Selasa, 06 Juli 2010

Paket Stimulus untuk Siapa?

 Perlukah paket stimulus? Karena semua negara telah memberikan paket stimulus saat terjadinya krisis global baru-baru ini pertanyaannya diubah, “Masih perlukah paket stimulus tersebut?” Itulah yang antara lain yang terjadi dalam sidang G-20 di Toronto, Kanada, baru lalu.
Perdebatan lama dengan warna baru. Sebelum depresi besar pada 1930-an, pemikiran ekonomi dikuasai oleh mereka yang amat percaya kekuatan pasar.

Pemerintah dinilai tidak boleh campur tangan dalam perekonomian. Semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin baiklah perekonomian. Mereka percaya bahwa ekonomi akan membaik dengan sendirinya manakala terjadi      resesi bahkan depresi.

Namun, depresi besar tersebut telah menimbulkan pemikiran radikal yang dipelopori Keynes, yang akhirnya menghasilkan apa yangkinidisebut “ekonomimakro”. Keynes berpendapat bahwa depresi tidak akan dapat diselesaikan tanpa campur tangan pemerintah.

Bahwa, pemerintah harus mengeluarkan uang untuk menciptakan permintaan terhadap barang dan jasa agar ekonomi bangkit dan angka pengangguran turun. Kita telah belajar bahwa dengan intervensi pemerintah inilah dunia terbebas dari depresi besar. Dalam bahasa sekarang, pemerintah perlu memberikan paket stimulus.

Sejak itu pemikiran Keynes menjadi model di mana-mana. Namun, “lawan”-nya pun tidak tinggal diam, yaitu mereka yang masih percaya bahwa pemerintah harus berusaha untuk tidak campur tangan dalam perekonomian.

Mereka akhirnya menguasai dunia. Dimulai ketika Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris periode 1979–1990 dan Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika Serikat periode 1988–1989.

Sejak saat itu “demam pasar” pun meledak. Di mana-mana terdengar adanya usaha deregulasi (khususnya sektor keuangan), privatisasi perusahaan negara, pengurangan subsidi, dan pasar kerja yang fleksibel. Sektor keuangan kemudian meningkat luar biasa, jauh melebihi peningkatan sektor nyata (produksi).

Kegiatan spekulasi juga merebak. Berbagai krisis yang kemudian terjadi, khususnya krisis global yang terjadi baru-baru ini, menyadarkan sekelompok ekonom untuk kembali ke pemikiran Keynes yang menginginkan perlunya campur tangan pemerintah.

Itulah yang terjadi ketika sektor keuangan Amerika Serikat hancur pada 2008. Pemerintah Amerika Serikat turun tangan membantu sektor keuangan yang bangkrut.

Paket stimulus pun dikucurkan untuk membangkitkan perekonomian. Kebijakan ini bukan hanya di Amerika Serikat, melainkan di banyak negara. Era pemikiran Thatcher-Reagan berakhir, terutama dengan munculnya Obama sebagai Presiden Amerika Serikat sejak akhir 2008.

Para ekonom berbondong-bondong kembali ke pemikiran Keynes. Kebijakan paket stimulus pun menjadi sangat populer. Telah menjadi semacam “etika internasional”, bahwa setiap negara harus melakukan paket stimulus untuk membantu dunia keluar dari resesi.

Maka, hampir semua negara termasuk Indonesia melakukan kebijakan paket stimulus. Pada 2010 negara kaya mulai lega karena pertumbuhan ekonomi tidak lagi negatif.

Mereka merasa bahwa resesi telah usai. Kini dunia memasuki tahap pemulihan (recovery) walau sebagian ekonom masih risau bahwa pemulihan ini belum tentu berjangka panjang.

Mereka masih risau akan terjadinya krisis global kedua. Kondisi utang di beberapa negara Eropa, kemungkinan bubarnya Uni Eropa, mendinginnya perekonomian China, dan belum sehatnya perekonomian Amerika Serikat, membuat para ekonomi khawatir bahwa krisis global kedua akan terjadi lagi.

Itu sebabnya Amerika Serikat masih menginginkan diteruskannya paket stimulus karena perekonomiannya masih lesu. Sebaliknya, negara di Eropa ingin mengurangi defisit anggaran belanja pemerintah.

Mereka ingin mengurangi paket stimulus. Mereka khawatir utang pemerintah dapat menyebabkan terjadinya krisis keuangan. Perbedaan pendapat ini menyebabkan sulitnya membuat koordinasi global,berbeda saat dunia sedang mengalami krisis 2008 dan 2009.

Itulah salah satu sebab pertemuan G-20 di Toronto baru-baru ini hanya menghasilkan konsensus bahwa semua negara perlu mengurangi defisit anggaran belanja menjadi separuh dari yang sekarang.

Sesungguhnya, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah benar bahwa krisis ekonomi sudah selesai. Krisis untuk siapa? Bukankah selama ini kita bicara krisis ekonomi ketika mereka yang menengah ke atas dan terutama yang kaya mengalami penurunan kekayaan? Ini krisisnya orang kaya walau berdampak pada yang miskin.

Ketika orang kaya dan menengah ke atas “jatuh miskin” (tidak benar-benar miskin!), mereka panik. Karena pengaruh mereka yang besar, kepanikan mereka ini menjadikan krisis dunia.

Di saat itulah dunia ikut panik dan berteriak keras bahwa telah terjadi krisis karena pertumbuhan ekonomi yang menurun. Ketika ekonomi mereka “pulih”, mereka lega. Mereka lupa bahwa orang miskin dan berpendapatan rendah masih dalam krisis berkepanjangan.

Namun, masalah kemiskinan ini bukanlah perhatian utama para elit karena mereka tidak mengalaminya. Akibatnya, gaung penderitaan orang miskin tidak menjadi masalah dunia.

Para pembuat kebijakan juga tidak panik ketika orang kaya sudah mendapatkan keuntungan yang besar lagi, ketika ekonomi sudah tumbuh lagi. Pemulihan ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi sesungguhnya tidak memerhatikan apa yang terjadi di kelompok berpendapatan rendah dan miskin.

Sebelum dunia meributkan krisis,mereka yang miskin dan berpendapatan rendah itu sudah dalam keadaan ekonomi yang buruk.

Suara mereka tidak terdengar karena mereka tidak memiliki sarana untuk menyuarakan kepanikan mereka. Ketika ekonom mengkhawatirkan terjadinya krisis global kedua, mereka bicara apa yang akan dialami para orang kaya, para pembuat keputusan, para elit, dan mereka yang berada di kelompok menengah ke atas.

Mereka tidak merisaukan kelompok yang berpendapatan rendah dan miskin walau mereka mengatakan bahwa dampak krisisnya orang kaya akan terasa untuk orang miskin. Kalau mereka sudah punya uang lagi,mereka lupa pada yang miskin yang masih dalam krisis, yang menjadi makin parah ketika “krisis orang kaya” terjadi.

Kalau pengukurannya pertumbuhan ekonomi, Indonesia memang tidak terlalu menderita ketika terjadi krisis global. Pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi.

Kini pertumbuhan nya telah lebih tinggi lagi. Dari sisi ini, paket stimulus tidak diperlukan lagi. Lalu paket stimulus telah membantu siapa?

Kalau membantu kelompok miskin, maka paket stimulus ini perlu dilanjutkan.Kalau paket ini hanya membantu yang kaya dan menengah ke atas, maka paket stimulus ini memang perlu dikaji ulang. Nah pertanyaannya: sudahkah krisis berakhir untuk orang miskin dan berpendapatan rendah?

sumber: okezone.com

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►