Minggu, 06 April 2008

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (3/4) -- Arianto A. Patunru

(Sambungan)

Logistik

Studi LPEM-FEUI (2005b) menemukan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 14% dari biaya produksi total, jauh melebihi biaya di Jepang misalnya yang hanya mencapai 4,9%. Survei tersebut memilah biaya logistik ke dalam tiga segmen, yaitu logistik input (dari vendor atau pelabuhan ke pabrik), logitik internal (dalam pabrik), serta logistik output (dari pabrik ke pelabuhan). Biaya logistik terbesar terjadi di segmen logistik input yaitu 7.2%, diikuti oleh logistik output 4% dan logistik internal 2.9%. Masalah-masalah utama dalam logitik meliputi infrastruktur jalan yang jelek, pungutan liar di jalan dan di pelabuhan, serta peraturan pemerintah (terutama pajak lokal dan upah minimum).

Manajemen pelabuhan yang buruk disertai infrastruktur yang tidak memadai memberi jalan lebih luas bagi pungutan liar. Waktu tunggu menjadi lebih panjang karena fasilitas seperti crane, forklift, dan docking juga terbatas, kompetensi sumber daya manusia masih rendah (lebih rendah daripada Singapura, Malaysia, China, Thailand, dan India, menurut survei Bank Dunia 2008), serta perangkat elektronik untuk pertukaran data belum berfungsi efisien. Dalam situasi seperti ini insentif untuk meminta dan membayar pungutan tambahan meningkat – untuk mempercepat proses klarifikasi barang maupun dokumen. Benar bahwa, sekalipun masih lebih kompleks daripada di Malaysia dan Singapura (Bank Dunia, 2008) prosedur impor dan ekspor mengalami perbaikan dalam hal waktu penyelesaiannya di pelabuhan (LPEM-FEUI 2007a). Namun ada indikasi bahwa semakin cepatnya proses klarifikasi adalah fungsi dari pembayaran informal.

Di jalan, hal yang serupa terjadi. Pungutan liar memang sebagian besar terjadi di dalam proses pengantaran. Pemungut bervariasi dari oknum aparat pemerintah sampai oknum petugas polisi, dari organisasi yang mengaku LSM sampai preman secara kelompok maupun individu (LPEM-FEUI 2007a). Pungutan liar ini berkisar antara 1,3% (survei 2007) sampai 1,7% (survei 2005) dari biaya produksi total, berdasarkan informasi dari responden. Studi lain juga menemukan bahwa biaya operasi kendaraan truk untuk kebutuhan usaha dagang di Indonesia lebih tinggi daripada di negara lain di Asia, sebagian dikarenakan oleh buruknya infrastrukutur jalan maupun kondisi geografis serta terbebaninya supir truk oleh berbagai pungutan: retribusi lokal, pungutan resmi maupun tidak resmi di jembatan timbang, serta pungutan oleh oknum polisi dan preman (LPEM-FEUI 2007b).


(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►