitu, mungkin ideologi dalam kebijakan Indonesia lebih merupakan akibat ketimbang sebab.
Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: mikroekonomi Template by Bamz | Publish on Bamz Templates