Selasa, 01 April 2008

REDD : antara Ekonomi vs Ekologi

Desember 2007 yang lalu, Indonesia telah menandatangani sebuah perjanjian baru antara negara- negara berkembang dengan negara- negara maju dalam wacana pemeliharaan lingkungan. REDD, alias Reducing Emmission from Deforestation in Developing Countries yaitu sebuah proyek yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi di negara- negara berkembang dengan cara melakukan reforestasi hutan- hutan yang ada di negara- negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada intinya, negara kita menyetujui untuk memulai lingkungan bebas polusi dengan cara mencegah laju deforestasi dan perusakan hutan secara besar- besaran sekaligus menjadi lokasi pilot project proyek tersebut. Proyek ini menjadi yang pertama di dunia sebelum skema REDD diberlakukan pasca-Protokol Kyoto pada 2012 mendatang. Proyek ini awalnya mendapat kesulitan dalam konvensinya, yaitu ketika negara- negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang menolak deeper cut dalam pengurangan emisi karbon di negaranya sebesar 25-40 persen di tahun 2020 dikarenakan ketakutan akan jatuhnya perekonomian mereka. Akan tetapi, REDD berhasil disetujui dengan prosedur pemeliharaan hutan tropis yang ada dengan pemberian imbalan kepada negara penyumbang hutan yaitu negara berkembang.
REDD merupakan salah satu poin dari Bali Road Map; selain mengenai adaptasi, teknologi, IPCC, CDM dan negara miskin. Semua poin tersebut tertuju kepada penanganan climate change yang menyebabkan penurunan produktivitas dan bencana alam yang terjadi di banyak negara. Berangkat dari kesepakatan tersebut, mari kita lihat apa yang terjadi pada sisi ekonomi negara Indonesia ketika persetujuan ini mulai dijalankan. Pertama, Indonesia mendapat pendanaan untuk pemeliharaan hutan sebesar US$ 30 juta atau sekitar 300 triliun rupiah dan hutan kita disewa sebagai pusat reduksi emisi karbon dunia. Pendanaan tersebut diberikan kepada negara langsung ke pemerintah pusat, dan rencananya dana tersebut akan dikelola bersama dengan pemerintah daerah dalam hal pemeliharaan dan pengawasan hutan tersebut. Dan sesuai peraturan pemerintah tahun 2008, dana tersebut akan masuk kedalam penerimaan negara. Namun, pemerintah masih harus berkontroversi mengenai peraturan- peraturan yang dibuatnya, antara lain tentang PP no.2 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa hutan lindung dapat digunakan untuk aktivitas pertambangan dengan hanya membeli tanah dari hutan tersebut perhektar senilai 3 juta rupiah saja. Tentu saja hal itu sangat kontras dengan kesepakatan untuk menurunkan emisi karbon dunia yang sangat melindungi hutan lindung. Apakah pemerintah kita berpikir bahwa hutan kita adalah salah satu komoditi yang besar dalam produktivitas negara ? Kenapa dengan begitu mudahnya negara dapat membuat dan mensahkan peraturan tersebut hanya untuk kegiatan pertambangan yang belum tentu akan dikelola oleh negara ? Apalagi jika kegiatan pertambangan tersebut hanya akan berujung kepada perusakan lingkungan yang akan menyebabkan bencana yang berkepanjangan, contoh lumpur Lapindo. Namun, ternyata Presiden sendiri mengatakan bahwa PP tersebut bertujuan untuk melindungi kelestarian hutan lindung. Tidak salahkah?
Memang susah untuk mengkaitkan ekonomi dan ekologi untuk kesejahteraan dunia. Pasti adakalanya terlintas pikiran untuk mengkonversi hutan menjadi sebuah bisnis dan itu bukanlah sebuah hal yang baik bagi keberlangsungan hidup dunia karena pengeksploitasian hutan dapat menyebabkan punahnya ekologi dan pada akhirnya akan mengganggu kesejahteraan dunia. Akan tetapi, ada kalanya pemikiran politis mengalahkan kebutuhan manusiawi, sehingga keputusan-keputusan yang didasari kepentingan politis lebih sering menguntungkan segelintir orang daripada menyejahterakan seluruh rakyat secara merata.


Kastrat 2008


*Maaf, mungkin agak melebar.. lagi ujian ni.. jadi agak gak konsen.. maaf ya..

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►